Fenomena kebijakan pemerintah tentang kurikulum pendidikan menjadi problematika bagi guru, baik guru kelas maupun guru mata pelajaran, terutama bagi guru di sekolah dasar.
BUKAN hal yang mudah menentukan
sikap ideal dalam menghadapi kebijakan pemerintah mengenai sering berubahnya
kurikulum pendidikan. Tahun ajaran 2006/2007 ini muncul kurikulum baru yaitu
KTSP (kurikulum tingkat satuan pelajaran). KTSP adalah kurikulum operasional
yang disusun, dibuat oleh sekolah yang mengacu pada standar isi yang
diterbitkan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang dilaksanakan oleh setiap
pendidikan berdasarkan potensi dan kebutuhan satuan pendidikan.
Dalam kurikulum baru ini, pihak
sekolah memiliki hak dan wewenang membuat dan mengembangkan kurikulum tersebut.
Dalam hal ini tentu para guru yang harus aktif dan kreatif dalam menentukan
langkah-langkah pembuatan dan pengembangan kurikulum tersebut. Karena dalam
KTSP, guru yang berhak sepenuhnya menentukan penilaian kepada anak didik, bukan
pihak-pihak yang tidak tahu tentang kualitas kemampuan anak didik (student’s
skill quality).
Meskipun KTSP tidak jauh berbeda
dengan kurikulum 2004, tapi hal ini berdampak pada metode pengajaran dan
penyampaian materi yang sulit untuk mencapai tahap kesempurnaan. Hal ini
disebabkan sering berubahnya kurikulum, sedangkan implementasi kurikulum lama belum
sepenuhnya dimengerti dan dipahami, apalagi dilaksanakan dengan baik.
Kurikulum baru dirasakan juga oleh penulis sebagai guru mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar.
Kurikulum baru dirasakan juga oleh penulis sebagai guru mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar.
Penulis menilai ada 4 faktor
pendukung agar KTSP bisa terimplemen-tasikan dengan baik dalam pembelajaran
bahasa Inggris di sekolah dasar. Di antaranya, (1) faktor guru. Proses
pembelajaran akan terlaksana dengan baik jika guru memiliki kompetensi dan
profesional di bidangnya. Tapi pada kenyataannya, saat ini masih banyak guru
bahasa Inggris yang tidak kompeten dan profesional dalam mengajar bahasa
Inggris atau hanya sekadar punya tekad, “saya suka dan mau belajar bahasa
Inggris”. Akhirnya, hasil pembelajaran pun tidak sesuai dengan target dan
aturan yang ada dalam kurikulum.
(2) Faktor kebijakan pemerintah.
Pemerintah harus menyejajarkan mata pelajaran bahasa Inggris dengan mata
pelajaran lainnya. Bahasa Inggris jangan hanya dijadikan sebagai muatan lokal
dan mungkin boleh dikatakan mata pelajaran yang hukumnya “setengah wajib”. Sedangkan
di era globalisasi dan instan sekarang ini, anak didik mulai dari usia SD
bahkan TK sudah dituntut bersaing dalam mata pelajaran bahasa Inggris.
(3) Faktor lingkungan sekolah.
Dukungan pihak sekolah sangat menunjang jika sarana dan prasarana bisa dipenuhi
untuk mencapai target kesempurnaan pembelajaran. Tetapi penulis meihat hal itu
sulit direalisasikan. Jangankan sarana dan prasarana, teknis di dalam kelas pun
belum bisa kondusif dengan jumlah siswa yang terlalu banyak dan tidak ideal
menurut BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).
(4) Faktor anak didik dan motivasi
orang tua. Perkembangan dan kemajuan inteligensi anak didik tidak terlepas dari
motivasi orang tua. Ketika anak didik dibimbing dan didukung dengan baik oleh
orang tuanya, secara tidak langsung hal itu menjadi dasar bagi anak didik untuk
belajar lebih giat dan aktif. Karena meskipun seorang guru berusaha mengajar
dengan mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk kemajuan anak didiknya, tetapi
motivasi belajar anak kurang, hal itu menjadi kendala dalam mengembangkan skill
si anak didik.
Itu semua menjadi sebuah fenomena
dan problematika guru saat ini, terutama guru mata pelajaran bahasa Inggris.
Oleh karena itu, pemerintah harus konsisten terhadap kebijakan yang diambil
mengenai kurikulum pendidikan, agar tercapai tujuan pendidikan seutuhnya.
sumber: