Oleh:
M. Nur Matdoan *)
A.
PENDAHULUAN
Kapan masuknya agama Islam di
Kepulauan Kai, siapa saja Para Ulama yang mula-mula mensyiarkan (menyebarkan) agama Islam, dan di mana tempat
mula-mula para Ulama singgah serta bagaimana awal perkembangan Islam? masih
merupakan pertanyaan semua orang pemerhati sejarah Islam dan membutuhkan jawaban pasti. Kita butuh sumber data pendukung yang valid serta obyektif, akurat, memiliki
bukti-bukti sejarah yang kuat serta ajeg,
tidak parsial, diperoleh melalui prosedur kerja ilmiah yang dituntut
dalam suatu penelitian yang sifatnya akademis. Sehingga akan diperoleh hasil
penelitian sejarah Islam yang baik dan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Karena hasil penelitian yang baik adalah petunjuk utama
penyelesaian masalah sejarah Islam di
Kepulauan Kai (Iskandar:2008).
Sumber iformasi yang dibutuhkan berupa hasil
penelitian sejarah Islam di Kepualauan Kai
sebagai sumber rujukan dan sumber
belajar ummat Islam. Karena dengan mempelajari dan mengetahui sejarah dan
perjuangan Islam masa lalu kita dapat menata kehidupan kini dan masa datang
berlandaskan nilai-nilai historis (historical
value) yang tertuang dalam suatu
tulisan sejarah Islam.
Munculnya suatu tulisan
sejarah Islam di Kai merupakan secercah harapan untuk turut mengisi bingkai
lukisan dunia Islam yang maha luas dan abadi, karena tulisan yang nanti Insya Allah terwujud merupakan secuil
pengetahuan berharga di antara buku-buku sirah, tarikh, ghazwah, hingga
thabaqot yang hampir tak terhitung jumlahnya. Meskipun oleh sebagian kalangan
atau orang lain dari tahun ke tahun sekian banyak tulisan-tulisan tentang
sejarah Islam sudah banyak bertebaran di mana-mana.
Sehingga kesempatan seperti ini, apapun dan bagaimanapun
rona/warna tulisan yang akan dihasilkan, siapapun nara sumbernya dan dari mana
asalnya serta bagaimanapun latar belakangnya, harus membuktikan bahwa para
leluhur/tetua, ataupun Ulama-ulama Islam Kei terdahulu telah menabur
permata-permata bernilai suci-cemerlang (dymond
velue) tidak terhingga yang tak pernah lekang, pribadi-pribadi beliau tak
pernah kering dan aus, menjadi buah
bibir dan sorotan pena serta mata hati orang-orang bijak dari dahulu, kini
hingga entah kapan, sampai hari kiamat, Wallahu
a’lam Bishowab.(Al-Mubarakfury, S.S.:2007).
Keberadaan Agama Islam di Kepulauan Kai bersamaan dengan
kedatangan para leluhur orang Kai di
wilayah ini. Ada berbagai versi sejarah yang selama ini berkembang dalam
masyarakat muslim Kei, namun semua itu merupakan wahana kekayaan lokal
sangat bernilai sebagai modal
dasar untuk membantu pemerhati sejarah Islam Kai dalam mewujudkan
cita-cita luhur terciptanya suatu penulisan sejarah Islam yang bermutu tinggi.
Masuknya
Agama Islam di Kepulauan Kai sangat erat kaitannya dengan datangnya gelombang dan irama perpindahan penduduk ke daerah tersebut. Pada awalnya perpindahan penduduk
dari Luang Mabes, Tidore, Ternate, Seram dan Banda Naira, mereka semua telah memeluk agama
Islam, namun karena kurang adanya pembinaan keagamaan, serta terkuras oleh
waktu dan kondisi sehingga beberapa tempat kehilangan syariat Islam bahkan musnah, dan kembali menyatu dengan
keadaan lingkungan yang ateis/anemis namun ada yang tetap mengembangkan syiar
Islam.
Penulisan sejarah Islam Kei seperti
halnya penelitian sosial lain, maka mengikuti prosedur penelitian kualitatif induktif, sehingga dalam
kegiatan ini akan mencoba mengembangkan teori model induksi (Blank Theory and Data Focus), dengan desain kualitatif–verikatif, yaitu data sejarah
sebelumnya cukup membantu peneliti untuk memahami data yang akan diteliti.
Teori yang ada membantu peneliti membuka misteri data sebenarnya yang tidak diketahui
peneliti, namun focus peneliti hanya tertuju pada data sejarah yang ada karena
pemahaman terhadap data adalah kunci jawaban terhadap masalah penelitian. Lihat
Gambar skema pada Lampiran (Burhan Bungin:2010:25).
Metode dan teknik yang
digunakan dalam kegiatan penulisan sejarah Islam Kei ini adalah, Focus Group Discussion (FGD) yaitu
teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif
dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok.
Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari suatu kelompok berdasarkan
hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga
dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang
penulis/peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti. Disamping Metode
FGD, digunakan pula langkah-langkah
analisis structural Levi-Strauss
dalam membantu menganalisis data sejarah yang ada. Teknis penerapan lihat pada
Lampiran (Burhan Bungin:2010:223).
B.
PENYEBARAN
AGAMA ISLAM DI KEPULAUN KAI
1.
BANDA
ELI DAN BANDA ELAT
Masyarakat Banda Eli dan
Banda Elat adalah penduduk Kai yang berasal dari Banda Naira, mereka
meninggalkan Banda Naira karena pertikaian antara
masyarakat Banda Naira dengan VOC di bawah pimpinan Yan Piterszoon Coen
pada taun 1621. Saat inipun masyarakat tersebut masih tetap mempertahankan
Agama Islam, Budaya ( Adat Istiadat ) dan Bahasa Banda Naira. Mereka ini yang
memperkuat dan menjadi penerus adat dan budaya Banda Naira (Des Alwi: 2004:11).
2.
PULAU
KUR
Pulau Kur dengan 11 Desanya mulai dari masuknya penduduk yang beragama Islam sampai
sekarang masih ietap mempertahan kan Agama Islam, Adat
Istiadat dan Bahasa. Raja pertama Kur
adalah seorang keturunan Arab yang
bernama Muhammad dan nama Kerajaannya adalah Makara.
3.
KEPULAUAN
TAYANDO (DESA OHOITON)
Masuknya Agama Islarn di
Tayando untuk pertama kali dibawa oleh
Marungun Banyal pada tahun 1550 dari Langgiar
Fer setelah itu di
susul oleh tiga orang
mubaligh yaitu Tawakaluddin,
Tafakadin dan Safakadin dari Banda Naira melalui Kur ke Desa Langgiar Fer baru
kemudian kembali ke Tayando. (Mahmud, M. 2001).
4.
DESA
DULLAH
Agama Islam untuk pertama
kali di bawa oleh Sultan Tahiruddin dari
Kesultanan Jailolo Maluku Utara pada tahun 1591 ke Desa Dullah. Namun putusnya hubungan da'wah telah menimbulkan hilangnya syariat Islam di sana dan akhirnya mereka kembali menyatu dengan
kepercayaan leluhurnya.
Pada masa pemerintahan Raja
Daung Val beliau mengadakan hubungan
dengan Kerajaan Langgiar Fer lalu beliau
menyatakan masuk Islam dan kemudian kembali ke Desa Dullah untuk dimandikan
bersama masyarakatnya secara Islam. (Mahmud,
M. 2001).
5.
DESA
LANGGIAR FER
a)
Permulaan
Masuknya Islam
Menurut Matdoan M. (2001), sampai
saat ini sejarah masuknya agama Islam di
Desa Langgiar Fer masih tetap merupakan penuturan lisan yang dituturkan dari
mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikut tanpa didukung dengan data otentik. Sehingga
perlu diadakan penelitian terus menerus
serta mempelajari literatur dan peninggalan sejarah untuk mendapatkan hasil
sejarah Islam yang bermanfaat.
Jalur masuknya Agama Islam
di desa Langgiar Fer melalui Aceh,
Banda, Kur dan Tayando, namun Kur dan
Tayando hanya merupakan tempat persinggahan saja. Pembawanya adalah Datuk
Abdullah bin Abdul Muthholib bin Abu Bakar
bin Hasyim dari Magribi (Maroko).
Menurut Ahmad
Fakaubun bahwa ayah Datuk Abdullah bernama Abdul Mutholib, lahir Banda Naira sedangkan Neneknya adalah tawanan Portugis dalam peperangan dengan Sultan Johar pada tahun
1511 yang pada waktu itu di buang ke Banda
Naira.
Kedua pendapat tersebut setelah di teliti ada suatu kejanggalan yang sangat mencolok yaitu:
cerita perjalanan mereka ditemukan bahwa Datuk Abdullah lahir di Banda Naira dan cucunya yang bernama Sarkol kawin dengan anak perempuan dari Raja Sawe di Kilmas Kur. Dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang
putera yang bernama Farne Vul, setelah dewasa ia pindah ke Desa Dullah lalu kawin dan memperoleh dua orang putera yaitu Arba Huren pindah
ke Desa Larat kemudian kawin dengan Sikremin
dan Mel Ren pindah ke Desa Taar.
Dari hasil penemuan di atas maka dapatlah dipastikan babwa yang
datang ke Desa Langgiar Fer adalah
keturunan Datuk Abbdullah yang bernama
Arba Huren dan diperkirakan tiba di Tenan Savav pada tahun 1661.
Hubungan antara Kepulauan
Kai dengan Pulau-pulau Banda Naira sudah berlangsung sebelum datangnya VOC di Banda Naira. Terjadinya pertikaian antara VOC dengan rakyat Banda Naira
pada tahun 1602 menyebabkan sebahagian dari
pemuka-pemuka Agama berangkat
meninggalkan Banda Naira menuju Kepulauan Kai, untuk pertama kalinya mereka tiba di Desa
Ngilngof.
Beberapa
waktu kemudian keluarga Seknun, Rumkel dan Rumaf dibawah pimpinan Datuk Abdullah Seknun pada tahun 1605 yang merupakan turunan Datuk Maulana pindah menetap di Desa Fer bersama anaknya yang
tertua bernama Muhammad Ali Fatha yang kemudian diangkat menjadi Imam pertama
di Desa Fer, Beliau meninggal pada tahun
1617 M/1026 H, makam di Fer-Langgiar.
Keluarga Rumaf menjadi Imam di Desa Mastur dan keluarga Rumkel beserta sebagian keluarga Rumaf berangkat ke Tayando, setelah mereka tiba
di Tayando diangkat menjadi Imam. Keluarga Rumkel diangkat menjadi Imam di Desa Meo Langgiar, pengangkatan Imam tersebut. ditandai dengan 1 kati emas
sehingga marga Rumkel berubah nama menjadi Katmas.(Mahmud.M. 2003).
Tamaslu Seknun anak dari
Datuk Abdullah diangkat menjadi Imam di
Ohuikurun (Desa Langgiar Fer sekarang) dan dari sinilah Agama Islam mulai berkembang
dan melembaga di Desa Langgiar Fer yang kemudian berkembang menjadi pusat pengembangan Agama Islam di kepulauan Kai pada akhir abad ke 18 (1704 M/1124 H) dimasa
pemerintahan Bal Tub Vuar (Muhammmad Baluddin
Matdoan). Beliau mengajarkan ilmu akidah dan ilmu tasawuf kepada masyarakat
sehingga beliau terkenal sangat alim.
Riwayat lain mengisahkan
bahwa, agama Islam di Desa Langgiar-Fer untuk pertama kali dibawa oleh Muhammad
Muqis (Ubtim Matdoan) pada abad 11 atau 12 Masehi, anak dari
Sultan Muhammad Isa dari Kota Basra yang dikenal di daerah Luang
Maubessy beliau diperkirakan tiba di sana pada tahun 1136 (wilayah ter Selatan Maluku, sekarang menjadi Kabupaten Maluku Barat Daya) dengan sebutan Raja Melayu karena beliau
datang ke Pulau Luang melalui Kerajaan
Melayu, dan agama Islam berkembang pesat di Kepulauan Kai pada generasi ketujuh yaitu saat berkuasa Larat Matdoan (1536). Suntuk ini dapat ditelusuri
riwayat sejarah beberapa Kerajaan Islam di Kepulauan Kei, Aru, Irian dan Pulau Ambon
(Leihitu—Seit, Negeri Lima dll.).
6.
DESA MATWEAR
Menurut sejarah yang diakui
masyarakat bahwa Raja Kerajaan Matwear yang pertama bernama Hasan Maqbir Bidian berasal dari Kesultanan
Adonara dan pusat kerajaannya adalah Desa Matwear sekarang. Raja Hasan Maqbir tidak mempunyai anak
laki- laki untuk menggantikan tahta
kerajaan sehingga tahta kerajaan
dijabat kembali oleh Un El Renfan. Dilihat dari silsilah perkawinan Raja Hasan Maqbir dengan Dit Nangan anak dari Tebtut Ohoi Vuur diperkirakan beliau datang
ke desa Matwear pada akhir abad ke 17
Masehi. Kehidupan beragama masyarakat sepeninggal Raja Hasan Maqbir adalah
bahwa sebagian rakyat Matwear masih
menganut Agama Islam, sebagian lagi beralih memeluk Agama Kristen Protestan (Mahmud,
M. 2001).
Gambar:
Peta Penyiaran Agama Islam di Nusantara (melalui pusat-pusat perdagangan seperti Samudera Pasai,
Malaka, Demak, Gresik, Ternate dan Tidore. Tanda anak panah menunjukkan dari
dan ke daerah mana penyebaran Islam berlangsung).
C. SELAYANG PANDANG SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DAN
PERKEMBANGAN QURRA WAL HUFFAZ AL-QUR'ANUL KARIM DI LANGGIAR-FER
Para orang tua, leluhur
masayarakat Kei khusus di Desa Langgiar
Fer, Ngafan, Sungai-Hoat
mengharapkan anak cucu mereka kiranya menjadi generasi yang
dapat mengenal membaca dan memahami
Al-Qur'an secara baik dan benar, sesuai dengan kehendak agama Islam. Harapan
dan keinginan ini tidak mudah untuk diraih begitu saja, karena di hadapan
mereka ada hambatan dan tantangan yang cukup berat.
Secara geografis, sosial
ekonomi serta budaya, tidak mendukung- karena wilayah kepulauan Kei terletak
diujung timur Kepulauan Indonesia. Pada
saat itu (abad ke 16) masih terisolasi dengan segala kemajuan dan perkembangan,
tertutup untuk semua informasi, masalah teknologi serta komunikasi. Masyarakat
masih mengandalkan hidup secara tradisional, berkebun, bertani, ke laut
menangkap ikan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Hidup di wilayah terpencil
dan tertutup untuk semua informasi dan perkembangan dari luar, tidak membuat
pupus semangat juang dan cinta mereka terhadap Allah, Rasul serta Islam. Dengan
tantangan hidup yang berat, mereka berusaha dengan semangat yang tinggi untuk
menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan mengaji Al-Qur'an.
Perjalanan para ulama Kei ke Haramain melalui
rute yang sangat panjang dan memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-bertahun.
Dari Kei menggunakan perahu layar melalui Sulawesi, Jawa, terus ke Singapura
dan Malaysia kemudian dengan kapal laut menuju tanah suci Mekkah. Ada beberapa orang
yang tidak kembali ke Kei, karena wafat di Mekkah--Madina--Saudi Arabia, bahkan
dalam perjalanan.
Beberapa generasi sudah pulang pergi ke
Mekkah menjelang abad 17, disamping belajar ngaji dan tafsir Al-Qur'an ada yang
mendalami disiplin ilmu tasauf, figih
dan ilmu kalam, serta disiplin ilmu agama lainnya. Mereka bermukim
selama bertahun-tahun di Mekkah untuk belajar dan mengaji Qur'an dan mendalami
Islam.
Mereka kembali ke Kei dengan
meguasai Al-Qur’an dan ilmu agama dalam bidang masing-masing, kemudian
mengajarkan ilmu kepada masyarakat muslim di sana. Semangat kehidupan yang
mereka bina pada saat itu sangat bernuansa keislaman khusus di seluruh wilayah Kepulauan Kei (Maluku Tenggara), bahkan
hampir seluruh wilayah Maluku (Seram Bagian Timur) dan Irian Barat (terutama
daerah Fak-Fak, Kaimana dan sekitarnya). Keimanan masyarakat Kei terhadap Islam terjadi bersamaan dengan penyebaran Islam di wilayah lain
Indonesia/Melayu (pada pertengaban abad 15 awal abad 16).(Republika, 25 Juli
2003).
Menjelang akhir abad 18
telah terjadi kebangkitan para ulama di Maluku. Bukan hanya ditandai dengan berkembangnya
tradisi pengetahuan Islam tetapi juga penyebaran gerakan pembaruan Islam di
wilayah Maluku dan Irian Jaya. Menurut
hikayat para ulama Kei memiliki hubungan leluhur dari, Johor, Malaysia, dan Bugis Makassar. Mereka memiliki hubungan
kekerabatan dengan para ulama pensyiar Islam dari Timur Tengah.
Versi yang jelas serta data
autentik mengenai asal-usul para ulama Kei belum ada referensi pendukung, hanya
berdasarkan penuturan lisan turun temurun. Hal ini menuntut kajian historis
serta penelusuran sejarah sehingga ada kepastian data yang digunakan sebagi
referensi dalam membahas sejarah penyebaran Islam di wilayah Kei Maluku
Tenggara.
Menurut data yang diperoleh
dan sepanjang catatan terkumpul, dinyatakan babwa Islam pertama kali di
Kepulauan Kei yaitu di Desa Langgiar pada tahun 1511 M, dibawa oleh seorang
ulama keturunan Sayid dari daerah Hadhramut (setelah pecahnya daulah
Fatimiyah). Nama beliau adalah Sayid Abdullah, datang melalui wilayah Gujarat,
Johor dan masuk ke Langgiar pada saat Portugis merebut Malaka dalam
menjalankan politik penjajahan, kemudian
menyusul datuk Maulana ke Tayando Kei Kecil (lihat Silsilah terlampir). Selain
bukti sejarah para leluhur yang berasal dari Luang Maubesy (Pulau-pulau
Terselatan), jauh-jauh hari atau berabad-abad lamanya mereka sudah mendiami
Kepulauan Kei dugaan yang memperkuat pemahaman bahwa, dari generasi ke generasi
para leluhur dari Luang tidak ada riwayat bahwa siapa yang meng-Islamkan
mereka.
Pada abad 16 atas prakarsa
kepemimpinan dan kesepakatan adat (Mel Yam Fak) empat leluhur atau pemuka
masyarakat Langgiar Fadir, Fako, Wadufin
dan Larat Matdoan menyepakati suatu ikrar atau stateman suci atas dasar
syariat Islam, dengan upacara sakral di Desa Langgiar Fer, dengan memberi nama
(Wama Sirken), Wama = tempat; Sir = rahasia; Ken = Kebenaran, artinya tempat rahasia kebenaran.
Kemudian syariat Islam dapat
menyebar ke seluruh Kepulauan Kei dan sekitarnya, disusul pula dengan datangnya
para ulama seperti; 1) Abdurrahman Bilawa dari Bone pada tahun 1786; 2) Sayid
Ahmad bin Muhammad Al Idrus dari Timur Tengah, singgah di Cirebon, pada tahun
1809, meninggal dan makam di Desa
Nagafan, 3) Datuk Abdurrabbi dari Johor
Malaysia--Minangkabau pada tahun 1611, nikah di Langgiar Fer dan beranak pinak,
setelah itu kembali ke Minangkabau, 4) Sayid Abdurrahman Assyatri pada tahun 1813, mukim di Langgiar
dan punya anak cucu sampai saat ini, makam di Langgiar 4) Sayid Muhammad Zawawi, pada abad 18, nikah
dan punya anak cucu, wafat dan makam di Desa Ler Ohoilim 5) H. Sirajuddin Karaeng Magangka dari Sulawesi
Selatan pada paruh kedua abad 18, nikah punya anak cucu; wafat dan makam di Makassar.
Generasi pertama yang pergi
ke tanah Haramain adalah Haji Muhammad Arif
Fakaubun pada tahun 1816, ini adalah misi pertama untuk mempelajari dan
menghafal Al Qur'an di Mekkah (lihat
Tabel pada Lampiran 1).
Terjalin keakraban lahir
batin dan silaturrahmi antara guru dan murid (di Mekkah dan Langgiar) sehingga
saling kunjung mengunjung. Mereka tetap menjalin komunikasi dan silaturrahmi
dengan Tuan-Tuan Guru (Syeikh) mereka di Mekkah. Hingga pada suatu saat datang
berkunjung ke desa Langgiar dua ulama
besar dari Mekkah pada tahun 1865, yaitu Al Mukarrom Hadratus Syekh Al Haji Hamzah
Sombul (penguasa Masjidil Haram Mekkah dan Al Mukarrom Hadratus Syeik Al Haji Habib
Muhammad bin Abdul Mu'ti Mirdadi (Hatib dan Imam Besar Masjidil Haram Mekkah).
Dengan rasa haru bertambah
suka cita yang dalam menyambut kedua tamu yang mulia ada keinginan lagi untuk
terus menyambung tali silaturrahmi dan komunikasi yang selama ini sudah
terjalin baik, hingga suatu saat dalam satu pertemuan dengan para tamu guru
besar mereka timbul pertanyan menarik. Bagaimana kami dapat mengaji Al-Qur'an
seperti orang-orang Mekkah?
Sehingga pada usia sembilan tahun Abdul Karim Rahannyaan kecil dari desa
Ngafan Kei Besar berangkat ke Mekkah untuk belajar mengaji Al-Qur'an pada tahun
1830 selama kurang lebib 35 tahun beliau bermukim dan belajar nagji Al-Qura'an
sampai mencapai usia 44 tahun di Mekkah.
Turan Ngur Leb Lor (julukan
masyarakat muslim Kei kepada tuan guru Haji Abdul Karim Rahannyaan). Beliau kembali ke kampung
halaman (Langgiar Fer) pada tahun 1874
dan mengajarkan serta menghafal Al-Qur'an atau yang lazim di sebut Qurra wal
Huffaz Al-Qur'anul Karim selama kurang lebih 10 tahun.
Beliau adalah generasi
ketiga yang meletakkan sejarah bagi generasi-generasi berikutnya mengenai Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul Karim di
Kepulaun Kei. Setelah termotifasi dengan
semangat beliau yang berhasil mengaji dan menghafal Al Qur'an sebagaimana
masyarakat Mekkah sehingga orang kampung ingin seperti beliau. Keinginan mereka
agar dapat mengikuti jejak beliau untuk mengaji dan menghafal Al-Qur'an di
tempat asal turunnya Al Qur'anul Karim yaitu Kota Mekkah tempat lahirnya Nabi
Muhammad Saw, dan Alhamdulillah niat suci itu terwujud di tempat yang diberkahi
Mekkah) di antaranya Tuan Guru Al-Mukarrom Haji Muhammad Said Rahannyamtel,
Al-Haji Abbas Rahannyaan, Al-Haji Muhammad Yahya Matdoan, dengan bermodalkan niat
suci walaupun penuh derita, sebelum
perang dunia pertama (pada tahun 1901) ke Mekkah sekaligus menunaikan ibadah
haji--rukun Islam kelima.
Sebelum itu Al-Haji Muhammad
Syekh Fakaubun beliau mendalami ilmu hukum Islam, dan Al-Haji Baharuddin Matdoan tahun
1775, mukim di Mekkah selama puluhan
tahun (kurang lebih 16 tahun) mendalami ilmu tasauf, yang kemudian menyusul
pula Al-Haji Muhammad Zein Matdoan pakar tasauf, mengikuti jejak beliau sekitar akhir abad
17—18, mukim di Mekkah 5 tahun.
Selama kurang lebih 15 tahun menekuni
Al-Qur'an maka pada tahun 1916 mereka kembali ke kampung halaman (Langgiar Fer)
Insya Allah dengan menyandang haji mabrur artinya haji dan amalan mereka mendapat ridho Allah.
Setiba mereka di kampung halaman dengan
semangat pengamalan Al-Qur'an sehingga mereka mendapat gelar dari
masyarakat Islam Kei saat itu dengan gelar Yaman
Teen dan Leeb Lor karena menjadi imam besar di masjid-masjid serta Turan
ngur atau guru ngaji, mereka ini termasuk kelompok generasi ke lima (pada
tahun 1905--1920). Periode ini hubungan baik para
leluhur dengan ulama di Mekkah-Madina terjalin erat dan sangat baik, karena
masih ada kunjung-mengunjung antara guru dan murid. Bukti kedatangan Tuan
Sayid/Habib Abdul Hamid bin Muhammad bin Abdul Muthi Al Mirdadi ke Langgiar Fer
(Kei) tahun 1902, (lihat Foto Dokumentasi pada Lampiran).
Pada era generasi ini
pembinaan Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul Karim
semakin berkembang baik karena selain desa Langgiar Fer, Sungai--Ngafan
bertambah lagi desa baru yaitu Larat. Para siswa bertambah banyak dan dapat
dilokalisir berdasarkan wilayah pemukiman. Para ulama inilah yang mendorong
didirikan lembaga-lembaga pendidikan
tradisonal seperti yang dikenal di wilayah lain di Indonesia/Melayu
sebagai pondok pesantren. Dengan sarana
tempat belajar seadanya para guru/turan ngur
leb dengan kesederhanaan mereka, tabah dan tekun mengajar ngaji
mulai dari mengenal huruf hingga lancar
membaca Al-Qur'an, kemudian mengajarkan tentang makhraj dan tajwid sampai khatam dan hafal, semuanya dilakukan dengan
rasa ikhlas karena Allah Ta'ala.
Termotivasi dengan sikap
mereka maka masyarakat Kei pencinta Al-Qur'an tertarik untuk belajar pada Turan ngur/Leb lor di Kei dan tidak
harus datang ke Mekkah untuk belajar ngaji dan menghafal Al-Qur'an di sana.
Bila kemampuan membaca dan menghafal Al-Qur'an sudah baik, kemudian berangkat
ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji rukun Islam yang kelima,
Pada awal kemerdekaan datang
pula para ulama/ustaz dari Ambon ke Langgiar Fer, Sungai--Nagafan, di antaranya
adalah Al Mukarrom H. Sayid Abubakar
Alidrus, ahli bahasa Arab, nahu syaraf, dan tasauf (terakhir sebagai
Kakanwil Departemen Agama Propinsi
Maluku di Ambon tahun 1970an), dan Almukarrom KH. Djafar Awad Alkatiri (ahli
bahasa Arab, tafsir, terakhir sebagai Penasehat DPW NU Wilayah Maluku dan DPP,
anggota DPRD Propinsi Maluku tahun
1980an) mereka mukim di Kei sejak tahun lima puluhan sampai dengan akhir tahun
enam puluhan. Setelah itu mereka pulang--pergi Ambon dan Kei. Para ulama ini
sudah mengembangkan pembelajaran secara
klasikal, dan pendidikan madrasah yang diberikan nama musthonmallimin (mencetak
kader-kader ulama yang sudah moderat).
Perkembangan pencerahan
Islam semakin semarak hampir di seluruh Maluku. Kader-kader yang dihasilkan
pada masa ualama-ulama ini antara lain ; 1) Al-ustaz H. Muhammad Muzni Matdoan,
beliau imam masjid Kiom Tual, guru ngaji, sampai akhir hayat sebagai penasehat
senior DPD PPP Kabupaten Maluku Tenggara. 2)
Al-ustaz H. Usman Rahannyaan, guru ngaji, imam masjid dan guru madrasah,
3) Ustaz H. Muhammad Asnawi Seknun, guru ngaji, imam masjid Kehutanan Tual dan
Fer. 4). H. Munawir Matdoan, guru ngaji, guru tasauf, 5) Ustaz H. Abdul Wahid Rahawarin S.H. guru
tasauf, terakhir sebagai Ketua DPRD Kota Madya Ambon periode 1989--1997), 6)
Al-ustaz Ahmad Difinubun, guru tasauf, Kepala Desa Hoat/Sungai. 7).H. Abubakar
Matdoan, guru ngaji, guru tasauf, 8) Abidin Difinubun, guru ngaji dll. 9).
Sayid Abubakar Al-Atthas wafat tahun 1998 di Hitu.
Bersamaan dengan itu muncul
pula para pejuang Islam lebih moderat seperti; 1) H. Sayid Ramli Zawawi,
pensiunan pegawai Departemen Penerangan RI, tokoh Masyumi tahun 1950an, terakhir anggota DPRD Propinsi
Maluku dari fraksi PPP, wafat, tahun 2001 di Ambon, wafat di Ambon tahun 2000 2) H.
Abdul Mu'thi Fakaubun, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten Maluku Tenggara, tokoh Masyumi tahun 1950an
dan wafat tahun 2009 di Tual 3). H. Ahmad Fakaubun, pensiunan pegawai
Departeman Agama Propinsi Maluku,
pernah sebagai anggota DPD Kabupaten
Maluku Tenggara, 4) Usman Matdoan, pensiunan pegawai Departemen
Penerangan Propinsi Maluku, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten Maluku Tenggara, salah satu tokoh kunci
dalam pembebasan wilayah Maluku Tenggara dari cengkerman colonial Belanda dan para
musuh NKRI pada awal kemerdekaan RI.
Perjuangan syiar mereka sudah disalurkan melalui birokrasi dan
pemerintahan, bentuk dakwah mereka adalah bil- hal.
Sampai saat ini kader-kader
ulama Kei belum dapat di data semua secara lengkap, karena anak cucu leluhur
Kei banyak bertebaran di seluruh wilayah Indonesia. Dapat disebutkan sebagai
contoh beberapa cendekiawan muda muslim, anak cucu dan penerus cita-cita luhur
para Ulama leluhur Langgiar Fer, Kei Maluku Tenggara, seperti; 1) Ir. H. Sayid
Sayuti Asyatri, pakar tasauf, pemikir dan perencana pembangunan, mantan wakil
sekertaris Presiden periode Presiden Abdurrahman Wahid, mantan penasehat senior
DPP PAN dan Anggota DPR RI, Wakil Ketua Fraksi bidang Otonomi Daerah periode
2004—2008. Sekarang Presiden/Ketua Umum Partai Demokrasi Kebangsaan.
Ustaz Sayuti Rahawarin
mantan anggota DPR RI, aktifis da'wah, mantan Sekjen Partai Islam Indonesia
Masyumi, 3) Ustaz Ahmad Barji Matdoan. guru ngaji, aktifis da wah,
mantan/pendiri Pemuda Pelaksana Da’wah Islamiah Maluku Tahun 1970an- sampai
sekarang, 4) Drs. H. Hanafi Renhoran, M.M., pensiunan pegawai Departemen Agama
Pusat, aktivis da'wah 5) Drs. H. Abbas Rahannyamtel, rnantan Kakandep Agama
Kabupaten Maluku Tenggara, Kabid Urusan Haji Depag Propinsi Maluku. 6) Drs. H. Muhammaddin
Rahannyamtel, Pensiunan Kepala Sekolah MAN di Jakarta, aktifis da'wah, 7) Drs. Hasan Rahakbau,
aktifis da'wah, pensiunan guru MAN di Jakarta, 8) Ustaz Muhammad Qosim Matdoan,
hafiz, guru ngaji dan guru agama di Jakarta, aktifis da'wah, 9) Ustaz Muhammad
Rahanyamtel, S.Ag, M.Pdi. hafiz, dosen IAIN Ambon, guru ngaji, da’i, dan masih
banyak yang perlu diadakan pendataan dan penelitian agar dapat diungkapkan
dalam bentuk tulisan dan referensi untuk kepentingan da'wah dan pemerhati
sejarah pergerakan Islam di Nusantara.
Selengkapnya perkembangan
syiar Islam dan Qurra wal Huffaz Al-Qur anul Karim di Kepulauan Kei dari
generasi ke genarasi dapat dilihat pada Tabel
(Lampiran 1).
Generasi kesepuluh mengalami
pasang surut sangat drastis dan kemunduran yang pesat, ini disebabkan karena kendala yang dihadapi dari generasi ke
generasi, seperti kurangnya perhatian pemerintah, keterbatasan fasilitas
pembelajaran, rendahnya kesejahteran tuan-tuan guru, juga karena terjadi
konflik sara (tahun 1999), sehingga membawa korban jiwa, harta benda, dan
kerugian moral dan material sangat banyak..
Saat ini kondisi Qurra-Walhuffaz masih berjalan secara konvensional, belum
ditata dengan manajemen yang baik, sehingga diharapkan perhatian semua kalangan
ummat Islam untuk membangun dan membangkitkan kembali semangat ummat dalam
mempelajari dan menghayati serta mengamalkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup
dunia wal-akhirah.
D. SEKILAS PERAN ULAMA DAN PERGERAKAN ISLAM AWAL
KEMERDEKAAN DI KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA
Ketika terjadi kekosongan
kekuasaan pemerintahan di
Indonesia pada akhir perang dunia II, oleh Bangsa Indonesia dianggap sebagai
suatu rakhmat yang harus disyukuri dan dimanfaatkan. Proklamasi 17 Agustus 1945
yang didengungkan oleh proklamator Soekarno--Hatta ternyata telah mampu berkumandang serta membahana
sampai ke seluruh penjuru dunia, terutama negara-negara Sekutu.
Sekutu dengan segera mendaratkan pasukannya di seluruh wilayah
Tanah Air. Setiap pendaratan sekutu, berboncengan pula dengan Tentara NICA, dan
mengakibatkan pertempuran terjadi dihampir seluruh Nusantara. Keadaan
seperti itu pula yang terjadi pada
wilayah Timur Indonesia, tepatnya di
daerah Kepulauan Kei Maluku Tenggara.
Pertengahan
September 1945 pendaratan dilakukan oleh tentara Australia (Sekutu)
berboncengan dengan KNIL, penangkapan
dilakukan terhadap sisa-sisa anggota "Merah Putih" di Dobo,
yang kemudian dibawa ke Ambon. Menyusul
pula penangkapan-penangkapan berikutnya, sesuai tuduhan yang diperoleh dari
kaki tangan mereka. (Zawawi Ramli: 1988).
Para ulama Islam leluhur Kei pejuang merah putih
beberapa mendapat tekanan politik dari lawannya, mereka diintimidasi dan
ditekan, bahkan ditahan dan dihukum dan dipenjarakan, sebut saja Ust. H. Mahmud Fakaubun, H. Sayid
Ramli Zawawi, Sayid Hasan Zawawi, Sayid Ali Almohdar pada tahun 1946 (Zawawi Ramli,
1988).
Peristiwa-peristiwa
silih berganti mereka alami dalam memperjuangkan dan mempertahankan merah putih
di bumi Kepuluan Kei-Maluku Tenggara.
Zawawi, menjelaskan bahwa
tokoh-tokoh agama Islam pejuang kemerdekaan di daerah ini yang antara lain
adalah Sayid Abdurahman Asyathry, Idris Renwarin, Sayid A.
Alhamid, dan masih banyak lagi. Semangat Merah Putih makin terpatri dengan
kokohnya, terutama dalam dada generasi muda tinggal menunggu saatnya untuk
mengakhiri kezaliman Belanda beserta
antek-anteknya di daerah ini.
Menyadari bahwa kekuatan Umat Islam perlu disatukan dalam sebuah
wadah untuk menghindari perjuangan yang terpisah-pisah dan tidak bertanggung jawab,
maka oleh Haji Gani Renuat Cs,
dibentuklah suatu Organisasi lslam yang diberi nama Persatuan Islam Umum (PIU),
muliputi seluruh Kepulauan Kei.
Tercatat bahwa inilah organisasi pertama yang berdiri secara resmi
di daerah Maluku Tenggara dan peristiwa tersebut terjadi pada bulan Desember
1946. Selanjutnya Zawawi menjelaskan, pada tanggal 20 Januari 1947, dibentuklah sebuah organisasi perjuangan di Desa Langgiar Fer yang diprakarsai oleh Ust. Achmad Difinubun,
Kepala Desa Sungai beserta beberapa orang warga desa sekitar, antara lain Ust. Achmad Fakaubun, Ust. Usman Matdoan, Ust. Muhammad Bin Hatim, Ust.
Munawir Matdoan, dan Us.t H. Sayid Ramli Zawawi.
Wilayah kerja organisasi ini terbatas pada daerah Yut Selatan (Kei
Besar) sesuai dengan namanya yaitu Persatuan Islam Yut Selatan (PlYS). Dengan terbentuknya organisasi Islam
Yut Selatan, merupakan cambuk
bagi pemimpin organisasi PIU, sehingga dalam waktu
yang tidak terlalu lama, mereka mendatangkan guru-guru dari Ambon, antara
lain: Ust. Habib Abubakar Alaydrus,. Ust. A.K. Liem, Ust. Akhmad Liem, Ust. A.
Lestaluhu, H. Amin Elly, dan Ust. Ismail
Tangke, yang kesemuanya adalah guru
Agama Madrasah.
Sementara itu, diawal tahun 1947, Organisasi PlYS sendiri mendatangkan
seorang guru yaitu KH. Jafar Awad Alkatiri dari Ambon. Guru-guru madrasah
yang didatangkan itu sebagian besar
adalah bekas anggota PIM atau Partai
Indonesia Merdeka, maka pendidikan yang mereka ajarkan berimbang antara pendidikan Agama dan Politik.
Dengan demikian, sebagian besar rakyat di daerah ini mulai
mengetahui tentang seluk-beluk politik, terutama para pemudanya. Dan dengan
semangat juang nasional yang telah diletakkan dasarnya oleh Mr. Slamet Cs,
berikut didukung dengan pendidikan politik praktis yang mendalam tentang
cita-cita Nasional Bangsa Indonesia dimasa depan, maka kesemuanya itu merupakan
modal utama yang sangat berguna bagi masyarakat di Kepulauan Kei terutama pemudanya.
Pada saat itu pengaruh
organisasi Islam PIYS sampai ke wilayah
Irian Barat. Sesuai penjelasan H. Sayid Ramli Zawawi, dalam suatu pertemuan di
rumah Ust. Achmad Difinubun pada tanggal 20 Juli 1948, usai acara Maulid Nabi
Muhammad SAW, bahwa Al-Ust. Habib A. Alaydrus dan H. Amin Elly (mantan anggota MPR
RI), mendesak dan menganjurkan kepada
beliau agar berusaha memberikan pengertian kepada masyarakat Irian Barat
terutama menjelang KMB tentang status Irian Barat dewasa ini, sehingga disamping sebagai Kepala Pemerintahan Negeri,
beliau juga adalah Ketua PlYS.
Disarankan agar upaya dilakukan melalui jalur pendidikan, jika
tidak, maka dengan cara berdagang sebab yang penting, Irian Barat bisa
dijangkau, menjelang KMB tentang status
Irian Barat, sehingga mereka dapat
menyuarakan aspirasinya.
Sebagai langkah awal PIU mengirim dua tenaga guru ke Kaimana untuk
selanjutnya mendirikan Madrasah.
Berikut upaya Ust. Achmad Difinubun melalui usaha dagang kayu balok.
Pada awal September 1948, H. Sayid Ramli
Zawawi memimpin 150 orang tenaga kerja berangkat ke Fak-Fak (Irian Barat) dan
pada bulan Oktober menyusul gelombang kedua dengan tenaga kerja sebanyak 100
orang. Kemudian pada bulan Desember dalam
tahun yang sama sejumlah 150 tenaga kerja tiba di Fak-Fak sebagai rombongan terkahir, sehingga pada waktu
itu anggota PIYS yang berupa tenaga kerja yang berada di Fak-Fak dan sekitarnya
berjumlah 400 orang.
Menurut Zawawi, (1988). Sehari-harinya kami berusaha membina
hubungan dengan masyarakat sekitarnya secara kekeluargaan sehingga ada saling
pengertian dan terjalin hubungan yang
baik dengan Raja Fatabar Achmad Uswanus dan Ibrahim Bauw Raja Rumbati di Kokas, sehingga
banyak manfaat yang di lakukan dengan warga di sana untuk pembebasan Irian
Barat.
Selain itu
sehubungan dengan undangan dari penyelenggara Kongres Muslimin Indonesia
(KMI) yang pertama berlangsung di Yogyakarta, dimana organisasi Islam seluruh
Indonesia diikut sertakan termasuk PIU dan PIYS dari Kei Maluku Tenggara. PIU diwakili oleh enam orang
masing-masing: Hasyim Rentua, M.K. Renwarin,
Sam Hanubun, Patu Dipur, dan dua orang lain lagi. Sedangkan dari PIYS
hanya diwakili oleh KH. Jafar Awad Alkatiri
awal Desember 1949 ke Yogyakarta malalui Ambon. Kemudian diminta untuk
mengirimkan telegram agar PlYS dilebur atau fusi kedalam Masyumi.
Usul tersebut dapat
diterima oleh Kongres, sehingga mengirim dua telegram ucapan selamat dari Raja
Fatagar dan Raja Rumbati kepada Kongres tersebut, yang isinya berupa harapan,
agar nasib Umat Islam di Irian Barat mendapat perhatian Kongres. Ketika
telegram itu dibaca, ternyata mendapat tanggapan positif dari Kongres, bahkan
dalam pidato pembukaan, hal itu disinggung oleh Bung Karno, dengan mengatakan
babwa Belanda seharusnya buka mata, Sidang Kongres Muslimin Indonesia ini dihadiri juga
oleh utusan dari Irian Barat, suatu bukti babwa rakyat Irian Barat
adalah juga rakyat Indonesia yang tak bisa dipisahkan.dengan sesamanya.
[i][i]*)
Doktor Candd. Tenaga Edukatif PMIPA FKIP Upatti-Ambon, (Sebagai bahan diskusi
pada Seminar Sejarah Islam di Kepulauan Kei-Maluku Tenggara, yang
diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Darurrahman kerjasama dengan Panitia
Pelaksana Tablig Akbar Kota Tual, Pondok Pesantren An-Nur Hafiz Qur’an, pada
tanggal 29 April—1 Mei 2012, di Kampus STIA Darurrahman Tual).
DAFTAR PUSTAKA
Alwi,
Des.2005. Sejarah Maluku, Banda Naira,
Ternate, Tidore dan Ambon. Penerbit Dian Rakyat.Cet.I. Jakarta.
Al-Mubarakfury.
S.S., 2008. Sirah Nabawiyah. Pustaka
Al Kautsar.Cet.26. Jakarta.
Baharuddin.
M., 1775. Bahasan Ma’rifat.
(Manuskrip Tulisan Tangan Arab Melayu). Tual.
Bungin.
B., 2010. Penelitian Kualitatif.
Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Prenada
Media Group. Cet. Ke-4. Jakarta.
Iskandar,
2009. Metodologi Penelitian Pendidikan
dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif). Gaung Persada Press (GP Press).
Cet. II. Jakarta.
Matdoan,
M.N.,2003. Proyek Pembinaan dan
Pengembangan Qurra walhuffaz Al-Qur’anul Karim di Kepulauan Kei Maluku Tenggara.
(Naskah Proposal). Jakarta.
Mahmud,
M. 2001. Sejarah Maluku Tenggara,
(Naskah belum diterbitkan). Tual.
Sugiyono.
2011. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. Cet.11. Bandung.
Zawawi,
R. 1988. Kisah Perjuangan Kemerdekaan
Republik Indonesia di Maluku Tenggara. (Naskah belum diterbitkan). Tual.
------------
Republika. 2003. Hal.
Lampiran: 1. Tabel Para Pensyiar Langgiar Fer Kepuluan
Kei Maluku Tenggara
No.
|
Nama Pensyiar
|
Tahun
|
Tempat Asal
|
Peran
|
1
|
Datuk Adullah
|
1511
|
Hadramut
|
Pensyiar Islam pertama di Kei
|
2
|
Abdurrahman Bilawa
|
1802
|
Bone
|
Pensyiar. Leluhur
masyarakat Langgiar
|
3
|
Sayid Ahmad bin Muhammad Al Idrus
|
1809
|
Timteng
|
Pensyiar, guru tasauf,
wafat,makam di Ngafan
|
4
|
Datuk Abdurrabbi
|
1611
|
Johor,
Minang
|
Pensiyar, Leluhur masyarakat
Langgiar
|
6
|
Sayid Abdurrahman Assyatri
|
1813
|
Timteng
|
Pensyiar. leluhur
masyarakat Langgiar
|
7
|
H. Sirajuddin (Karaeng
Magangka)
|
Abad
18
|
Makassar
|
Pensyiar. Leluhur
masyarakat Langgiar
|
8
|
H Muh Arif Fakaubun
|
1816
|
Langgiar
|
Langgiar Perintis jalan ke Mekkah
|
9
|
H. Badaruddin Fakaubun
|
Langgiar
|
||
10.
|
H. Sahabuddin Rahannyaan
|
1825
|
Ngafan
|
Langgiar,
Hafiz, Mukim di Mekkah
|
11
|
H. Abdul Karim Rahannyaan
|
1830
|
Ngafan
|
Ngafan,
Hafiz, Leb Lor
|
12
|
H. Baharuddin Matdoan
|
1775
|
Langgiar
|
Pakar
Tasauf, mukim di Mekkah 16 Tahun
|
13
|
H. M. Yahya Fakaubun
|
1901
|
Langgiar
|
Ketua
Rombongan ke Mekkah
|
14.
|
H. Amir Rahannyamtel
|
Larat
|
Pendamping
rombongan ke Mekkah
|
|
15
|
H. Abd. Wahid Matdoan
|
Ngafan
|
||
16
|
KH. Muh. Said Rahannyamtel
|
Larat
|
Mukim
Mekkah, Hafiz
|
|
17
|
KH. Abbas Rahannyaan
|
Ngafan
|
Hafiz,
Mukim Mekkah
|
|
18.
|
Al-H. Muh. Syech Fakaubun
|
Langgiar
|
Pakar
ilmu Figih
|
|
19
|
Al-H. Muh. Zein Matdoan
|
Nagafan
|
Pakar
Tasauf
|
|
20
|
H. Muh. Seknun
Fer
|
Fer
|
||
21
|
. H. Muh. Saad Reliubun
Mastur
|
Mastur
|
Mukim
di Mekkah
|
|
22
|
H. Muh Tamher
|
Tual
|
||
23
|
H. Abdul Karim
|
1902
|
Ngafan
|
Mukim
di Mekkah
|
24
|
Hj. Mursal
|
Ngafan
|
Mukim
Mekkah
|
|
25.
|
H Muh. Yahya Matdoan
|
Ngafan
|
Mukim
di Mekkah, Hafiz, Imam Ngafan
|
|
26.
|
H. Abubakar Fakaubun
|
Langgiar
|
||
27
|
H. Amir Rahannyamte!
|
1907
|
Larat
|
Ketua Rombongan
Huffaz.
|
27
|
H. Rugaya Rahannyamtel
Larat
|
|||
28
|
Hj. Atikah Rahannyamtel
|
Larat
|
||
29
|
H. Badaruddin
|
Ngafan
|
||
30
|
H. Sayid Abubakar Alidrus
|
1944
|
Ambon
|
Ahli bahasa Arab,
nahu
syaraf. dan
tasauf
terakhir sebagai Kepala Ktr
Departernen Agarna Propinsi
Maluku di Ambon)
|
31
|
K.H. Djafar Awad Alkatiri
|
1944
|
Ambon
|
Terakhir sebagai Penasehat
NU DPW Maluku dan DPP NU
anggota DPRD I Maluku
|
32
|
H. Muhammad Muzni Matdoan
|
1950
|
Beliau imam masjid Kiom
Tual, guru ngaji
.
sampai akhir hayat
sebagai penasehat senior
DPC PPP Maluku Tenggara
|
|
33
|
H. Usman Rahannyaan
|
Guru ngaji, imam
dan guru madrasah
|
||
34
|
H. Muhammad Asnawi
|
Fer
|
-Guru ngaji, imam
|
|
35
|
H. Munawir Matdoan,
|
Ngafan
|
-Guru tasauf, guru ngaji
|
|
36
|
H. Abdul Wahid Rahawarin, S.H.
.
|
Elralang
|
Guru tasauf, pensiunan
pegawai Kejakasaan
Tinggi Maluku, terakhir
sebagai Ketua DPRD Promal
|
|
37
|
Ahmad Difinubun
|
Hoat
|
Guru tasauf, Kepala Desa
|
|
38
|
H. Abubakar Matdoan
|
Ngafan
|
Guru
ngaji, guru tasauf
|
|
39
|
Abidin Difinubun
|
Ngafan
|
-Guru ngaji,
|
|
40
|
Al-Ust Abubakar Bugis
|
Ngafan
|
Guru ngaji
|
|
41
|
H. Sayid Ramli Zawawi
|
Sungai/ngafan
|
Pensiunan Pegawai
Departemen Penerangan RL
Tokoh Masyurni tahun
1950an, terakhir anggota
DPRD I Maluku dari fraksi
PPP
|
|
42
|
H. Abdul Mu'thi Fakaubun
|
Ngafan
|
Pernah sebagai
anggota
Dewan Perwakilan Daerah
Maluku Tenggara-
|
|
43
|
H. Ahmad Fakaubun
|
Nagafan
|
Pensiunan pegawai
Departeman Agama Propinsi
Maluku, pernah sebagai
anggota Dewan
Perwakilan Daerah
|
|
44
|
Usman Matdoan
|
Ngafan
|
Pensiunan pegawai
Departernen Penerangan
Propinsi Maluku, pernah
sebagai anggota Dewan
Perwakilan Daerah
Maluku
Tenggara
|
|
45
|
Abdullah Rannyamtel
|
Langgiar
|
Hafiz
|
|
46
|
Salamat Rahannyamtel
|
Ngafan
|
Hafiz
|
|
47
|
H. Ahmad Asyathri
|
Langgiar
|
Hafiz
|
|
48
|
H. Abd. Karim Rahannyaan
|
Ngafan
|
Hafiz
|
|
49
|
Muhammad Refra
|
Larat
|
Hafiz
|
|
50
|
Ahmad Rahannyamtel
|
Larat
|
Hafiz
|
|
51
|
Ahmad Anang Seknun
|
Fer
|
Guru
ngaji
|
|
52
|
H. Abdul Aziz R. Yamtel
|
Nagafan
|
Hafiz,
Imam, guru ngaji
|