Menurut model ledakan dahsyat, alam semesta mengembang dari keadaan awal yang
sangat padat dan panas dan terus mengembang sampai sekarang. Secara umum,
pengembangan ruang semesta yang mengandung galaksi-galaksi dianalogikan seperti roti kismis
yang mengembang. Gambar di atas merupakan gambaran konsep artis yang
mengilustrasikan pengembangan salah satu bagian dari alam semesta rata.
Ledakan Dahsyat atau Dentuman
Besar (bahasa Inggris: Big Bang) merupakan
sebuah peristiwa
yang menyebabkan pembentukan alam semesta
berdasarkan kajian kosmologi mengenai bentuk
awal dan perkembangan alam semesta (dikenal juga dengan Teori Ledakan
Dahsyat atau Model Ledakan Dahysat).
Berdasarkan pemodelan ledakan
ini, alam semesta, awalnya dalam keadaan sangat panas dan padat, mengembang
secara terus menerus hingga hari ini. Berdasarkan pengukuran terbaik tahun
2009, keadaan awal alam semesta bermula sekitar 13,7 miliar tahun lalu, yang
kemudian selalu menjadi rujukan sebagai waktu terjadinya Big Bang
tersebut. Teori ini telah memberikan penjelasan paling komprehensif dan akurat
yang didukung oleh metode ilmiah beserta
pengamatan.
Adalah Georges Lemaître,
seorang biarawan Katolik Roma Belgia, yang mengajukan teori ledakan dahsyat
mengenai asal usul alam semesta, walaupun ia menyebutnya sebagai "hipotesis atom
purba". Kerangka model teori ini bergantung pada relativitas umum Albert Einstein dan beberapa asumsi-asumsi
sederhana, seperti homogenitas
dan isotropi
ruang. Persamaan yang mendeksripsikan teori ledakan dahsyat dirumuskan oleh Alexander Friedmann.
Setelah Edwin Hubble
pada tahun 1929 menemukan bahwa jarak bumi dengan galaksi yang sangat jauh umumnya berbanding lurus
dengan geseran merahnya,
sebagaimana yang disugesti oleh Lemaître pada tahun 1927, pengamatan ini
dianggap mengindikasikan bahwa semua galaksi dan gugus bintang yang sangat jauh
memiliki kecepatan tampak yang secara langsung menjauhi titik pandang kita:
semakin jauh, semakin cepat kecepatan tampaknya.
Jika jarak
antar gugus-gugus galaksi terus meningkat seperti yang terpantau sekarang,
semuanya haruslah pernah berdekatan pada masa lalu. Gagasan ini secara rinci
mengarahkan pada suatu keadaan massa jenis dan suhu
yang sebelumnya sangat ekstrem. Berbagai pemercepat partikel
raksasa telah dibangun untuk mencoba dan menguji kondisi tersebut, yang
menjadikan teori
tersebut dapat konfirmasi dengan signifikan, walaupun pemercepat-pemercepat ini
memiliki kemampuan yang terbatas untuk menyelidiki fisika partikel. Tanpa adanya bukti apapun yang
berhubungan dengan pengembangan awal yang cepat, teori ledakan dahsyat tidak
dan tidak dapat memberikan beberapa penjelasan mengenai kondisi awal
alam semesta, melainkan mendeskripsikan dan menjelaskan perubahan
umum alam semesta sejak pengembangan awal tersebut. Kelimpahan unsur-unsur
ringan yang terpantau di seluruh kosmos sesuai dengan prediksi kalkulasi
pembentukan unsur-unsur ringan melalui proses nuklir di dalam kondisi alam
semesta yang mengembang dan mendingin pada awal beberapa menit kemunculan alam
semesta sebagaimana yang diuraikan secara terperinci dan logis oleh nukleosintesis ledakan
dahsyat.
Fred Hoyle mencetuskan istilah Big Bang
pada sebuah siaran radio tahun 1949. Dilaporkan secara luas bahwa, Hoyle yang
mendukung model kosmologis alternatif "keadaan
tetap" bermaksud menggunakan istilah ini secara peyoratif,
namun Hoyle secara eksplisit membantah hal ini dan mengatakan bahwa istilah ini
hanyalah digunakan untuk menekankan perbedaan antara dua model kosmologis ini.
Hoyle kemudian memberikan sumbangsih yang besar dalam usaha para fisikawan
untuk memahami nukleosintesis bintang yang merupakan lintasan pembentukan
unsur-unsur berat dari unsur-unsur ringan secara reaksi nuklir. Setelah
penemuan radiasi latar mikrogelombang kosmis pada tahun
1964, kebanyakan ilmuwan mulai menerima bahwa beberapa skenario teori ledakan
dahsyat haruslah pernah terjadi.
Sejarah dan perkembangan teori
Teori ledakan
dahsyat dikembangkan berdasarkan pengamatan pada stuktur alam semesta beserta
pertimbangan teoritisnya. Pada tahun 1912, Vesto
Slipher adalah orang yang pertama mengukur efek Doppler pada "nebula
spiral" (nebula spiral merupakan istilah lama untuk galaksi
spiral), dan kemudian diketahui bahwa hampir semua nebula-nebula itu menjauhi bumi.
Ia tidak berpikir lebih jauh lagi mengenai implikasi fakta ini, dan sebenarnya
pada saat itu, terdapat kontroversi apakah nebula-nebula ini adalah "pulau
semesta" yang berada di luar galaksi Bima Sakti.[14][15] Sepuluh tahun kemudian, Alexander Friedmann, seorang kosmologis dan
matematikawan Rusia, menurunkan persamaan
Friedmann dari persamaan relativitas umum Albert Einstein. Persamaan ini menunjukkan bahwa
alam semesta mungkin mengembang dan berlawanan dengan model alam semesta yang
statis seperti yang diadvokasikan oleh Einstein pada saat itu.[ Pada tahun 1924, pengukuran Edwin Hubble
akan jarak nebula spiral terdekat menunjukkan bahwa ia sebenarnya merupakan galaksi lain. Georges Lemaître
kemudian secara independen menurunkan persamaan Friedmann pada tahun 1927 dan
mengajukan bahwa resesi nebula yang disiratkan oleh persamaan tersebut
diakibatkan oleh alam semesta yang mengembang.
Pada tahun 1931
Lemaître lebih
jauh lagi mengajukan bahwa pengembangan alam semesta seiring dengan berjalannya
waktu memerlukan syarat bahwa alam semesta mengerut seiring berbaliknya waktu
sampai pada suatu titik di mana seluruh massa alam semesta berpusat pada satu
titik, yaitu "atom purba" di mana waktu dan ruang bermula.
Mulai dari
tahun 1924, Hubble mengembangkan sederet indikator jarak yang merupakan cikal
bakal tangga
jarak kosmis menggunakan teleskop Hooker 100-inci (2,500 mm) di
Observatorium Mount Wilson. Hal ini
memungkinkannya memperkirakan jarak antara galaksi-galaksi yang pergeseran merahnya telah diukur, kebanyakan oleh
Slipher. Pada tahun 1929, Hubble menemukan korealsi antara jarak dan kecepatan
resesi, yang sekarang dikenal sebagai hukum Hubble. Lemaître telah
menunjukan bahwa ini yang diharapkan, mengingat prinsip kosmologi.
Gambaran artis
mengenai satelit WMAP
yang mengumpulkan berbagai data untuk membantu para ilmuwan memahami ledakan
dahsyat
Semasa tahun
1930-an, gagasan-gagasan lain diajukan sebagai kosmologi non-standar untuk
menjelaskan pengamatan Hubble, termasuk pula model
Milne,[21] alam
semesta berayun (awalnya diajukan oleh Friedmann, namun
diadvokasikan oleh Albert Einstein dan
Richard
Tolman)[22] dan hipotesis cahaya
lelah (tired light) Fritz Zwicky.[23]
Setelah Perang Dunia II, terdapat dua model kosmologis
yang memungkinkan. Satunya adalah model
keadaan tetap Fred Hoyle, yang
mengajukan bahwa materi-materi baru tercipta ketika alam semesta tampak
mengembang. Dalam model ini, alam semesta hampirlah sama di titik waktu
manapun.[24] Model lainnya adalah teori ledakan
dahsyat Lemaître, yang
diadvokasikan dan dikembangkan oleh George Gamow, yang kemudian memperkenalkan nukleosintesis ledakan
dahsyat (Big Bang Nucleosynthesis, BBN)[25] dan yang kaitkan oleh, Ralph
Alpher dan Robert
Herman, sebagai radiasi latar panjang gelombang kosmis (cosmic
microwave background radiation, CMB).[26] Ironisnya, justru adalah Hoyle yang
mencetuskan istilah big bang untuk merujuk pada teori Lemaître dalam
suatu siaran radio BBC pada bulan Maret 1949.[27][cat 1] Untuk sementara, dukungan para
ilmuwan terbagi kepada dua teori ini. Pada akhirnya, bukti-bukti pengamatan
memfavoritkan teori ledakan dahsyat. Penemuan dan konfirmasi radiasi latar
belakang mikrogelombang kosmis pada tahun 1964[28] mengukuhkan ledakan dahsyat sebagai
teori yang terbaik dalam menjelaskan asal usul dan evolusi kosmos. Kebanyakan
karya kosmologi zaman sekarang berkutat pada pemahaman bagaimana galaksi
terbentuk dalam konteks ledakan dahsyat, pemahaman mengenai keadaan alam
semesta pada waktu-waktu terawalnya, dan merekonsiliasi pengamatan kosmis
dengan teori dasar.
Berbagai
kemajuan besar dalam kosmologi ledakan dahsyat telah dibuat sejak akhir tahun
1990-an, utamanya disebabkan oleh kemajuan besar dalam teknologi teleskop dan analisis data yang berasal dari
satelit-satelit seperti COBE,[29] Teleskop luar
angkasa Hubble dan WMAP.[30]
Tinjauan
Garis waktu ledakan dahsyat
Ekstrapolasi
pengembangan alam semesta seiring mundurnya waktu menggunakan relativitas umum menghasilkan kondisi masa jenis dan suhu
alam semesta yang tak terhingga pada suatu waktu pada masa lalu.Singularitas
ini mensinyalkan runtuhnya keberlakuan relativitas umum pada kondisi tersebut.
Sedekat mana kita dapat berekstrapolasi menuju singularitas diperdebatkan,
namun tidaklah lebih awal daripada masa
Planck. Fase awal yang panas dan padat itu sendiri dirujuk sebagai "the
Big Bang",dan dianggap sebagai
"kelahiran" alam semesta kita. Didasarkan pada pengukuran
pengembangan menggunakan Supernova
Tipe Ia, pengukuran fluktuasi temperatur pada latar gelombang mikro kosmis, dan pengukuran fungsi
korelasi galaksi, alam semesta memiliki usia 13,73 ±
0.12 miliar tahun.Kecocokan hasil ketiga pengukuran
independen ini dengan kuat mendukung model ΛCDM
yang mendeskripsikan secara mendetail kandungan alam semesta.
Fase terawal
ledakan dahsyat penuh dengan spekulasi. Model yang paling umumnya digunakan
mengatakan bahwa alam semesta terisi secara homogen dan isotropis dengan rapatan
energi yang sangat tinggi, tekanan dan temperatur yang sangat besar, dan dengan cepat
mengembang dan mendingin. Kira-kira 10−37 detik setelah
pengembangan, transisi
fase menyebabkan inflasi
kosmis, yang sewaktu itu alam semesta mengembang secara
eksponensial. Setelah inflasi berhenti, alam semesta
terdiri dari plasma
kuark-gluon beserta partikel-partikel elementer
lainnya. Temperatur pada saat itu sangat tinggi
sehingganya kecepatan gerak partikel mencapai kecepatan relativitas, dan
produksi pasangan
segala jenis partikel terus menerus diciptakan dan dihancurkan. Sampai dengan
suatu waktu, reaksi yang tak diketahui yang disebut bariogenesis melanggar kekekalan jumlah barion
dan menyebabkan jumlah kuark dan lepton lebih banyak daripada antikuark dan antilepton sebesar
satu per 30 juta. Ini menyebabkan dominasi materi melebihi antimateri pada alam semesta.
Ukuran alam
semesta terus membesar dan temperatur alam semesta terus menurun, sehingga
energi tiap-tiap partikel terus menurun. Transisi fase perusakan simetri membuat gaya-gaya
dasar fisika dan parameter-parameter partikel elementer
berada dalam kondisi yang sama seperti sekarang. Setelah kira-kira 10−11
detik, gambaran ledakan dahsyat menjadi lebih jelas oleh karena energi partikel
telah menurun mencapai energi yang bisa dicapai oleh eksperimen fisika partikel. Pada sekitar 10−6
detik, kuark dan gluon bergabung membentuk barion
seperti proton dan neutron. Kuark yang sedikit lebih banyak daripada antikuark
membuat barion sedikit lebih banyak daripada antibarion. Temperatur pada saat
ini tidak lagi cukup tinggi untuk menghasilkan pasangan proton-antiproton,
sehingga yang selanjutnya terjadi adalah pemusnahan massal, menyisakan hanya
satu dari 1010 proton dan neutron terdahulu. Setelah pemusnahan ini,
proton, neutron, dan elektron yang tersisa tidak lagi bergerak secara relativistik
dan rapatan energi alam semesta didominasi oleh foton
(dengan sebagian kecil berasal dari neutrino).
Beberapa menit semasa pengembangan, ketika
temperatur sekitar satu miliar kelvin dan rapatan alam
semesta sama dengan rapatan udara, neutron bergabung dengan proton dan
membentuk inti atom deuterium dan helium dalam suatu proses yang dikenal sebagai nukleosintesis ledakan
dahsyat. Kebanyakan proton masih tidak terikat
sebagai inti hidrogen. Seiring dengan mendinginnya alam
semesta, rapatan energi massa
rihat materi secara gravitasional mendominasi. Setelah 379.000
tahun, elektron dan inti atom bergabung menjadi atom (kebanyakan berupa hidrogen) dan radiasi materi mulai berhenti.
Sisa-sisa radiasi ini yang terus bergerak melewati ruang semesta dikenal
sebagai radiasi latar gelombang mikro kosmis.
Medan Ultra Dalam Hubble memperlihatkan
galaksi-galaksi dari zaman dahulu ketika alam semesta masih muda, lebih padat,
dan lebih hangat menurut teori ledakan dahsyat.
Selama periode
yang sangat panjang, daerah-daerah alam semesta yang sedikit lebih rapat mulai
menarik materi-materi sekitarnya secara gravitasional, membentuk awan gas, bintang, galaksi, dan objek-objek astronomi
lainnya yang terpantau sekarang. Detail proses ini bergantung pada banyaknya
dan jenis materi alam semesta. Terdapat tiga jenis materi yang memungkinkan,
yakni materi
gelap dingin, materi
gelap panas, dan materi
barionik. Pengukuran terbaik yang didapatkan dari WMAP
menunjukkan bahwa bentuk materi yang dominan dalam alam semesta ini adalah
materi gelap dingin. Dua jenis materi lainnya hanya menduduki kurang dari 18%
materi alam semesta.[32]
Bukti-bukti
independen yang berasal dari supernova
tipe Ia dan radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis
menyiratkan bahwa alam semesta sekarang didominasi oleh sejenis bentuk energi
misterius yang disebut sebagai energi gelap, yang tampaknya menembus semua
ruang. Pengamatan ini mensugestikan bahwa 72% total rapatan energi alam semesta
sekarang berbentuk energi gelap. Ketika alam semesta masih sangat muda,
kemungkinan besar ia telah disusupi oleh energi gelap, namun dalam ruang yang
sempit dan saling berdekatan. Pada saat itu, gravitasi mendominasi dan secara
perlahan memperlambat pengembangan alam semesta. Namun, pada akhirnya, setelah
beberapa miliar tahun pengembangan, energi gelap yang semakin berlimpah
menyebabkan pengembangan alam semesta mulai secara perlahan semakin cepat.
Segala evolusi
kosmis yang terjadi setelah periode inflasioner ini dapat secara ketat
dideskripsikan dan dimodelkan oleh model ΛCDM,
yang menggunakan kerangka mekanika kuantum dan relativitas umum Einstein yang
independen. Sebagaimana yang telah disebutkan, tiada model yang dapat
menjelaskan kejadian sebelum 10−15 detik setelah kejadian ledakan
dahsyat. Teori kuantum
gravitasi diperlukan
untuk mengatasi batasan ini.
Asumsi-asumsi dasar
Teori ledakan
dahsyat bergantung kepada dua asumsi utama: universalitas hukum fisika dan prinsip kosmologi. Prinsip kosmologi menyatakan
bahwa dalam skala yang besar alam semesta bersifat homogen
dan isotropis.
Kedua asumsi
dasar ini awalnya dianggap sebagai postulat, namun beberapa usaha telah
dilakukan untuk menguji keduanya. Sebagai contohnya, asumsi bahwa hukum fisika
berlaku secara universal diuji melalui pengamatan ilmiah yang menunjukkan bahwa
penyimpangan terbesar yang mungkin terjadi pada tetapan struktur halus sepanjang usia
alam semesta berada dalam batasan 10−5.[39]
Apabila alam
semesta tampak isotropis sebagaimana yang terpantau dari bumi, prinsip
komologis dapat diturunkan dari prinsip
Kopernikus yang lebih sederhana. Prinsip ini menyatakan bahwa bumi,
maupun titik pengamatan manapun, bukanlah posisi pusat yang khusus ataupun
penting. Sampai dengan sekarang, prinsip kosmologis telah berhasil
dikonfirmasikan melalui pengamatan pada radiasi latar mikrogelombang kosmis.
Metrik FLRW
Relativitas
umum mendeskripsikan ruang-waktu menggunakan metrik
yang menjelaskan jarak kedua titik yang terpisah satu sama lainnya. Titik ini,
yang dapat berupa galaksi, bintang, ataupun objek lainnya, ditunjukkan
menggunakan peta
koordinat yang berada di keseluruhan ruang
waktu. Prinsip kosmologis menyiratkan bahwa metrik ini haruslah homogen
dan isotropis
dalam skala yang besar. Satu-satunya metrik yang memenuhi persyaratan ini
adalah metrik Riedmann–Lemaître–Robertson–Walker (metrik
FLRW). Metrik ini mengandung faktor
skala yang menentukan seberapa besar alam semesta berubah seiring
dengan berjalannya waktu. Hal ini memungkinkan kita untuk membuat sistem
koordinat yang dapat dipilih dengan praktis, yaitu koordinat
segerak (comoving coordinate). Dalam sistem koordinat ini,
kisi koordinat berekspansi bersamaan dengan alam semesta yang mengembang,
sehingga objek yang bergerak karena pengembangan alam semesta akan berada pada
titik yang sama dalam sistem koordinat ini. Walaupun jarak koordinat (jarak
segerak) kedua titik tetap konstan, jarak fisik antara dua titik akan meningkat
sesuai dengan faktor
skala alam semesta.[40]
Ledakan Dahsyat
bukanlah kejadian penghamburan materi ke seluruh ruang semesta yang kosong.
Melainkan ruang tersebut berekspansi seiring dengan waktu dan meningkatkan
jarak fisik antara dua titik yang bersegerak. Karena metrik FLRW mengasumsikan
distribusi massa dan energi yang merata, metrik ini hanya berlaku pada skala
yang besar.
Horizon
Salah satu ciri
penting pada ruang waktu Ledakan Dahsyat adalah keberadaan horizon. Oleh karena alam semesta memiliki usia
yang terbatas, dan cahaya bergerak dengan kecepatan yang terbatas pula, maka
akan terdapat berbagai kejadian pada masa lalu yang cahayanya belum mencapai
kita. Hal ini akan membatasi kita dalam mengamati objek terjauh alam semesta (horizon
masa lalu). Sebaliknya, karena ruang itu sendiri berekspansi dan objek yang
semakin jauh akan menjauh semakin cepat, cahaya yang dipancarkan oleh kita
tidak akan pernah mencapai objek jauh tersebut. Batasan ini disebut sebagai horizon
masa depan, yang membatasi kejadian-kejadian pada masa depan yang kita
dapat pengaruhi. Keberadaan dua horizon ini bergantung pada penjelasan detail
model FLRW mengenai alam semesta kita. Pemahaman kita mengenai alam semesta
pada waktu-waktu terawalnya menyiratkan terdapatnya horizon masa lalu, walaupun
pandangan kita juga akan dibatasi oleh buramnya alam semesta pada waktu-waktu
terawalnya. Oleh karena itu, kita tidak dapat memandang masa lalu lebih jauh
daripada yang kita dapat pandang sekarang, walaupun horizon masa lalu akan
menyusut dalam ruang. Jika pengembangan akan semesta terus berakselerasi, maka
akan terdapat pula horizon masa depan..[41]
Bukti pengamatan
Terdapat
beberapa bukti pengamatan langsung yang mendukung model Ledakan Dahsyat, yaitu pengembangan Hubble terpantau pada geseran
merah galaksi, pengukuran mendetail pada latar belakang mikrogelombang kosmis, kelimpahan
unsur-unsur ringan, dan distribusi skala besar beserta evolusi galaksi yang diprediksikan terjadi karena
pertumbuhan gravitasional struktur dalam teori standar. Keempat bukti ini
kadang-kadang disebut "empat pilar teori Ledakan Dahsyat".
Hukum Hubble dan pengembangan ruang
Pengamatan pada
galaksi dan kuasar yang jauh menunjukkan bahwa objek-objek
ini mengalami pergeseran
merah, yakni bahwa pancaran cahaya objek ini telah bergeser menuju panjang gelombang yang
lebih panjang. Pergeseran ini dapat dilihat dengan mengambil spektrum
frekuensi suatu objek dan mencocokkannya dengan pola spektroskopi garis
emisi ataupun garis
absorpsi atom suatu unsur kimia yang berinteraksi dengan cahaya.
Pergeseran ini secara merata isotropis, dan terdistribusikan merata di
kesemuaan objek terpantau di seluruh arah pantauan. Jika geseran
merah ini diinterpretasikan sebagai geseran
Doppler, kecepatan mundur suatu
objek dapat dikalkulasi. Untuk beberapa galaksi, dimungkinkan pula perkiraan
jarak menggunakan tangga
jarak kosmis. Ketika kecepatan mundur dipetakan terhadap jaraknya,
hubungan linear yang dikenal sebagai hukum Hubble akan terpantau:[7]
v = H0D,
dengan
- v adalah kecepatan mundur suatu galaksi ataupun objek lainnya,
- D adalah jarak segerak terhadap objek tersebut, dan
- H0 adalah konstanta Hubble, yang nilai pengukurannya adalah 70,4 +1,3−1,4 km/s/Mpc.[32]
Hukum Hubble memiliki dua penjelasan, yaitu kita
berada pada pusat pengembangan galaksi (yang tidak mungkin sesuai dengan prinsip
Kopernikus), atapun alam semesta mengembang secara merata ke
mana-mana. Pengembangan alam semesta ini diprediksikan dari relativitas umum oleh Alexander Friedmann
pada tahun 1922[16] dan Georges Lemaître
pada tahun 1927, sebelum Hubble melakukan analisi
beserta pengamatannya pada tahun 1929.
Teori ini
mempersyaratkan bahwa hubungan v = HD berlaku sepanjang masa,
dengan D adalah jarak
segerak, v adalah kecepatan
mundur, dan v, H, D bervariasi seiring dengan
mengembangnya alam semesta (oleh karenanya kita menulis H0
untuk menandakannya sebagai "konstanta" Hubble sekarang). Untuk jarak
yang lebih kecil daripada alam semesta terpantau, geseran merah Hubble dapat dianggap
sebagai geseran Doppler yang sesuai dengan kecepatan mundur v. Namun,
geseran merah ini bukan geseran Doppler sejatinya, namun merupakan akibat dari
pengembangan alam semesta antara waktu cahaya tersebut dipancarkan dengan waktu
cahaya tersebut dideteksi.
Bahwa alam
semesta mengalami pengembangan metrik ditunjukkan oleh bukti pengamatan
langsung prisip
kosmologis dan prinsip Kopernikus. Pergeseran merah yang terpantau pada objek-objek
yang jauh sangat isotropis
dan homogen. Hal ini mendukung prinsip kosmologis
bahwa alam semesta tampaklah sama di keseluruhan arah pantauan. Apabila
pergeseran merah yang terpantau merupakan akibat dari suatu ledakan di titik
pusat yang jauh dari kita, maka pergeseran merahnya tidak akan sama di setiap
arah pantauan.
Pengukuran pada
efek-efek radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis
terhadap dinamika sistem astrofisika yang jauh pada tahun 2000 membuktikan
kebenaran prinsip
Kopernikus, yakni bahwa Bumi bukanlah posisi pusat alam semesta.Radiasi yang berasal dari Ledakan
Dahsyat ditunjukkan cukup hangat pada masa-masa awalnya di seluruh alam
semesta. Pendinginan yang merata pada latar belakang mikrogelombang kosmis
selama milyaran tahun hanya dapat dijelaskan apabila alam semesta mengalami
pengembangan metrik dan kita tidak berada dekat dengan pusat suatu ledakan.
Radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis
Citra WMAP
yang menunjukkan radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis
Semasa beberapa
hari pertama alam semesta, alam semesta berada dalam keadaan kesetimbangan
termal, dengan foton secara berkesinambungan dipancarkan dan
kemudian diserap. Hal ini kemudian menghasilkan radiasi spektrum benda hitam. Seiring dengan mengembangnya alam
semesta, temperatur alam semesta menurun sehingganya foton tidak lagi dapat
diciptakan maupun dihancurkan. Temperatur ini masih cukup tinggi bagi elektron
dan inti untuk terus berpisah tanpa terikat satu sama lainnya. Walau demikian,
foton terus "dipantulkan" dari elektron-elektron bebas ini melalui
suatu proses yang disebut hamburan
Thompson. Oleh karena hamburan yang terjadi berulang-ulang, alam
semesta pada masa-masa awalnya akan tampak buram oleh cahaya.
Ketika
temperatur jatuh mencapai beberapa ribu Kelvin, elektron dan inti atom mulai bergabung membentuk atom.
Proses ini disebut sebagai rekombinasi. Karena foton jarang dihamburkan dari
atom netral, radiasi akan berhenti dipancarkan dari materi ketika hampir semua
elektron telah berekombinasi. Proses ini terjadi 379.000 tahun setelah Ledakan
Dahysat, dikenal sebagai zaman penghamburan terakhir. Foton-foton
terakhir inilah yang kita pantau pada radiasi latar belakang mikrogelombang
kosmis pada masa sekarang. Pola-pola fluktuasi radiasi latar ini merupakan
gambaran langsung alam semesta pada masa-masa awalnya. Energi foton yang
berasal pada zaman penghamburan terakhir akan mengalami pergeseran merah
seiring dengan mengembangnya alam semesta. Spektrum yang dipancarkan oleh foton
ini akan sama dengan spektrum radiasi benda hitam, namun dengan temperatur yang
menurun. Hal ini mengakibatkan radiasi foton ini bergeser ke daerah mikrogelombang. Radiasi ini diperkirakan
terpantau di setiap titik pantauan di alam semesta dan datang dari semua arah
dengan intensitas radiasi yang (hampir) sama.
Pada tahun
1964, Arno Penzias dan Robert Wilson
secara tidak sengaja menemukan radiasi latar belakang kosmis ketika mereka
sedang melakukan pemantau diagnostik menggunakan penerima mikrogelombang yang dimiliki oleh Laboratorium Bell. Penemuan mereka memberikan konfirmasi
yang substansial mengenai prediksi radiasi latar bahwa radiasi ini bersifat
isotropis dan konsisten dengan spektrum benda hitam pada 3 K. Penzias dan
Wilson kemudian dianugerahi penghargaan Nobel atas penemuan mereka.
Spektrum latar
belakang mikrogelombang kosmis yang diukur oleh intrumen FIRAS pada satelit COBE
merupakan spektrum benda hitam berpresisi
paling tinggi yang pernah diukur di alam.[46] Titik-titik data beserta ambang batas
kesalahan pengukuran pada grafik di atas tertutup oleh kurva teoritis,
menunjukkan kepresisian pengukuran yang sangat tinggi.
Pada tahun
1989, NASA meluncurkan satelit COBE
(Cosmic Background Explorer - Penjelajah latar belakang kosmis). Hasil
penemuan awal satelit ini yang dirilis pada tahun 1990 konsisten dengan
prediksi Ledakan Dahsyat. COBE menemukan pula temperatur sisa alam semesta
sebesar 2,726 K dan pada tahun 1992 untuk pertama kalinya mendeteksi fluktuasi
(anisotropi) pada radiasi latar belakang mikrogelombang dengan tingkatan
sebesar satu per 105.[29] John C. Mather dan George Smoot dianugerahi Nobel atas kepemimpinan
mereka dalam proyek ini. Anisotropi latar belakang mikrogelombang kosmis
diinvestigasi lebih lanjut oleh sejumlah besar eksperimen yang dilakukan di
darat maupun menggunakan balon. Pada tahun 2000-2001, beberapa eksperimen,
utamanya BOOMERanG,
menemukan bahwa alam semesta hampir secara spasial rata dengan mengukur ukuran
sudut anisotropi. (Lihat bentuk
alam semesta.)
Pada awal tahun
2003, hasil penemuan pertama WMAP
(Wilkinson Microwave Anisotropy Probe) dirilis, menghasilkan nilai
terakurat beberapa parameter-parameter kosmologis. Wahana antariksa ini juga
membantah beberapa model inflasi
kosmis, namun masih konsisten dengan teori inflasi secara umumnya.
WMAP juga mengonfirmasi bahwa selautan neutrino kosmis merembes di keseluruhan alam
semesta. Ini merupakan bukti yang jelas bahwa bintang-bintang pertama
memerlukan lebih dari setengah milyar tahun untuk menciptakan kabut kosmis.
Kelimpahan unsur-unsur primordial
Menggunakan
model Ledakan Dahsyat, kita dapat memperkirakan konsentrasi helium-4, helium-3,
deuterium dan litium-7
yang ada di seluruh alam semesta berbanding dengan jumlah hidrogen biasa.
Kelimpahan kesemuaan unsur ini bergantung pada satu parameter, yakni rasio foton
terhadap barion,
yang nilainya dapat dihitung secara independen dari detail struktur fluktuasi
latar belakang mikrogelombang kosmis. Rasio yang diprediksikan (rasio massa)
adalah sekitar 0,25 untuk 4He/H, sekitar 10−3 untuk 2H/H,
sekitar 10−4 untuk 3He/H dan sekitar 10−9
untuk 7Li/H.
Hasil prediksi
ini sesuai dengan hasil pengukuran, paling tidak untuk kelimpahan yang diprediksikan
dari nilai tunggal rasio barion terhadap foton. Kesesuaian ini cukup baik untuk
deuterium, namun terdapat diskrepansi yang kecil untuk 4He dan 7Li.
Dalam kasus helium dan litium, terdapat ketidakpastian sistematis yang cukup
besar. Walau demikian, konsistensi prediksi ini secara umumnya memberikan bukti
yang kuat akan terjadinya Ledakan Dahsyat.
Evolusi dan distribusi galaksi
Panorama langit
yang menunjukkan distribusi galaksi di luar Bimasakti.
Pengamatan
mendetail terhadap morfologi dan distribusi galaksi beserta kuasar memberikan bukti yang kuat akan terjadinya Ledakan
Dahsyat. Perpaduan antara pengamatan dengan teori menunjukkan bahwa
galaksi-galaksi beserta kuasar-kuasar pertama terbentuk sekitar satu milyar
tahun setelah Ledakan Dahysyat. Sejak itu pula, berbagai struktur astronomi
lainnya yang lebih besar seperti gugusan
galaksi mulai terbentuk. Populasi bintang-bintang terus berevolusi
dan menua, sehingga galaksi jauh (yang pemantaunnya menunjukkan keadaan galaksi
tersebut pada masa awal alam semesta) tampak sangat berbeda dari galaksi dekat.
Selain itu, galaksi-galaksi yang baru saja terbentuk tampak sangat berbeda
dengan galaksi-galaksi yang terbentuk sesaat setelah Ledakan Dahsyat.
Pengamatan ini membantah model keadaan tetap. Pengamatan pada pembentukan
bintang, distribusi kuasar dan gaklasi, sesuai dengan simulasi
pembentukan alam semesta yang diakibatkan oleh Ledakan Dahysat.[48][49]
Bukti-bukti lainnya
Setelah melalui
beberapa perdebatan, umur alam semesta yang diperkirakan dari pengembangan
Hubble dan radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis telah menunjukkan
kecocokan yang sama (sedikit lebih tua) dengan usia bintang-bintang tertua alam
semesta.
Prediksi bahwa
temperatur radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis lebih tinggi pada masa
lalunya telah didukung secara eksperimental dengan mengamati garis-garis emisi
kabut gas yang sensitif terhadap temperatur pada pergeseran merah yang tinggi.
Prediksi ini juga menyiratkan bahwa amplitudo dari efek Sunyaev–Zel'dovich dalam gugusan
galaksi tidak tergantung secara langsung pada geseran merah.
Ciri, persoalan, dan masalah
Walaupun
sekarang ini teori Ledakan Dahsyat mendapatkan dukungan yang luas dari para
ilmuwan, dalam sejarahnya, berbagai persaoalan dan masalah pada teori ini
pernah memicu kontroversi ilmiah mengenai model mana yang paling baik dalam
menjelaskan pengamatan kosmologis yang ada. Banyak dari persoalan dan masalah
teori Ledakan Dahsyat telah mendapatkan solusinya, baik melalui modifikasi pada
teori itu sendiri maupun melalui pengamatan lebih lanjut yang lebih baik.
Gagasan-gagasan
inti Ledakan Dahsyat yang terdiri dari pengembangan alam semesta, keadaan awal
alam semesta yang panas, pembentukan helium, dan pembentukan galaksi,
diturunkan dari banyak pengamatan yang tak tergantung pada model kosmologis
mana pun. Walau bagaimanapun, model cermat Ledakan Dahsyat memprediksikan
berbagai feomena fisika yang tak pernah terpantau di Bumi maupun terdapat pada Model Standar fisika partikel. Utamanya, materi gelap merupakan topik investigasi ilmiah
yang mendapatkan perhatian yang luas.[50] Persoalan lainnya seperti masalah
halo taring dan masalah
galaksi katai dari materi
gelap dingin tidak sefatal penjelasan materi gelap karena
penyelesaian atas masalah tersebut telah ada dan hanya memerlukan perbaikan
lebih lanjut pada teori Ledakan Dahsyat. Energi gelap juga merupakan topik investigasi
yang menarik perhatian ilmuwan, namun tidaklah jelas apakah pendeteksian
langsung energi gelap dimungkinkan atau tidak.[51]
Di sisi lain, inflasi
kosmos dan bariogenesis masih
sangat spekulatif. Keduanya sangat penting dalam menjelaskan keadaan awal alam
semesta, namun tidak dapat digantikan dengan penjelasan alternatif lainnya
tanpa mengubah teori Ledakan Dahsyat secara keseluruhan.[cat 3] Pencarian akan penjelasan yang
tepat atas fenomena-fenomena tersebut menjapada masalah yang belum terpecahkan
dalam fisika.
Masalah horizon
Masalah horizon
mencuat diakibatkan oleh premis bahwa informasi tidak dapat bergerak melebihi
kecepatan cahaya. Dengan usia alam semesta yang terbatas, akan terdapat horizon
partikel yang memisahkan dua daerah dalam ruang alam semesta yang
tidak memiliki hubungan kontak sebab akibat.[52] Isotropi radiasi latar yang terpantau
menimbulkan masalah, karena apabila alam semesta telah didominasi oleh radiasi
ataupun materi sepanjang waktunya di mulai dari masa penghamburan terakhir,
horizon partikel pada masa itu haruslah berkoresponden sekitar 2 derajat di
langit, dan tidak akan terdapat mekanisme apapun yang menyebabkan daerah
lainnya yang dibatasi partikel horizon untuk memiliki temperatur yang sama.
Penyelesaian
atas inkonsistensi ini dijelaskan oleh teori
inflasi, yakni medan energi skalar yang isotropis dan homogen
mendominasi alam semesta pada periode waktu terawalnya (sebelum bariogenesis).
Semasa inflasi, alam semesta mengalami pengembangan eksponensial dan horizon
partikel berkembang lebih cepat daripada yang kita asumsikan sebelumnya,
sehingga daerah yang sekarang ini berada berseberangan dengan alam semesta
terpantau akan melangkaui partikel horizon satu sama lainnya . Isotropi radiasi
latar yang terpantau kemudian akan menunjukkan bahwa daerah yang lebih luas ini
pernah berada dalam hubungan kontak sebab akibat sebelum terjadinya inflasi.
Prinsip ketidakpastian Heisenberg memprediksikan
bahwa semasa fase inflasi, akan terdapat fluktuasi termal kuantum. Fluktuasi ini berperan
sebagai cikal bakal keseluruhan struktur alam semesta. Teori inflasi
memprediksikan bahwa fluktuasi ini bersifat invariansi
skala dan berdistribusi normal,
sebagaimana yang dikonfirmasikan oleh pengukuran radiasi latar.
Masalah kerataan alam semesta
Geometri
keseluruhan alam semesta ditentukan oleh parameter kosmologis omega, apakah
omega lebih kecil, sama dengan, ataupun lebih besar daripada satu.
Masalah
kerataan alam semesta adalah masalah pengamatan yang diasosiasikan dengan metrik Friedmann–Lemaître–Robertson–Walker.[52] Alam semesta bisa saja memiliki kelengkungan
spasial yang positif, negatif, maupun nol tergantung pada rapatan energinya.
Kelengkungan alam semesta negatif apabila rapatan energinya lebih kecil
daripada rapatan
kritisnya, positif apabila lebih besar darinya, dan nol (rata)
apabila sama besar dengannya. Permasalahnnya adalah bahwa rapatan energi alam
semesta terus meningkat dan menjauhi nilai rapatan kritis walaupun alam semesta
tetap hampir rata.[cat 4] Fakta bahwa alam semesta belum
mencapai Kematian
Kalor maupun Remukan
Besar setelah milyaran tahun memerlukan penjelasan yang memadai,
karena beberapa menit setelah Ledakan Dahsyat, massa jenis alam semesta
haruslah di bawah satu per 1014 dari nilai kritisnya untuk tetap ada
sampai sekarang.[53]
Penyelesaian
masalah ini diselesaikan oleh teori
inflasi. Semasa inflasi, ruang waktu mengembang sedemikiannya kelengkungannya
dimuluskan. Sehingganya, diteorikan bahwa inflasi ini mendorong alam semesta
untuk tetap hampir rata dengan rapatan alam semesta yang hampir sama dengan
nilai rapatan kritisnya.
Monopol magnetik
Persoalan
monopol magnetik dicetuskan pada akhir tahun 1970-an. Teori
manunggal akbar memprediksikan kecacatan
topologi ruang yang akan bermanifestasi menjadi magnetik
monopol. Benda ini akan dihasilkan secara efisien pada awal alam
semesta yang panas, menghasilkan kerapatan yang lebih tinggi daripada yang
konsisten dengan pemantauan . Masalah ini diselesaikan pula oleh inflasi
kosmos, yang menghilangkan semua titik-titik cacat dari alam semesta
terpantau sebagaimana ia mendorong geometri alam semesta menjadi rata.[52]
Resolusi
alternatif terhadap masalah horizon, kerataan, dan monopol magnetik diberikan
pula oleh hipotesis kelengkungan Weyl.[54][55]
Asimetri barion
Sampai sekarang
masih belum dimengerti mengapa alam semesti memiliki jumlah materi yang lebih banyak daripada antimateri.[35] Umumnya diasumsikan bahwa ketika alam
semesta masih berusia muda dan sangat panas, ia berada dalam kondisi
kesetimbangan dan mengandung sejumlah barion
dan antibarion yang sama besarnya. Namun, hasil pengamatan menyiratkan bahwa
alam semesta, termasuk pula yang berada di tempat terjauh, hampir semuanya
terdiri dari materi. Proses misterius yang dikenal sebagai "bariogenesis" menciptakan asimetri ini. Agar
bariogenesis dapat terjadi, syarat-syarat
kondisi Sakharov harus dipenuhi. Kondisi ini mempersyaratkan bahwa
jumlah barion tidak kekal, simetri-C
dan simetri-CP
dilanggar, serta alam semesta menyimpang dari kesetimbangan
termodinamika. Semua kondisi ini terjadi dalam Model Standar, namun efeknya tidaklah cukup kuat
untuk menjelaskan asimetri barion.
Usia gugusan globular
Pada
pertengahan tahun 1990-an, pengamatan pada gugusan-gugusan
globular menunjukkan hasil yang tampaknya tidak konsisten dengan
Ledakan Dahsyat. Simulasi komputer yang cocok dengan pemantauan pada populasi
gugusan globular bintang menunjukkan bahwa usia gugusan-gugusan ini sekitar 15
milyar tahun. Hal ini berkontradiksi dengan usia alam semesta yang berusia 13,7
miltar tahun. Persoalan ini umumnya diselesaikan pada akhir tahun 1990-an
dengan simulasi komputer yang baru yang melibatkan efek pelepasan massa yang
diakibatkan oleh angin bintang.
Simulasi baru ini menunjukkan usia gugusan globular yang lebih muda. Walau demikian, masih terdapat
pertanyaan yang meragukan seberapa akurat usia gugusan ini diukur. Tetapi yang
jelas ada bahwa objek luar angkasa ini merupakan salah satu yang tertua di alam
semesta.
Materi gelap
Diagram yang
menunjukkan komposisi berbagai komponen alam semesta menurut model
ΛCDM – kira-kira 95% komposisi alam semesta berbentuk materi
gelap dan energi gelap
Semasa tahun
1970-an dan 1980-an, berbagai pengamatan menunjukkan bahwa adanya ketidakcukupan
materi terpantau dalam alam semesta yang dapat digunakan untuk menjelaskan
kekuatan gaya gravitasi antar dan intra galaksi. Hal ini kemudian memunculkan
gagasan bahwa 90% materi alam semesta berupa materi gelap yang tidak
memancarkan cahaya maupun berinteraksi dengan materi barion.
Selain itu, asumsi bahwa alam semesta terdiri dari materi normal akan
menghasilkan prediksi yang inkonsisten dengan hasil pengmatan. Khususnya, alam
semesta sekarang ini tampak lebih berbongkah-bongkah dan mengandung lebih
sedikit deuterium. Hal ini tidak dapat dijelaskan tanpa
keberadaa materi gelap. Manakala pada awalnya materi gelap ini cukup
kontroversial, keberadaannya telah terindikasikan dalam berbagai pengamatan,
meliputi anisotropi pada radiasi latar belakang mikrogelombang, dispersi
kecepatan gugusan galaksi, kajian pada pelensaan gravitasi,
dan pengukuran sinar-X pada gugusan galaksi.[58]
Bukti
keberadaan materi gelap kebanyakan berasal dari pengaruh gravitasi materi ini
terhadap materi lain. Sampai saat ini, belum ada partikel materi gelap yang
telah terpantau di laboratorium.
Energi gelap
Pengukuran pada
hubungan geseran
merah dengan magnitudo semu dari supernova
tipe Ia mengindikasikan bahwa pengembangan alam semesta telah berakselerasi sejak alam semesta berusia setengah
kali lebih muda dari sekarang. Untuk menjelaskan akselerasi ini, relativitas umum mempersyaratkan bahwa kebanyakan
energi dalam alam semesta terdiri dari sebuah komponen yang bertekanan
negatif, atau diistilahkan "energi gelap". Energi gelap diindikasikan
oleh sederetan bukti. Pengukuran pada latar belakang mikrogelombang kosmis
mengindikasikan bahwa alam semesta hampir secara spasial rata, sehingganya
menurut relativitas umum, alam semesta haruslah memiliki energi/massa yang
hampir sama dengan rapatan
kritisnya. Namun, rapatan alam semesta yang dihitung dari
penggugusan gravitasional menunjukkan bahwa ia hanya sekitar 30% dari rapatan
kritisnya.[20] Oleh karena energi gelap tidak
menggugus seperti energi lainnya, energi gelap dapat menjelaskan rapatan energi
yang "hilang" itu.
Tekanan negatif
merupakan salah satu ciri/sifat dari energi
vakum. Namun sifat persis energi gelap masih misterius. Hasil
ekperimen dari WMAP pada tahun 2008 yang menggabungkan data dari radiasi latar
belakang dan sumber data lainnya menunjukkan bahwa rapatan massa/energi alam
semesta utamanya terdiri dari 73% energi gelap, 23% materi gelap, 4,6% materi
biasa, dan kurang dari 1%-nya neutrino.[32] Rapatan energi dalam materi menurun
seiring dengan mengembangnya alam semesta, tetapi rapatan energi gelap tetap
(hampir) konstan. Oleh karenanya, materi mendominasi keseluruhan energi total
alam semesta pada masa lalunya. Persentase ini akan menurun pada masa depan
seiring dengan semakin dominannya energi gelap.
Masa depan menurut teori Ledakan Dahsyat
Sebelum
diindikasikannya energi gelap, para
kosmologis umumnya mengajukan dua skenario masa depan alam semesta. Jika
rapatan massa alam semesta lebih besar daripada rapatan kritisnya, maka alam
semesta akan mencapai ukuran maksimum dan kemudian mulai runtuh. Alam semesta
kemudian menjadi lebih padat dan lebih panas kembali, dan pada akhirnya akan
mencapai Remukan
Besar.[41] Sebaliknya, apabila rapatan alam
semesta sama atau lebih kecil daripada rapatan kritisnya, pengembangan alam
semesta akan melambat namun tidak akan pernah berhenti. Pembentukan
bintang-bintang kemudian akan berhenti karena semua gas antar bintang di setiap
galaksi telah habis dikonsumsi; bintang-bintang yang ada kemudian akan terus
menjalani pembakaran nuklir menjadi katai putih, bintang
neutron, dan lubang hitam. Dengan
sangat perlahan, tumbukan antara katai putih, bintang neutron, dan lubang hitam
akan mengakibatkan pembentukan lubang hitam yang lebih besar. Temperatur
rata-rata alam semesta akan secara asimtotis mencapai nol mutlak (Pembekuan
Besar). Selain itu, apabila proton tidak stabil, maka materi-materi
barion akan menghilang dan menyisakan hanya radiasi beserta lubang hitam. Pada
akhirnya pula, lubang-lubang hitam yang terbentuk akan menguap dengan
memancarkan radiasi
Hawking. Entropi
alam semesta akan meningkat sampai dengan taraf tiada lagi bentuk energi lain
bisa didapatkan dari entropi tersebut. Keadaan ini disebut sebagai kematian
kalor alam semesta.
Pengamatan
modern menunjukkan bahwa pengembangan alam semesta terus berakselerasi, ini
berarti bahwa semakin banyak bagian alam semesta teramati sekarang akan terus
melewati horizon peristiwa
kita dan tidak akan pernah berkontak dengan kita lagi. Akibat akhir dari
pengembangan yang terus meningkat ini tidak diketahui. Model
ΛCDM alam semesta mengandung energi gelap dalam bentuk konstanta
kosmologi. Teori ini mensugestikan bahwa hanya sistem yang terikat
secara gravitasional saja, misalnya galaksi, yang akan terus terikat bersama.
Namun, galaksi-galaksi inipun akan mencapai kematian
kalor seiring dengan mengembang dan mendinginnya alam semesta.
Penjelasan alternatif lainnya yang disebut teori energi
fantom mensugestikan bahwa pada akhirnya gugusan-gugusan galaksi,
bintang, planet, atom, inti atom, dan materi akan terkoyak oleh pengembangan
yang terus meningkat, dan keadaan ini disebut sebagai Koyakan
Besar.
Fisika spekulatif melangkaui teori Ledakan Dahsyat
Konsep
pengembangan alam semesta, di mana ruang (termasuk bagian tak teramati alam
semesta) di wakili oleh potongan-potongan lingkaran seiring dengan berjalannya waktu.
Manakala model
Ledakan Dahsyat telah cukup mapan dalam bidang kosmologi, sangat besar
kemungkinannya model ini akan terus diperbaiki pada masa depan. Sampai
sekarang, sangat sedikit sekali yang kita ketahui mengenai masa-masa awal
sejarah alam semesta. Teorema
singularitas Penrose-Hawking mempersyaratkan keberadaan singulartias pada awal
kemunculan waktu. Namun, teori ini mengasumsikan bahwa teori relativitas
umum berlaku, walaupun teori relativitas umum haruslah tidak berlaku
sebelum alam semesta mencapai temperatur Planck.
Penerapan teori gravitasi kuantum yang
tepat mungkin dapat menghindari keberadaan singularitas ini.[60]
Terdapat
beberapa gagasan beserta hipotesis tak teruji yang diajukan:
- Model keadaan Hartle-Hawking, yang mana keseluruhan ruang waktu terbatas; Ledakan Dahsyat mewakili batasan waktu, namun tidak memerlukan keberadaan singularitas.[61]
- Model kekisi Ledakang Dahsyat[62] menyatakan bahwa alam semesta pada saat Ledakan Dahsyat terdiri atas sejumlah kekisi fermion yang terbatas yang merambah domain fundamental, sehingganya ia memiliki simetri rotasional, translasional, dan tolok. Simetri ini merupakan simetri terbesar yang dimungkinkan, sehingganya memiliki entropi terendah dari keadaan manapun.
- Model kosmologi membran[63] yang mengajukan bahwa inflasi terjadi diakibatkan oleh pergerakan membran-membran dalam teori dawai; model pra-Ledakan Dahsyat; model ekpirotik, yang mana Ledakan Dahsyat merupakan akibat tumbukan membran-membran; dan model siklik yang sama dengan model ekpirotik tetapi tumbukan terjadi secara berkala. Dalam model siklik, Ledakan Dahsyat didahului oleh Remukan Besar dan alam semesta terus menerus melalui siklus ini dari satu proses ke proses lainnya.[64][65][66]
Beberapa
gagasan memandang Ledakan Dahsyat sebagai suatu kejadian yang terjadi di alam
semesta yang lebih besar dan lebih tua dan bukanlah kebermulaan alam semesta.
Penafsiran keagamaan
Teori Ledakan
Dahsyat adalah teori ilmiah, sehingganya ia
tergantung pada kecocokan teori ini dengan pengamatan yang ada. Namun, sebagai
suatu teori, ia mengalamatkan asal usul realitas dan alam semesta, yang pada
akhirnya memiliki implikasi teologis dan filosofis akan konsep penciptaan ex nihilo.[67][68][69][70][71]
Pada tahun 1920-an dan 1930-an, hampir semua kosmologis cenderung mendukung
model keadaan tetap alam semesta dan beberapa kosmologis mengeluh bahwa adanya
permulaan waktu dalam Ledakan Dahsyat memasukkan konsep-konsep keagamaan ke
dalam ilmu fisika; keberatan ini terus disuarakan oleh para pendukung teori keadaan tetap.[72]
Kecurigaan ini lebih menjadi-jadi oleh karena pengusul teori Ledakan Dahsyat,
Monsignor Georges Lemaître, adalah seorang biarawan Katolik
Roma.[73]
Paus
Pius XII pada pertemuan Pontificia Academia Scientiarum
tanggal 22 November 1951 mendeklarasikan bahwa teori Ledakan Dahsyat sesuai
dengan konsep penciptaan Katolik.[74]
Sejak
diterimanya teori Ledakan Dahsyat sebagai paradigma kosmologi fisika yang
dominan, terdapat berbagai tanggapan yang berbeda dari kelompok-kelompok
keagamaan yang berbeda akan implikasi teori ini terhadap doktrin penciptaan
keagamaan mereka. Beberapa menerima bukti-bukti ilmiah teori Ledakan Dahsyat,
yang lainnya berusaha merekonsiliasi teori ini dengan ajaran agama mereka, dan
ada pula yang menolak maupun mengabaikan bukti teori ini.[75]
Kesalahan umum
Orang sering
kali salah mengartikan dentuman besar sebagai suatu ledakan yang menghamburkan
materi ke ruang hampa. Padahal dentuman besar bukanlah suatu ledakan, bukan
penghamburan materi ke ruang kosong, melainkan suatu proses pengembangan alam
semesta itu sendiri. Dentuman besar adalah proses pengembangan ruang-waktu.
Bahkan istilah 'ledakan besar' sendiri merupakan istilah salah kaprah.
Catatan
- ^ Dilaporkan secara meluas bahwa Hoyle bermaksud menggunakan istilah ini secara peyoratif. Namun, Hoyle kemudian membantah hal ini, mengatakan bahwa ini hanyalah untuk menekankan perbedaan antara dua teori ini bagi para pendengar radio. Lihat Bab 9 The Alchemy of the Heavens oleh Ken Croswell, Anchor Books, 1995.
- ^ Tiada konsensus seberapa lama fase the Big Bang ada. Biasanya paling tidak beberapa menit awal kejadian ledakan (sewaktu helium disintesis) dikatakan terjadi "sewaktu ledakan dahsyat.
- ^ Jika inflasi benar terjadi, bariogenesis juga pasti pernah terjadi, tetapi tidak sebaliknya.
- ^ Energi gelap digunakan untuk menjelaskan kerataan alam semesta; walau demikian, alam semesta tetap rata selama beberapa milyar tahun bahkan sebelum rapatan energi gelap cukup signifikan untuk mempertahankan kerataan alam semesta.
Referensi
1.
^ Komatsu, E.
(2009). "Five-Year Wilkinson Microwave Anisotropy Probe Observations:
Cosmological Interpretation". Astrophysical
Journal Supplement 180: 330. doi:10.1088/0067-0049/180/2/330.
Bibcode: 2009ApJS..180..330K.
2.
^ Menegoni,
Eloisa et al. (2009), "New
constraints on variations of the fine structure constant from CMB anisotropies",
Physical Review D 80 (8), doi:10.1103/PhysRevD.80.087302
4.
^ Jonathan
Keohane (November 08, 1997). "Big
Bang theory". NASA's Imagine the Universe: Ask an astrophysicist..
Diakses pada 3 September 2010.
5.
^ Feuerbacher,
B.; Scranton, R. (25 January 2006). "Evidence
for the Big Bang". TalkOrigins. Diakses pada
16 Oktober 2009.
6.
^ Wright, E.L.
(9 May 2009). "What
is the evidence for the Big Bang?". Frequently Asked Questions in
Cosmology. UCLA, Division of Astronomy and
Astrophysics. Diakses pada 16 Oktober 2009.
7.
^ a
b
c
d
Hubble, E. (1929). "A Relation
Between Distance and Radial Velocity Among Extra-Galactic Nebulae". Proceedings
of the National Academy of Sciences 15 (3): 168–73. doi:10.1073/pnas.15.3.168. PMID 16577160. PMC 522427.
8.
^ Gibson, C.H.
(21 January 2001). "The
First Turbulent Mixing and Combustion". IUTAM Turbulent Mixing and
Combustion.
9.
^ Gibson, C.H.
(2001). "Turbulence And Mixing In The Early Universe". arΧiv:astro-ph/0110012
[astro-ph].
14.
^ Slipher, V.M. "The Radial
Velocity of the Andromeda Nebula". Lowell Observatory Bulletin 1:
56–57.
16.
^ a
b
Friedman,
A.A. (1922). "Über die Krümmung des Raumes". Zeitschrift für Physik
10: 377–386. doi:10.1007/BF01332580. (Jerman)
(Terjemahan Inggris di: Friedman, A.
(1999). "On
the Curvature of Space". General
Relativity and Gravitation 31: 1991–2000. doi:10.1023/A:1026751225741.)
17.
^ a
b
Lemaître, G. (1927). "Un univers homogène de
masse constante et de rayon croissant rendant compte de la vitesse radiale des
nébuleuses extragalactiques". Annals
of the Scientific Society of Brussels 47A: 41. (Perancis)
(Diterjemahkan di: "A Homogeneous
Universe of Constant Mass and Growing Radius Accounting for the Radial Velocity
of Extragalactic Nebulae". Monthly
Notices of the Royal Astronomical Society 91: 483–490. 21 Juni
1931.)
18.
^ Lemaître, G. (1931). "The Evolution of the
Universe: Discussion". Nature 128: 699–701. doi:10.1038/128704a0.
19.
^ Christianson,
E. (1995). Edwin Hubble: Mariner of the Nebulae. New York (NY): Farrar, Straus and
Giroux. ISBN 0374146608.
20.
^ a
b
Peebles, P.J.E.; Ratra, Bharat (2003). "The Cosmological Constant and Dark
Energy". Reviews of Modern
Physics 75: 559–606. doi:10.1103/RevModPhys.75.559.
arXiv:astro-ph/0207347.
21.
^ Milne, E.A.
(1935). Relativity, Gravitation and World Structure. Oxford (UK): Oxford University Press. LCCN 35-19093.
22.
^ Tolman, R.C.
(1934). Relativity, Thermodynamics, and Cosmology. Oxford (UK): Clarendon Press. LCCN 34-32023.
Reissued (1987). New York (NY): Dover Publications ISBN
0-486-65383-8.
23.
^ Zwicky, F.
(1929). "On
the Red Shift of Spectral Lines through Interstellar Space". Proceedings
of the National Academy of Sciences 15 (10): 773–779. doi:10.1073/pnas.15.10.773. PMID 16577237. PMC 522555.
Full articlePDF (672 KB).
24.
^ Hoyle, F.
(1948). "A New
Model for the Expanding Universe". Monthly
Notices of the Royal Astronomical Society 108: 372.
25.
^ Alpher, R.A.; Gamow, G.
(1948). "The
Origin of Chemical Elements". Physical Review 73:
803. doi:10.1103/PhysRev.73.803.
26.
^ Alpher, R.A. (1948).
"Evolution of the Universe". Nature 162: 774. doi:10.1045/march2004-featured.collection.
28.
^ a
b
Penzias, A.A.; Wilson, R. W. (1965). "A Measurement of
Excess Antenna Temperature at 4080 Mc/s". Astrophysical Journal
142: 419. doi:10.1086/148307.
29.
^ a
b
Boggess, N.W., et al.; Mather, J. C.; Weiss, R.; Bennett, C. L.; Cheng,
E. S.; Dwek, E.; Gulkis, S.; Hauser, M. G. et al. (1992). "The COBE
Mission: Its Design and Performance Two Years after the launch". Astrophysical Journal
397: 420. doi:10.1086/171797.
30.
^ a
b
Spergel, D.N., et al. (2006). Wilkinson Microwave
Anisotropy Probe (WMAP) Three Year Results: Implications for Cosmology.
Diakses pada 27 Mei 2007.
31.
^ Hawking,
S.W. (1973). The Large-Scale Structure of Space-Time. Cambridge
(UK): Cambridge
University Press. ISBN 0-521-20016-4.
32.
^ a
b
c
d
Hinshaw, G., et al. (2008). "Five-Year
Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) Observations: Data Processing, Sky
Maps, and Basic Results" (PDF). The Astrophysical
Journal.
33.
^ Guth, A.H. (1998). The
Inflationary Universe: Quest for a New Theory of Cosmic Origins. Vintage Books. ISBN 978-0099959502.
34.
^ Schewe, P.
(2005). "An Ocean
of Quarks". Physics News Update (American
Institute of Physics) 728 (1). Diakses pada 27 Mei 2007.
39.
^ Ivanchik, A.V.
(1999). "The Fine-Structure Constant: A New Observational Limit on Its
Cosmological Variation and Some Theoretical Consequences". Astronomy and
Astrophysics 343: 459. Bibcode: 1999A&A...343..439I.
40.
^ d'Inverno, R.
(1992). "Chapter 23". Introducing Einstein's Relativity. Oxford University Press. ISBN 0-19-859686-3.
42.
^ Gladders, M.D.
(2007). "Cosmological Constraints from the Red-Sequence Cluster
Survey". The Astrophysical
Journal 655 (1): 128–134. doi:10.1086/509909. Bibcode: 2007ApJ...655..128G.
45.
^ Srianand, R.;
Petitjean, P.; Ledoux, C.. "The microwave background temperature at the
redshift of 2.33771". Nature 408 (6815): 931–935. Bibcode: 2000Natur.408..931S.
Lay
summary – European Southern Observatory (1
Desember 2000).
46.
^ White, M.
(1999). "Anisotropies in the CMB". Proceedings of the Los Angeles
Meeting, DPF 99, UCLA.
47.
^ Steigman, G.
(2005). "Primordial Nucleosynthesis: Successes And Challenges". arΧiv:astro-ph/0511534
[astro-ph].
48.
^ Bertschinger,
E. (2001). "Cosmological Perturbation Theory and Structure
Formation". arΧiv:astro-ph/0101009
[astro-ph].
49.
^ Bertschinger,
E. (1998). "Simulations of Structure Formation in the Universe". Annual
Review of Astronomy and Astrophysics 36 (1): 599–654. doi:10.1146/annurev.astro.36.1.599.
Bibcode: 1998ARA&A..36..599B.
53.
^ Dicke, R.H..
"The big bang cosmology—enigmas and nostrums". Hawking, S.W. (ed);
Israel, W. (ed) General Relativity: an Einstein centenary survey:
504–517, Cambridge
University Press.
54.
^ Penrose, R.
(1979). "Singularities and Time-Asymmetry". Hawking, S.W. (ed);
Israel, W. (ed) General Relativity: An Einstein Centenary Survey:
581–638, Cambridge
University Press.
55.
^ Penrose, R.
(1989). "Difficulties with Inflationary Cosmology". Fergus, E.J. (ed)
Proceedings of the 14th Texas Symposium on Relativistic Astrophysics:
249–264, New York Academy
of Sciences. DOI:10.1111/j.1749-6632.1989.tb50513.x.
56.
^ Sakharov, A.D.
(1967). "Violation of CP Invariance, C Asymmetry and Baryon Asymmetry of
the Universe". Zhurnal
Eksperimentalnoi i Teoreticheskoi Fiziki, Pisma 5: 32. (Rusia)
(Diterjemahkan di Journal
of Experimental and Theoretical Physics Letters 5, 24 (1967).)
57.
^ Navabi, A.A.;
Riazi, N. (2003). "Is the Age Problem Resolved?". Journal of
Astrophysics and Astronomy 24 (1–2): 3. doi:10.1007/BF03012187. Bibcode: 2003JApA...24....3N.
59.
^ Caldwell, R.R;
Kamionkowski, M.; Weinberg, N. N. (2003). "Phantom Energy and Cosmic
Doomsday". Physical Review
Letters 91 (7): 071301. doi:10.1103/PhysRevLett.91.071301.
PMID 12935004. Bibcode: 2003PhRvL..91g1301C.
60.
^ Hawking, S.W.;
Ellis, G.F.R. (1973). The Large Scale Structure of Space-Time. Cambridge
(UK): Cambridge
University Press. ISBN 0-521-09906-4.
61.
^ Hartle, J.H.;
Hawking, S. (1983). "Wave Function of the Universe". Physical Review D 28
(12): 2960. doi:10.1103/PhysRevD.28.2960.
Bibcode: 1983PhRvD..28.2960H.
64.
^ Linde, A.
(2002). "Inflationary Theory versus Ekpyrotic/Cyclic Scenario". arΧiv:hep-th/0205259
[hep-th].
65.
^
Than, K., "Recycled
Universe: Theory Could Solve Cosmic Mystery ", (Space.com). Diakses pada 3 Juli
2007.
66.
^ Kennedy, B.K.
(2007). "What
Happened Before the Big Bang?". Diarsipkan dari yang asli pada 4
Juli 2007. Diakses pada 3 Juli 2007.
67.
^ Russel, R.J.
(2008). Cosmology:
From Alpha to Omega. Fortress Press. ISBN 9780800662738. "Amazingly,
some secularists attribute to t=0 a direct implication. The June 1978 issue of
the New York Times contained an article by NASA's Robert Jastrow, an
avowed agnostic, entitled "Found God?" Here Jastrow depicts the
theologians to be "delighted" that astronomical evidence "leads
to a biblical view of Genesis." Though claiming to be agnostic, he argued
without reservation for the religious significance of t=0: It is beyond science
and leads to some sort of creator."
68.
^ Corey, M.
(1993). God
and the New Cosmology. Rowman &
Littlefield. ISBN 9780847678020. "Indeed,
creation ex nihilo is a fundamental tenet of orthodox Christian
theology. Incredibly enough, modern theoretical physicists have also speculated
that the universe may have been produced through a sudden quantum appearance
"out of nothing." Physicist Paul Davies has claimed that the
particular physicis involved in the Big Bang necessitates creation ex
nihilo."
69.
^ Lerner, E.J.
(1992). The
Big Bang Never Happened: A Startling Refutation of the Dominant Theory of the
Origin of the Universe. Vintage Books. ISBN 9780679740490. "From
theologians to physicists to novelists, it is widely believed that the Big Bang
theory supports Christian concepts of a creator. In February of 1989, for
example, the front-page article of the New York Times Book Review argued
that scientists and novelists were returning to God, in large part through the
influence of the Big Bang."
70.
^ Manson, N.A.
(1993). God
and Design: The Teleological Argument and Modern Science. Routledge. ISBN 9780415263443. "The Big
Bang theory strikes many people as having theological implications, as shown by
those who do not welcome those implications."
71.
^ Davis, J.J.
(2002). The
Frontiers of Science & Faith. InterVarsity Press. ISBN 9780830826643. "Genesis'
concept of a singular, ex nihilo beginning of the universe essentially
stands alone among the cosmolgies of the ancient world and exhibts, at this
point, convergence with recent big bang cosmological models."
72.
^ Kragh, H.
(1996). Cosmology and Controversy. Princeton (NJ): Princeton
University Press. ISBN 0-691-02623-8.
74.
^ Ferris, T.
(1988). Coming of age in
the Milky Way. Morrow. hlm. 274, 438. ISBN 978-0-688-05889-0., citing
Berger, A. (1984). The
Big bang and Georges Lemaître: proceedings of a symposium in honour of G.
Lemaître fifty years after his initiation of big-bang cosmology,
Louvainla-Neuve, Belgium, 10–13 October 1983. D. Reidel. hlm. 387. ISBN 978-90-277-1848-8.
75.
^ Wright, E.L
(24 May 2009). "Cosmology
and Religion". Ned Wright's Cosmology Tutorial. Diakses pada 15
Oktober 2009.
Buku
- Kolb, Edward; Turner, Michael (1988). The Early Universe. Addison–Wesley. ISBN 0-201-11604-9.
- Peacock, John (1999). Cosmological Physics. Cambridge University Press. ISBN 0521422701.
Bacaan lanjut
- Barrow, J.D. (1994). The Origin of the Universe: To the Edge of Space and Time. New York: Phoenix. ISBN 0-465-05354-8.
- Alpher, R.A.; Herman, R. (1988). "Reflections on early work on 'big bang' cosmology". Physics Today 8: 24–34.
- Mather, J.C.; Boslough, J. (1996). The very first light: the true inside story of the scientific journey back to the dawn of the Universe. Basic Books. hlm. 300. ISBN 0-465-01575-1.
- Singh, S. (2004). Big Bang: The origins of the universe. Fourth Estate. ISBN 0-00-716220-0.
- Davies, P.C.W. (1992). The Mind of God: The scientific basis for a rational world. Simon & Schuster. ISBN 0-671-71069-9.
- "Cosmic Journey: A History of Scientific Cosmology". American Institute of Physics.
- Feuerbacher, B.; Scranton, R. (2006). "Evidence for the Big Bang". TalkOrigins.
- "Misconceptions about the Big Bang". Scientific American. 1 Maret 2005.
- "The First Few Microseconds". Scientific American. 1 Mei 2006.
- Roos, M. (2008). "Expansion of the Universe – Standard Big Bang Model". arΧiv:0802.2005.
Pranala luar
- Cosmology di Proyek Direktori Terbuka
- Model ledakan dahsyat dengan grafik animasi
- Bukti Ledakan Dahsyat
http://id.wikipedia.org/wiki/Dentuman_dahsyat