Semakin seseorang memanjakan perutnya
dengan melahap apa saja yang dia sukai, semakin giat dia mengejar
dunia. Semakin sering seseorang melaparkan perutnya, semakin jarang ia
mencari dunia.
Menahan lapar adalah salah satu perbuatan yang paling mulia.
Jika diiringi dengan niat yang benar-benar karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala, seorang hamba akan mencapai derajat yang sangat tinggi.
Setidaknya ada tujuh niat untuk
mendapatkan kebaikan ketika seseorang menahan lapar. Abu Thalib Al-Makki
(386 H/988 M) dalam bagian kedua kitabnya yang berjudul Ilmu al-Qulub
(Ilmu Psikologi) menjelaskan tujuh niat tersebut. Sebelumnya ia menulis
kitab berjudul Qut al-Qulub (Santapan Ruhani). Semua kitab Al-Makki
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Pertama, meredam dan
mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu perlu dikendalikan agar bisa
melaksanakan berbagai ketaatan dan memenuhi perintah Tuhan, demi
memperoleh ridha-Nya serta derajat yang tinggi. Allah SWT berfirman,
“Adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri
dari keinginan hawa nafsunya, sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” –
QS Al-Nazi’at (79): 40-41.
Al-Makki mengutip perkataan beberapa
sufi terkenal, di antaranya Yahya ibn Mu’adz, yang mengungkapkan,
“Seandainya kamu meminta syafa’at (pertolongan) melalui para malaikat
yang tinggal di tujuh lapis langit, 124 ribu nabi, semua kitab suci,
hikmah, dan para wali, supaya kamu bisa meninggalkan dunia dan
menjalankan ketaatan, mereka tidak akan memenuhi permintaanmu. Tetapi,
jika kamu memintanya melalui rasa lapar, ia akan memenuhi permintaanmu
dan mendorongmu kepada ketaatan.”
Penjelasannya, rasa lapar mempunyai daya
yang sangat besar dalam mendorong diri seseorang untuk melakukan
ketaatan. Karena ia sanggup melemahkan nafsu syahwat yang selalu
mendorong kepada kejelekan, betapapun kuatnya tekanan hawa nafsu itu
pada diri seseorang.
Sahal ibn ‘Abdullah berujar, “Demi
Allah, Yang tidak ada Tuhan selain Dia, orang-orang yang terbiasa
melakukan apa yang dibenci Allah tidak akan berubah menjadi orang-orang
yang melakukan apa yang dicintai Allah, kecuali dengan lapar. Manusia
tidak akan menjadi manusia yang benar kecuali dengan lapar.”
Al-Hajjaj ibn Al-Gharafidhah menuturkan:
Aku menemui sekelompok orang yang sedang beribadah sambil menahan lapar
di Makkah. Aku bertanya kepada mereka, “Beri tahulah aku, mengapa Allah
SWT memerintahkan para wali-Nya untuk berlapar-lapar.”
Mereka menjawab, “Tidaklah kamu lihat
bahwa ketika hewan ternak atau unta tidak mau menuruti keinginan
pemiliknya, yang dilakukan sang pemilik (supaya hewan-hewan piaraannya
mau menuruti keinginannya) adalah tidak memberi makan kepada mereka.
Sesungguhnya bila seorang hamba melaparkan dan mendahagakan diri, Allah
SWT membanggakan hamba itu di hadapan para malaikat. Tidak ada seorang
hamba yang Allah banggakan kecuali kelak di akhirat kepalanya akan
dimahkotai dengan mahkota cahaya. Allah SWT mengutus para malaikat untuk
membawa cahaya dan perhiasan dari yaqut merah dan kuning serta permata
yang sangat indah. Mereka juga membawa kendaraan dari zamrud nan hijau.
Semua itu oleh para malaikat dibawa ke makam orang-orang yang sewaktu
didunia suka menahan lapar dan dahaga. Orang-orang itu kemudian
dibangkitkan dari kubur lalu dinaikkan ke atas kendaraan yang telah
disediakan, dan mereka pun pergi menuju Allah SWT.”
Ibrahim ibn Adham mengabarkan: Aku telah
menerima suatu riwayat bahwa Iblis melihat Nabi Isa AS berlapar-lapar
di malam dan siang hari. Iblis bertanya, “Mengapa kau berlapar-lapar
seperti itu? Maukah kamu aku bawakan makanan?’
Nabi Isa AS menjawab, “Kamu tahu bahwa
sesungguhnya jika aku berkata kepada gunung-gunung dan lembah-lembah
‘Jadilah kalian makanan atas izin Allah’, mereka pasti menjelma menjadi
makanan. Kamu adalah musuhku dan hawa nafsu adalah mata-matamu yang ada
padaku.”
Hawa nafsu adalah mata-mata Iblis. Hawa
nafsu selalu menanggapi keinginan Iblis, dan setan selalu memuaskan
keinginan hawa nafsu. Hawa nafsu juga selalu meminta bantuan Iblis untuk
memudahkan apa yang diinginkannya dan Iblis selalu mengembuskan
bisikannya ketika menggoda seseorang lewat hawa nafsu. Rasa lapar
menutup gejolak hawa nafsu sehingga ia tidak bisa menyampaikan
keinginannya kepada Iblis.
Setelah hawa nafsu tidak berdaya karena
ditaklukkan oleh lapar, mucullah kemudian watak spritualitas yang siap
menerima limpahan cahaya Ilahi dan beragam ilmu pengetahuan.
“Aku sedang melaparkan dan melemahkan
mata-matamu, sehingga dia tidak lagi mempunyai kekuatan untuk
menyampaikan berita tentang aku kepadamu. Laparku sungguh membuatmu
marah sekaligus lemah dan tidak ada yang aku inginkan dari dunia selain
itu (kemarahan dan kelemahanmu).”
Ibrahim ibn Ad-ham bersyair tentang
lapar:
Kulihat lapar mengalahkan godaan roti nan lezat Dan
rayuan air Sungai Efrat yang mengalir bening Kulihat lapar mendorong
orang untuk shalat Kulihat kenyang mendorong orang untuk tidur
berbaring
Kedua, meneladani perilaku Rasulullah SAW dan para
sahabat agar dimasukkan ke dalam kelompok mereka. Rasulullah SAW
bersabda, “Barang siapa meniru suatu kaum, ia adalah bagian dari
mereka.” Ali bin Abi Thalib RA bercerita, “Suatu hari aku masuk ke rumah
Rasulullah SAW. Aku lihat, beliau bertelungkup di atas tikar sambil
menyembunyikan wajah. Tubuhnya terlihat lemas karena menahan lapar.
Ketika itu Rasulullah SAW berdoa, ‘Dengan lapar dan dahagaku, ampunilah
umatku atas dosa-dosa mereka’.”
Aisyah RA meriwayatkan, “Rasulullah SAW
dan para sahabatnya biasa menahan lapar.”
Abu Hurairah RA berkata, “Kamu lihat,
aku merintih di antara kuburan Nabi SAW dan mimbar karena lapar,
sampai-sampai orang bilang bahwa aku ini gila. Aku bukan gila, melainkan
lapar.”
Pernah suatu kali, ketika Rasulullah SAW
mengimami shalat, beberapa sahabat tidak sanggup berdiri karena lapar.
Seusai shalat, Rasulullah SAW menoleh
ke arah mereka dan bersabda, “Seandainya kalian tahu apa yang akan
kalian dapatkan di sisi Allah SWT (karena lapar kalian), niscaya kalian
akan menambah (lapar kalian).”
Ibn Abbas RA meriwayatkan: Rasulullah
SAW suatu hari menjenguk seorang laki-laki Anshar yang sedang sakit.
Beliau bertanya, “Apakah kamu menginginkan sesuatu?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya, roti
gandum.”
Beliau berkata, “Siapa yang memilikinya,
bawalah kemari.”
Seorang laki-laki pulang dan kembali
lagi sambil membawa sepotong roti, lalu diberikannya kepada laki-laki
yang sedang sakit itu.
Rasulallah SAW bersabda kepada Abu
Dzarr, “Sedikitlah makan dan sedikitlah bicara, kamu akan bersamaku di
surga seperti dua jari ini (Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk
dan jari tengah).”
Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya
orang yang paling dekat tempatnya denganku di antara kalian pada hari
Kiamat adalah orang yang lapar, dahaga, dan kesedihannya panjang di
dunia.” Abu Hurairah RA dan Ibn Mas’ud bersama tiga sahabat lain pada
suatu hari menemui Rasulullah SAW. Mereka semua dalam keadaan lapar.
Mereka berkata, “Ya Rasulullah, adakah sedikit roti? Kami lapar.”
Rasulullah SAW tidak memiliki makanan
untuk mereka selain bubur gandum.
Mereka pun memakannya, tetapi tidak
merasa kenyang. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, sampai kapankah kami
dalam kelaparan?”
Beliau bersabda, “Kalian tidak akan
menjadi suci dalam kelaparan, tetapi bertaqwalah kepada Allah SWT dan
teruslah bersyukur. Sesungguhnya aku tidak menemukan suatu kaum yang
masuk surga tanpa dihisab kecuali orang-orang yang sabar.”
Bukanlah lapar itu sendiri yang membuat
seseorang suci, melainkan faktor yang mengikutinya, berupa sabar dan
taqwa. Itulah yang membersihkan dan menyucikan jiwa.
Ketiga, mengurangi kenikmatan
duniawi dalam diri. Rasulullah SAW bersabda, “Akan datang kepada
manusia suatu zaman yang saat itu tameng mereka yang paling kuat adalah
lapar, ilmu mereka yang paling baik adalah diam, dan ibadah mereka yang
paling utama adalah tidur.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Barang
siapa rela dengan rizqi yang sedikit dari Allah SWT, Allah rela
terhadapnya dengan amal yang sedikit.”
Al-Makki mengutip wejangan Hatim
Al-Ashamm: Tinggalkan nafsu syahwat, kamu tidak akan menjadi pelayan
para pemburu dunia! Tinggalkanlah kesenangan dunia, kamu akan selamat
dari dosa! Tinggalkan ketamakan, kamu akan terhindar dari kesedihan!
Semakin gencar seseorang memanjakan perutnya dengan melahap apa saja
yang dia sukai, semakin giat dia mengejar dunia. Semakin sering
seseorang melaparkan perutnya, semakin jarang ia mencari dunia.
Keempat, mendapatkan ketenangan
dan rasa kenyang di akhirat. Satu hari pada hari Kiamat lamanya sama
dengan 50 ribu tahun di dunia, dan di sana tidak ada makanan, minuman,
istirahat, dan kententeraman. Rasulullah SAW bersabda, “Manusia akan
dikumpulkan pada hari Kiamat dalam keadaan lapar dan dahaga, dan
sesungguhnya orang-orang yang lapar di dunia akan menjadi orang-orang
yang kenyang di akhirat.”
“Jika kau mampu, ketika maut
menjemputmu, perutmu dalam keadaan lapar dan kerongkonganmu merasa
dahaga, lakukanlah. Dengan begitu, kamu akan memperoleh kedudukan yang
paling mulia, digabungkan bersama para nabi, dan para malaikat akan
gembira dengan kedatangan ruhmu kepada mereka.”
“Yang paling aku khawatirkan atas diri
kalian adalah nafsu syahwat yang ada pada perut dan kemaluan kalian.”
Kelima, mempersedikit
bolak-balik ke WC. Dengan begitu, diharapkan ia memperoleh derajat orang
yang benar dan malu.
Rasulullah bersabda kepada para sahabat,
“Malulah kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah,
bagaimana cara kami malu kepada Allah SWT?”
Beliau bersabda, “Orang yang benar-benar
malu kepada Allah SWT hendaknya menjaga perut dan apa yang dimakannya,
menjaga kepala dan apa yang dikandungnya, serta mengingat mati dan
akhirat.”
Menjaga perut adalah membuatnya lapar
karena Allah SWT dan mempersedikit makanan yang dimasukkan ke dalamnya
supaya sedikit pula yang keluar darinya.
Malik bin Dinar berujar, “Aku merasa
malu kepada Tuhanku karena seringnya aku keluar-masuk WC. Aku begitu
malu sampai-sampai aku berangan-angan, sekiranya Allah menjadikan
rizqiku berupa butiran-butiran pasir, sehingga aku dapat menahannya
hingga maut menjemputku.”
Ketika menggambarkan para sahabat Nabi
SAW, Hasan Al-Bashri bertutur, “Di antara mereka ada yang setelah makan
berangang-angan, andai saja apa yang telah dimakannya tetap berada dalam
perutnya seperti diamnya batu di dalam air, sehingga ia tidak perlu
lagi mencari makanan.”
Keenam, menghindarkan diri dari
kemurkaan Allah SWT dan menjauhi yang dibenci-Nya. Rasulullah SAW
bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih dibenci Allah SWT daripada perut
yang terisi penuh walaupun dengan yang halal....”
Dalam sebuah riwayat dikabarkan, bumi
menjerit kepada Allah SWT atas tiga orang: orangtua yang berzina, orang
miskin yang sombong, dan orang yang menjejali perutnya dengan makanan
dan minuman.
Orang yang kenyangnya ada di antara dua
lapar, ia telah mengikuti jejak para sahabat Nabi SAW. Jika seseorang
berpuasa seumur hidupnya dengan berbuka pada malam hari dan berpuasa
lagi keesokan harinya, ia berada di antara dua lapar. Lapar orang
seperti ini lebih banyak dari kenyangnya.
Ketujuh, melatih dan memelihara
kepekaan kepada orang yang akrab dengan lapar, penderitaan, dan
kesulitan hidup lainnya. Nabi Yusuf AS, sewaktu menjadi bendahara
kerajaan di Mesir, ditanya mengapa ia tidak pernah mengenyangkan diri
dengan makanan. Beliau menjawab, “Aku takut jika aku kenyang aku lupa
kepada orang yang lapar.”
Dikabarkan, Hatim Al-Tha’i mempunyai
seorang ayah yang banyak harta. Ia menyuruh Hatim supaya tidak banyak
memberi, tetapi Hatim malah tidak berhenti memberi.
Ada yang memberi saran kepada ayah
Hatim, “Jika Tuan ingin Hatim berhenti, Tuan harus mengurungnya di dalam
rumah selama beberapa hari. Selepas itu, ia tidak akan memberi lagi.” Ayah
Hatim pun melaksanakan nasihat itu. Ia mengurung Hatim di dalam rumah.
Setelah sebulan dikurung, barulah Hatim
dilepaskan.
Si ayah yakin bahwa, setelah dikurung,
Hatim tidak akan mengulangi kebiasannya lagi. Karena itu, ia memberi
Hatim dua ratus unta.
Apakah yang selanjutnya terjadi?
Hatim memanggil penduduk kampung seraya
berkata, “Barang siapa mengambil unta di antara unta-unta ini dengan
tali, unta itu menjadi miliknya.”
Mereka pun berbondong-bondong mengambil
unta, dan habislah semua unta di tangan Hatim. Sepulangnya ke rumah,
Hatim menceritakan hal itu kepada ayahnya.
Si ayah bertanya, mengapa ia masih
berbuat seperti itu.
Hatim menjawab, “Rasa lapar telah
mendorongku untuk tidak kikir dengan apa yang aku miliki.”
Saiful Bahri
|