PENDAHULUAN
Kapan
masuknya agama Islam di Kepulauan Kai, siapa saja Para Ulama yang mula-mula
mensyiarkan (menyebarkan) agama Islam, dan di mana tempat mula-mula
para Ulama singgah serta bagaimana awal perkembangan Islam? masih
merupakan pertanyaan semua orang pemerhati sejarah Islam dan membutuhkan
jawaban pasti. Kita butuh sumber data pendukung yang valid serta
obyektif, akurat, memiliki bukti-bukti sejarah yang kuat serta ajeg,
tidak parsial, diperoleh melalui prosedur kerja ilmiah yang dituntut dalam
suatu penelitian yang sifatnya akademis. Sehingga akan diperoleh hasil
penelitian sejarah Islam yang baik dan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Karena hasil penelitian yang baik adalah petunjuk utama
penyelesaian masalah sejarah Islam di Kepulauan Kai (Iskandar:2008).
Sumber
iformasi yang dibutuhkan berupa hasil penelitian sejarah Islam di
Kepualauan Kai sebagai sumber rujukan dan sumber belajar ummat
Islam. Karena dengan mempelajari dan mengetahui sejarah dan perjuangan Islam masa
lalu kita dapat menata kehidupan kini dan masa datang berlandaskan nilai-nilai
historis (historical value) yang
tertuang dalam suatu tulisan sejarah Islam.
Munculnya
suatu tulisan sejarah Islam di Kai merupakan secercah harapan untuk turut
mengisi bingkai lukisan dunia Islam yang maha luas dan abadi, karena tulisan
yang nanti Insya Allah terwujud merupakan secuil pengetahuan berharga di
antara buku-buku sirah, tarikh, ghazwah, hingga thabaqot yang hampir tak
terhitung jumlahnya. Meskipun oleh sebagian kalangan atau orang lain dari tahun
ke tahun sekian banyak tulisan-tulisan tentang sejarah Islam sudah banyak
bertebaran di mana-mana.
Sehingga
kesempatan seperti ini, apapun dan bagaimanapun rona/warna tulisan yang akan
dihasilkan, siapapun nara sumbernya dan dari mana asalnya serta bagaimanapun
latar belakangnya, harus membuktikan bahwa para leluhur/tetua, ataupun
Ulama-ulama Islam Kai terdahulu telah menabur permata-permata bernilai
suci-cemerlang (dymond velue) tidak
terhingga yang tak pernah lekang, pribadi-pribadi beliau tak pernah kering dan
aus, menjadi buah bibir dan sorotan pena serta mata hati orang-orang
bijak dari dahulu, kini hingga entah kapan, sampai hari kiamat, Wallahu a’lam Bishowab.(Al-Mubarakfury,
S.S.:2007).
Keberadaan
Agama Islam di Kepulauan Kai bersamaan dengan kedatangan para leluhur
orang Kai di wilayah ini. Ada berbagai versi sejarah yang selama ini
berkembang dalam masyarakat muslim Kai, namun semua itu merupakan wahana
kekayaan lokal sangat bernilai sebagai modal dasar untuk
membantu pemerhati sejarah Islam Kai dalam mewujudkan cita-cita
luhur terciptanya suatu penulisan sejarah Islam yang bermutu tinggi.
Masuknya
Agama Islam di Kepulauan Kai sangat erat kaitannya dengan
datangnya gelombang dan irama perpindahan penduduk ke daerah
tersebut. Pada awalnya perpindahan penduduk dari Luang Mabes, Tidore,
Ternate, Seram dan Banda Naira, mereka semua telah memeluk agama
Islam, namun karena kurang adanya pembinaan keagamaan, serta terkuras oleh waktu
dan kondisi sehingga beberapa tempat kehilangan syariat Islam bahkan
musnah, dan kembali menyatu dengan keadaan lingkungan yang ateis/anemis namun
ada yang tetap mengembangkan syiar Islam.
Penulisan
sejarah Islam Kai seperti halnya penelitian sosial lain, maka mengikuti prosedur
penelitian kualitatif induktif, sehingga dalam kegiatan ini akan mencoba
mengembangkan teori model induksi (Blank
Theory and Data Focus), dengan
desain kualitatif–verikatif, yaitu data sejarah sebelumnya cukup membantu
peneliti untuk memahami data yang akan diteliti. Teori yang ada membantu
peneliti membuka misteri data sebenarnya yang tidak diketahui peneliti, namun
focus peneliti hanya tertuju pada data sejarah yang ada karena pemahaman
terhadap data adalah kunci jawaban terhadap masalah penelitian. Lihat Gambar
skema pada Lampiran (Burhan Bungin:2010:25).
Metode
dan teknik yang digunakan dalam kegiatan penulisan sejarah Islam Kai ini
adalah, Focus Group Discussion (FGD)
yaitu teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif
dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok.
Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari suatu kelompok berdasarkan
hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga
dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang
penulis/peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti. Disamping Metode
FGD, digunakan pula langkah-langkah analisis structural Levi-Strauss dalam membantu menganalisis
data sejarah yang ada. Teknis penerapan lihat pada Lampiran (Burhan
Bungin:2010:223).
B. PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI KEPULAUN KAI
1.
BANDA ELI DAN BANDA ELAT
Masyarakat
Banda Eli dan Banda Elat adalah penduduk Kai yang berasal dari
Banda Naira, mereka meninggalkan Banda Naira karena pertikaian antara
masyarakat Banda Naira dengan VOC di bawah pimpinan Yan Piterszoon
Coen pada taun 1621. Saat inipun masyarakat tersebut masih tetap mempertahankan
Agama Islam, Budaya ( Adat Istiadat ) dan Bahasa Banda Naira. Mereka ini yang memperkuat
dan menjadi penerus adat dan budaya Banda Naira (Des Alwi: 2004:11).
2.
PULAU KUR
Pulau
Kur dengan 11 Desanya mulai dari masuknya penduduk yang beragama
Islam sampai sekarang masih ietap mempertahan
kan
Agama Islam, Adat Istiadat dan Bahasa. Raja pertama Kur adalah seorang
keturunan Arab yang bernama Muhammad dan nama
Kerajaannya adalah Makara.
3.
KEPULAUAN TAYANDO (DESA
OHOITOM)
Masuknya
Agama Islam di Tayando untuk pertama kali dibawa oleh Marungun
Banyal pada tahun 1550 dari Langgiar Fer setelah itu di susul
oleh tiga orang mubaligh
yaitu Tawakaluddin, Tafakadin dan Safakadin dari Banda
Naira melalui Kur ke Desa Langgiar Fer baru kemudian kembali ke Tayando.
(Mahmud, M. 2001).
4.
DESA DULLAH
Agama
Islam untuk pertama kali di bawa oleh Sultan
Tahiruddin dari Kesultanan Jailolo
Maluku Utara pada tahun 1591 ke Desa Dullah. Namun putusnya
hubungan da'wah telah menimbulkan hilangnya syariat Islam di
sana dan akhirnya mereka kembali menyatu dengan kepercayaan
leluhurnya. Pada masa pemerintahan Raja Daung Val beliau mengadakan
hubungan dengan Kerajaan Langgiar Fer lalu beliau menyatakan masuk Islam
dan kemudian kembali ke Desa Dullah untuk dimandikan bersama masyarakatnya
secara Islam. (Mahmud, M. 2001).
5. DESA LANGGIAR FER
a)
Permulaan Masuknya Islam
Menurut
Matdoan M. (2001), sampai saat ini sejarah masuknya agama Islam di Desa
Langgiar Fer masih tetap merupakan penuturan lisan yang dituturkan dari mulut
ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikut tanpa didukung dengan
data otentik. Sehingga perlu diadakan penelitian terus menerus
serta mempelajari literatur dan peninggalan sejarah untuk mendapatkan hasil
sejarah Islam yang bermanfaat.
Jalur
masuknya Agama Islam di desa Langgiar Fer melalui Aceh, Banda, Kur dan
Tayando, namun Kur dan Tayando hanya merupakan tempat persinggahan saja.
Pembawanya adalah Datuk Abdullah bin Abdul Muthholib bin Abu Bakar bin
Hasyim dari Magribi (Maroko).
Menurut
Ahmad Fakaubun bahwa ayah Datuk Abdullah bernama Abdul Mutholib, lahir
Banda Naira sedangkan Neneknya adalah tawanan Portugis dalam
peperangan dengan Sultan Johar pada tahun 1511 yang pada waktu itu di buang
ke Banda Naira. Kedua pendapat tersebut setelah di teliti ada suatu
kejanggalan yang sangat mencolok yaitu: cerita perjalanan mereka
ditemukan bahwa Datuk Abdullah lahir di Banda Naira dan
cucunya yang bernama Sarkol kawin dengan anak perempuan dari Raja Sawe di
Kilmas Kur. Dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang putera yang
bernama Farne Vul, setelah dewasa ia pindah ke Desa Dullah lalu kawin
dan memperoleh dua orang putera yaitu Arba Huren pindah ke
Desa Larat kemudian kawin dengan Sikremin dan Mel Ren pindah ke Desa
Taar.
Dari
hasil penemuan di atas maka dapatlah dipastikan babwa yang datang ke Desa
Langgiar Fer adalah keturunan Datuk Abbdullah yang bernama Arba
Huren dan diperkirakan tiba di Tenan Savav pada tahun 1661.
Hubungan
antara Kepulauan Kai dengan Pulau-pulau Banda Naira sudah berlangsung
sebelum datangnya VOC di Banda Naira. Terjadinya pertikaian antara
VOC dengan rakyat Banda Naira pada tahun 1602 menyebabkan sebahagian dari
pemuka-pemuka Agama
berangkat meninggalkan Banda Naira menuju Kepulauan Kai, untuk
pertama kalinya mereka tiba di Desa Ngilngof.
Beberapa
waktu kemudian keluarga Seknun, Rumkel dan Rumaf
dibawah pimpinan Datuk Abdullah Seknun pada tahun 1605 yang
merupakan turunan Datuk Maulana pindah menetap di Desa Fer bersama
anaknya yang tertua bernama Muhammad Ali Fatha yang kemudian diangkat menjadi
Imam pertama di Desa Fer, Beliau meninggal pada tahun 1617 M/1026
H, makam di Fer-Langgiar.
Keluarga
Rumaf menjadi Imam di Desa Mastur-Kei Kecil dan keluarga Rumkel beserta sebagian
keluarga Rumaf berangkat ke Tayando, setelah mereka tiba di Tayando
diangkat menjadi Imam. Keluarga Rumkel diangkat menjadi Imam di Desa
Meo Langgiar, pengangkatan Imam tersebut. ditandai dengan satu kati
emas sehingga marga Rumkel berubah nama menjadi
Katmas.(Mahmud.M. 2003).
Tamaslu
Seknun anak dari Datuk Abdullah diangkat menjadi Imam di Ohuikurun
(Desa Langgiar Fer sekarang) dan dari sinilah Agama Islam mulai berkembang dan
melembaga di Desa Langgiar Fer yang kemudian berkembang menjadi pusat
pengembangan Agama Islam di kepulauan Kai pada akhir abad ke 18 (1704
M/1124 H) dimasa pemerintahan Bal Tub Vuar (Muhammmad Baluddin Matdoan).
Beliau mengajarkan ilmu akidah dan ilmu tasawuf kepada masyarakat sehingga
beliau terkenal sangat alim.
Riwayat
lain mengisahkan bahwa, agama Islam di Desa Langgiar-Fer untuk pertama kali
dibawa oleh Muhammad Muqis (Ubtim Matdoan) pada abad 11 atau 12 Masehi,
anak dari Sultan Muhammad Isa dari Kota Basra yang dikenal di
daerah kepulauan Luang Maubessy beliau diperkirakan tiba di sana pada tahun 1136 (wilayah
ter Selatan Maluku, sekarang menjadi Kabupaten Maluku Barat Daya) dengan
sebutan Raja Melayu karena beliau datang ke Pulau Luang melalui Kerajaan
Melayu, dan agama Islam berkembang pesat di Kepulauan Kai pada generasi ketujuh
yaitu saat berkuasa Larat Matdoan (1536). Untuk ini dapat ditelusuri riwayat
sejarah beberapa Kerajaan Islam di Kepulauan Kai, Aru, Irian dan Pulau Ambon
(Leihitu—Seit, Negeri Lima dll.).
6. DESA MATWEAR
Menurut
sejarah yang diakui masyarakat bahwa Raja Kerajaan Matwear yang pertama
bernama Hasan Maqbir Bidian berasal dari Kesultanan Adonara dan
pusat kerajaannya adalah Desa Matwear sekarang. Raja
Hasan Maqbir tidak mempunyai anak laki- laki untuk menggantikan tahta
kerajaan sehingga tahta kerajaan dijabat kembali oleh
Un El Renfan. Dilihat dari silsilah perkawinan Raja Hasan Maqbir dengan
Dit Nangan anak dari Tebtut Ohoi Vuur diperkirakan beliau datang
ke desa Matwear pada akhir abad ke 17 Masehi.
Kehidupan beragama masyarakat sepeninggal Raja
Hasan Maqbir adalah bahwa sebagian rakyat Matwear masih menganut Agama
Islam, sebagian lagi beralih memeluk Agama Kristen Protestan (Mahmud, M. 2001)
C. SELAYANG PANDANG
SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DAN PERKEMBANGAN QURRA WAL HUFFAZ AL-QUR'ANUL KARIM DI
LANGGIAR-FER
Para
orang tua, leluhur masayarakat Kai khusus di Desa Langgiar Fer, Ngafan,
Sungai-Hoat mengharapkan anak cucu mereka kiranya
menjadi generasi yang dapat mengenal membaca dan memahami Al-Qur'an
secara baik dan benar, sesuai dengan kehendak agama Islam. Harapan dan Keinginan
ini tidak mudah untuk diraih begitu saja, karena di hadapan mereka ada hambatan
dan tantangan yang cukup berat.
Secara
geografis, sosial ekonomi serta budaya, tidak mendukung- karena wilayah
kepulauan Kai terletak diujung timur Kepulauan Indonesia. Pada saat itu
(abad ke 16) masih terisolasi dengan segala kemajuan dan perkembangan, tertutup
untuk semua informasi, masalah teknologi serta komunikasi. Masyarakat masih
mengandalkan hidup secara tradisional, berkebun, bertani, ke laut menangkap
ikan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Hidup
di wilayah terpencil dan tertutup untuk semua informasi dan perkembangan dari
luar, tidak membuat pupus semangat juang dan cinta mereka terhadap Allah, Rasul
serta Islam. Dengan tantangan hidup yang berat, mereka berusaha dengan semangat
yang tinggi untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan mengaji Al-Qur'an.
Perjalanan
para ulama Kai ke Haramain melalui rute yang sangat panjang dan memakan waktu
berbulan-bulan bahkan bertahun-bertahun. Dari Kai menggunakan perahu layar
melalui Sulawesi, Jawa, terus ke Singapura dan Malaysia kemudian dengan kapal
laut menuju tanah suci Mekkah. Dalam perjalanan suci ini, terdapat beberapa orang yang tidak kembali ke Kai,
karena wafat di Mekkah--Madina--Saudi Arabia, bahkan dalam perjalanan.
Beberapa
generasi sudah pulang-pergi ke Tanah Suci Mekah menjelang abad 17, disamping belajar
ngaji dan tafsir Al-Qur'an ada yang mendalami disiplin ilmu tasauf, figih
dan ilmu kalam, serta disiplin ilmu agama lainnya. Mereka bermukim selama
bertahun-tahun di Mekkah untuk belajar dan mengaji Qur'an dan mendalami Islam.
Mereka
kembali ke Kai dengan meguasai Al-Qur’an dan ilmu agama dalam bidang
masing-masing, kemudian mengajarkan ilmu kepada masyarakat muslim di sana.
Semangat kehidupan yang mereka bina pada saat itu sangat bernuansa ke-Islaman
khusus di seluruh wilayah Kepulauan Kai (Maluku Tenggara), bahkan
hampir seluruh wilayah Maluku (Seram Bagian Timur) dan Irian Barat sekarang Papua (terutama
daerah Fak-Fak, Kaimana, Raja ampat dan sekitarnya). Keimanan masyarakat Kai terhadap
Islam terjadi bersamaan dengan penyebaran Islam di wilayah lain di Indonesia, Melayu (pada pertengahan abad 15 awal abad 16).(Republika, 25 Juli 2003).
Menjelang
akhir abad 18 telah terjadi kebangkitan para ulama di Maluku. Bukan hanya
ditandai dengan berkembangnya tradisi pengetahuan Islam tetapi juga penyebaran
gerakan pembaruan Islam di wilayah Maluku dan Papua. Menurut
hikayat para ulama Kai memiliki hubungan leluhur dari, Johor, Malaysia,
dan Bugis Makassar. Mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan para ulama pensyiar
Islam dari Timur Tengah.
Versi
yang jelas serta data autentik mengenai asal-usul para ulama Kai belum ada
referensi pendukung, hanya berdasarkan penuturan lisan turun temurun. Hal ini
menuntut kajian historis serta penelusuran sejarah sehingga ada kepastian data
yang digunakan sebagai referensi dalam membahas sejarah penyebaran Islam di
wilayah Kai Maluku Tenggara.
Menurut data yang diperoleh dan sepanjang
catatan terkumpul, dinyatakan bahwa Islam pertama kali di Kepulauan Kai yaitu
di Desa Langgiar Fer pada tahun 1511 M, dibawa oleh seorang ulama keturunan Sayid
dari daerah Hadhramut (setelah pecahnya daulah Fatimiyah). Nama beliau adalah
Sayid Abdullah, datang melalui wilayah Gujarat, Johor dan masuk ke Langgiar
pada saat Portugis merebut Malaka dalam menjalankan politik penjajahan,
kemudian menyusul datuk Maulana ke Tayando Kai Kecil (lihat Silsilah
terlampir). Sebagimana penjelasan para penulis sejarah Islam berikut; “Masuknya
agama Islam melalui pedagang–pedagang dari Aceh, Malaka, dan Gresik pada Abad ke-14
dan ke-15 turut memperkenalkan bentuk pemerintahan yang lebih rapi dan teratur,
seperti pada Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan serta Jailolo.”(Dikutip dari: http://www.malukuprov.go.id/index.php/2013-02-11-03-23-23/sejarah-maluku,tanggal
29 Juli 2013). Selain bukti sejarah para leluhur yang berasal
dari Luang Maubesy (Pulau-pulau Terselatan), jauh-jauh hari atau berabad-abad
lamanya (diperkirakan masuk di Kepulauan Kai pada abad ke-10 atau ke-11), mereka sudah mendiami Kepulauan Kai dan
dugaan yang memperkuat pemahaman bahwa, dari generasi ke generasi tidak ada
riwayat yang menuturkan, dimana, kapan, dan siapa yang pertama-tama meng-islam-kan
para leluhur dari Luang Maubesy. (data konfirmasi lisan-tutur sejarah-tentang
para raja yang mempunyai Leluhur Sultan Isa, di antaranya; Raja Kesfui-Seram
Timur, Raja Kur, Raja Tual, Raja Danar,
Raja Ubtim-Matdoan, Raja Vatlar, dan Pati Ujir (Kep. Aru).
Hal ini memperkuat tesa bahwa Sultan Isa
adalah salah satu dari pensyiar dari Timur Tengah yang masuk ke Wilyah Timur
Indonesia (pulau-pulau ter-Selatan –saat ini wilayah MBD-setelah melewati
Sumatera, Jawa, dan ke Wilayah Maluku), hal ini
diperkuat dengan uraian para sejarahwan Islam Masuk ke Indonesia bahwa;
lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam
meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan
Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Aceh-lah
kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo
menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M,
telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam.
Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara
Muslim dari Maghrabi, yang ketika
singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar
mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di
Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang
salah satu di antaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti
Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman
Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli,
melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada
pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad
ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah
berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada
abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik
yang berarti, yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam
seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate.
Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran,
keturunan raja-raja pribumi pra-Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya
Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya
kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di Nusantara seperti
Majapahit, Sriwijaya dan Sunda.
Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah
sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke
Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut
kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar
menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan adanya penduduk pribumi yang masuk Islam di kepulaun Kai
dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah, hubungan dengan
kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Ulama dari Timur Tengah dan Orang Arab
yang bermigrasi ke Kepulauan Kai sebagaimana wilayah lain Nusantara juga
semakin banyak, di antaranya adalah
berasal dari Hadramaut, Yaman.(Kini masih ditemukan keturunan para pensyiar Arab menyebar di Kepulauan Kai berdarah Habaib, seperti marga Al-Attas, Al-Hamid, Al-Mohdar, Bin Tahir, As-Syatri, Az-Zawawi, dan yang bukan Habaib, seperti Alkatiri, Bin Hatim, dan lain-lain).
Dalam Tarikh
Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah
Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan
rakusnya menguasai daerah di Maluku-Nusantara, hubungan dengan
pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi.
Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin disibukkan oleh perlawanan menentang
penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum
kolonialis.
Setiap kali para penjajah – terutama Belanda –
menundukkan kerajaan Islam di Nusantara punya bias ke Kepulauan Kai yang pasti
menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan
dagang dan akses lainnya dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan
ummat Islam di Kepulauan Kai dengan ummat Islam dari
bangsa-bangsa lain, terutama dari Timur Tengah yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum
kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam dengan akarnya, juga terlihat dari
kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Pada
abad ke 16 di desa Langgiar Fer tercetus suatu peristiwa sakral bernilai religius atas
prakarsa kepemimpinan dan kesepakatan adat (Mel Yam Fak) empat leluhur atau
pemuka masyarakat Langgiar yakni, Fadir, Fako, Wadufin dan Larat Matdoan
menyepakati suatu ikrar atau deklarasi berupa stateman suci atas dasar syariat
Islam, dengan upacara sakral di Langgiar Fer dengan sebutan (Wama Sirken), Wama = tempat; Sir = rahasia; Ken = Kebenaran, artinya tempat rahasia kebenaran. Ikrar atau
deklarasi atau code of conduct (kesepakatan umum), yang menandai suatu momen awal (stater
point) secara resmi Islam selaku agama Visioner
dan pembawa rahmat untuk semua makhluk (rahmatan lil alamin), hendaknya
disebarkan ke seluruh wilayah kepulauan Kai dan sekitarnya.
Pada waktu-waktu berikutnya, para pensyiar agama Islam terus berdatangan di
Kepulauan Kai khususnya di Langgiar-Fer, ditandai dengan datangnya para ulama
seperti; 1) Puang Abdurrahman dan Puang Abdul Wahab Bilawa dari Bone pada tahun 1786;
2) Sayid Ahmad bin Muhammad Al Idrus dari Hadramut (wali makrifat) datang dan singgah di Cirebon pada tahun 1809 kemudian datang di Langgiar Fer wafat dan dimakamkan di Desa Ngafan (Pulau Nasular), 3) Datuk
Abdurrabbi dari Johor Malaysia--Minangkabau pada tahun 1611, nikah di Langgiar
Fer dan beranak pinak, setelah itu kembali ke Malaysia, 4) Sayid
Abdurrahman Assyatri pada tahun 1813, mukim di Langgiar dan punya anak
cucu sampai saat ini, makam di Langgiar 4) Sayid Muhammad Zawawi, pada
abad 18, nikah dan punya anak cucu, wafat dan makam di Desa Ler Ohoilim
5) H. Sirajuddin bin H. Djamaluddin Karaeng Magangka dari Gowa, Sulawesi
Selatan pada paruh kedua abad 18,menikah punya anak cucu; wafat dan makam di
Makassar.
Generasi
pertama yang pergi ke tanah Haramain adalah Haji Muhammad Arif
Fakaubun pada tahun 1816, ini adalah misi pertama untuk mempelajari dan
menghafal Al Qur'an di Mekkah (lihat Tabel pada Lampiran 1).
Terjalin
keakraban lahir batin dan silaturrahmi antara guru dan murid (di Mekkah dan
Langgiar) sehingga saling kunjung mengunjung. Mereka tetap menjalin komunikasi
dan silaturrahmi dengan Tuan-Tuan Guru (Syeikh) mereka di Mekkah. Hingga pada
suatu saat datang berkunjung ke desa Langgiar dua ulama
besar dari Mekkah pada tahun 1865, yaitu Al Mukarrom Hadratus Syekh Al Haji
Hamzah Sombul (penguasa Masjidil Haram Mekkah dan Al Mukarrom Hadratus Syeik Al
Haji Habib Muhammad bin Abdul Mu'ti Al-Mirdadi (Hatib dan Imam Besar Masjidil
Haram Mekkah).
Dengan
rasa haru bertambah suka cita yang dalam menyambut kedua tamu yang mulia ada keinginan
lagi untuk terus menyambung tali silaturrahmi dan komunikasi yang selama ini
sudah terjalin baik, hingga suatu saat dalam satu pertemuan dengan para tamu
guru besar mereka timbul pertanyan menarik. Bagaimana kami dapat mengaji
Al-Qur'an seperti orang-orang Mekkah?
Sehingga
pada usia sembilan tahun Abdul Karim Rahannyaan kecil dari desa Ngafan Kai
Besar berangkat ke Mekkah untuk belajar mengaji Al-Qur'an pada tahun 1830
selama kurang lebih 35 tahun beliau bermukim dan belajar nagji Al-Qura'an
sampai mencapai usia 44 tahun di Mekkah baru beliau kembali ke Kai.
Turan
Ngur Leb Lor (julukan masyarakat muslim Kai kepada tuan guru Haji Abdul
Karim Rahannyaan). Beliau kembali ke kampung halaman (Langgiar Fer) pada
tahun 1874 dan mengajarkan serta menghafal Al-Qur'an atau yang lazim di sebut
Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul Karim selama kurang lebih 10 tahun.
Beliau
adalah generasi ketiga yang meletakkan sejarah bagi generasi-generasi
berikutnya mengenai Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul Karim di Kepulaun Kai.
Setelah termotifasi dengan semangat beliau yang berhasil mengaji dan menghafal
Al Qur'an sebagaimana masyarakat Mekkah sehingga orang kampung ingin seperti
beliau. Keinginan mereka agar dapat mengikuti jejak beliau untuk mengaji dan
menghafal Al-Qur'an di tempat asal turunnya Al Qur'anul Karim yaitu Kota Mekkah
tempat lahirnya Nabi Muhammad Saw, dan Alhamdulillah niat suci itu terwujud di
tempat yang diberkahi Mekkah) di antaranya Tuan Guru Al-Mukarrom Haji Muhammad
Said Rahannyamtel, Al-Haji Abbas Rahannyaan, Al-Haji Muhammad Yahya Matdoan,
dengan bermodalkan niat suci walaupun penuh derita, sebelum perang dunia
pertama (pada tahun 1901) ke Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji--rukun
Islam kelima.
Sebelum
itu Al-Haji Muhammad Syekh Fakaubun beliau mendalami ilmu hukum Islam,
dan Al-Haji Baharuddin Matdoan tahun 1775, mukim di Mekkah selama puluhan
tahun (kurang lebih 16 tahun) mendalami ilmu tasauf, yang kemudian menyusul
pula Al-Haji Muhammad Zein Matdoan pakar tasauf, mengikuti jejak beliau
sekitar akhir abad 17-18, mukim di Mekkah 5 tahun.
Selama
kurang lebih 15 tahun menekuni Al-Qur'an maka pada tahun 1916 mereka kembali ke
kampung halaman (Langgiar Fer) Insya Allah dengan menyandang haji mabrur
artinya haji dan amalan mereka mendapat ridho Allah. Setiba mereka di
kampung halaman dengan semangat pengamalan Al-Qur'an sehingga mereka
mendapat gelar dari masyarakat Islam Kai saat itu dengan gelar Yaman Teen dan Leeb Lor karena menjadi
imam besar di masjid-masjid serta Turan ngur atau guru ngaji, mereka ini
termasuk kelompok generasi ke lima (pada tahun 1905--1920). Pada masa atau periode
ini hubungan baik para leluhur dengan ulama di Mekkah-Madina terjalin erat dan
sangat baik, karena masih ada kunjung-mengunjung antara guru dan murid. Bukti
kedatangan Tuan Sayid Al-Habib Abdul Hamid bin Muhammad bin Abdul Muthi Al Mirdadi
ke Langgiar Fer (Kai) tahun 1902, (lihat Foto dokumentasi pada Lampiran).
Pada
era generasi ini pembinaan Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul
Karim semakin berkembang baik karena selain desa
Langgiar Fer, Sungai--Ngafan bertambah lagi desa baru yaitu Larat. Para siswa
bertambah banyak dan dapat dilokalisir berdasarkan wilayah pemukiman. Para
ulama inilah yang mendorong didirikan lembaga-lembaga pendidikan tradisonal
seperti yang dikenal di wilayah lain di Indonesia/Melayu sebagai
pondok pesantren. Dengan sarana tempat belajar seadanya para guru/turan ngur leb dengan kesederhanaan
mereka, tabah dan tekun mengajar ngaji mulai dari mengenal huruf hingga
lancar membaca Al-Qur'an, kemudian mengajarkan tentang makhraj dan tajwid
sampai khatam dan hafal, semuanya dilakukan dengan rasa ikhlas karena
Allah Ta'ala.
Termotivasi
dengan sikap mereka maka masyarakat Kai pencinta Al-Qur'an tertarik untuk
belajar pada Turan ngur/Leb lor di Kai
dan tidak harus datang ke Mekkah untuk belajar ngaji dan menghafal Al-Qur'an di
sana. Bila kemampuan membaca dan menghafal Al-Qur'an sudah baik, kemudian
berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji rukun Islam yang kelima,
Pada
awal kemerdekaan datang pula para ulama/ustaz dari Ambon ke Langgiar Fer,
Sungai--Nagafan, di antaranya adalah Al Mukarrom H. Sayid Abubakar
Alidrus, ahli bahasa Arab, nahu syaraf, dan tasauf (terakhir sebagai Kakanwil
Departemen Agama Propinsi Maluku di Ambon tahun 1970an), dan Almukarrom
KH. Djafar Awad Alkatiri (ahli bahasa Arab, tafsir, terakhir sebagai Penasehat
DPW NU Wilayah Maluku dan DPP, anggota DPRD Propinsi Maluku tahun 1980an)
mereka mukim di Kai sejak tahun lima puluhan sampai dengan akhir tahun enam
puluhan. Setelah itu mereka pulang--pergi Ambon dan Kai. Para ulama ini sudah
mengembangkan pembelajaran secara klasikal, dan pendidikan madrasah
yang diberikan diberi nama musthonmallimin (mencetak kader-kader ulama yang sudah
moderat).
Perkembangan
pencerahan Islam semakin semarak hampir di seluruh Maluku. Kader-kader yang
dihasilkan pada masa ualama-ulama ini antara lain ; 1) Al-ustaz H. Muhammad
Muzni Matdoan, beliau imam masjid Kiom Tual, guru ngaji, sampai akhir hayat
sebagai penasehat senior DPD PPP Kabupaten Maluku Tenggara. 2) Al-ustaz
H. Usman Rahannyaan, guru ngaji, imam masjid dan guru madrasah, 3) Ustaz H.
Muhammad Asnawi Seknun, guru ngaji, imam masjid Kehutanan Tual dan Fer. 4). H.
Munawir Matdoan, guru ngaji, guru tasauf, 5) Ustaz H. Abdul Wahid
Rahawarin S.H. guru tasauf, terakhir sebagai Ketua DPRD Kota Madya Ambon
periode 1989--1997), 6) Al-ustaz Ahmad Difinubun, guru tasauf, Kepala Desa
Hoat/Sungai. 7).H. Abubakar Matdoan, guru ngaji, guru tasauf, 8) Abidin
Difinubun, guru ngaji dll. 9). Sayid Abubakar Al-Atthas wafat tahun 1998 di
Hitu.
Bersamaan
dengan itu muncul pula para pejuang Islam lebih moderat seperti; 1) H. Sayid
Ramli Zawawi, pensiunan pegawai Departemen Penerangan RI, tokoh
Masyumi tahun 1950an, terakhir anggota DPRD Propinsi Maluku dari
fraksi PPP, wafat, tahun 2001 di Ambon, 2) H. Abdul Mu'thi Fakaubun, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten
Maluku Tenggara, tokoh Masyumi tahun 1950an dan wafat tahun 2009 di Tual 3). H.
Ahmad Fakaubun, pensiunan pegawai Departeman
Agama Propinsi Maluku, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten Maluku
Tenggara, 4) Usman Matdoan, pensiunan pegawai Departemen Penerangan Propinsi
Maluku, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten
Maluku Tenggara, salah satu tokoh kunci dalam pembebasan wilayah Maluku
Tenggara dari cengkerman kolonial Belanda dan para musuh NKRI pada awal
kemerdekaan RI.
Perjuangan syiar mereka sudah disalurkan melalui birokrasi dan pemerintahan, bentuk dakwah mereka adalah bil- hal.
Perjuangan syiar mereka sudah disalurkan melalui birokrasi dan pemerintahan, bentuk dakwah mereka adalah bil- hal.
Sampai
saat ini kader-kader ulama Kai belum dapat di data semua secara lengkap, karena
anak cucu leluhur Kai banyak bertebaran di seluruh wilayah Indonesia. Dapat
disebutkan sebagai contoh beberapa cendekiawan muda muslim, anak cucu dan
penerus cita-cita luhur para Ulama leluhur Langgiar Fer, Kai Maluku Tenggara,
seperti; 1) Ir. H. Sayid Sayuti Asyatri, pakar tasauf, pemikir dan perencana
pembangunan, mantan wakil sekertaris Presiden periode Presiden Abdurrahman
Wahid, mantan penasehat senior DPP PAN dan Anggota DPR RI, Wakil Ketua Fraksi
bidang Otonomi Daerah periode 2004—2008. Sekarang Presiden/Ketua Umum Partai
Demokrasi Kebangsaan.
Ustaz
Sayuti Rahawarin mantan anggota DPR RI, aktifis da'wah, mantan Sekjen Partai
Islam Indonesia Masyumi, 3) Ustaz Ahmad Barji Matdoan. guru ngaji, aktifis da
wah, mantan/pendiri Pemuda Pelaksana Da’wah Islamiah Maluku Tahun 1970an-
sampai sekarang, 4) Drs. H. Hanafi Renhoran, M.M., pensiunan pegawai Departemen
Agama Pusat, aktivis da'wah 5) Drs. H. Abbas Rahannyamtel, rnantan Kakandep
Agama Kabupaten Maluku Tenggara, Kabid Urusan Haji Depag Propinsi Maluku. 6)
Drs. H. Muhammaddin Rahannyamtel, Pensiunan Kepala Sekolah MAN di
Jakarta, aktifis da'wah, 7) Drs. H. Hasan Rahakbau, aktifis da'wah,
pensiunan guru MAN di Jakarta, 8) Ustaz H. Muhammad Qosim Matdoan, hafiz, guru
ngaji dan guru agama di Jakarta, aktifis da'wah, 9) Ustaz Dr. Muhammad Rahanyamtel,
S.Ag, M.Pdi. hafiz, dosen IAIN Ambon, guru ngaji, da’i, 10) Ust. H. Drs. Djamaluddin Bugis, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Maluku Tenggara, 11) Ust. H. Drs. Muhammad Zein Matdoan, Kepala kantor Koperasi dan UKM Kota Tual, 12) Ust. H. Drs. Arifin Difinubun Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Tual 13) Ust H. Abdul Manan Fakaubun, B.A. dai dan guru ngaji di Kota Sorong Papua Barat dan masih banyak yang
perlu diadakan pendataan dan penelitian agar dapat diungkapkan dalam bentuk tulisan
dan referensi untuk kepentingan da'wah dan pemerhati sejarah pergerakan Islam
di Nusantara.
Selengkapnya
perkembangan syiar Islam dan Qurra wal Huffaz Al-Qur anul Karim di Kepulauan Kai
dari generasi ke genarasi dapat dilihat pada Tabel (Lampiran 1).
Generasi
kesepuluh mengalami pasang surut sangat drastis dan kemunduran yang
pesat, ini disebabkan karena kendala yang dihadapi dari generasi ke
generasi, seperti kurangnya perhatian pemerintah, keterbatasan fasilitas
pembelajaran, rendahnya kesejahteran tuan-tuan guru, juga karena terjadi
konflik sara (tahun 1999), sehingga membawa korban jiwa, harta benda, dan
kerugian moral dan material sangat banyak..
Saat
ini kondisi Qurra-Walhuffaz masih berjalan secara konvensional, belum
ditata dengan manajemen yang baik, sehingga diharapkan perhatian semua kalangan
ummat Islam untuk membangun dan membangkitkan kembali semangat ummat dalam
mempelajari dan menghayati serta mengamalkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup
dunia wal-akhirah.
D. SEKILAS PERAN ULAMA KEI DAN PERGERAKAN ISLAM AWAL
KEMERDEKAAN DI KEPULAUAN KAI MALUKU TENGGARA
Pada saat terjadi kekosongan kekuasaan pemerintahan
di Indonesia pada akhir perang dunia II, oleh Bangsa Indonesia dianggap sebagai
suatu rakhmat yang harus disyukuri dan dimanfaatkan. Proklamasi 17 Agustus 1945
yang didengungkan oleh proklamator Soekarno--Hatta ternyata telah mampu
berkumandang serta membahana sampai ke seluruh penjuru dunia, terutama
negara-negara Sekutu.
Dengan demikian Sekutu segera mendaratkan pasukannya di seluruh wilayah Tanah
Air. Setiap pendaratan sekutu, berboncengan pula dengan Tentara NICA, dan
mengakibatkan pertempuran terjadi dihampir seluruh Nusantara. Keadaan
seperti itu pula yang terjadi pada wilayah Timur
Indonesia, tepatnya di daerah Kepulauan Kai Maluku Tenggara.
Pertengahan September 1945 pendaratan dilakukan oleh tentara
Australia (Sekutu) berboncengan dengan KNIL, penangkapan dilakukan
terhadap sisa-sisa anggota "Merah Putih" di Dobo,
yang kemudian dibawa ke Ambon. Menyusul pula
penangkapan-penangkapan berikutnya, sesuai tuduhan yang diperoleh dari kaki
tangan mereka. (Zawawi Ramli: 1988).
Para ulama Islam leluhur Kai pejuang merah putih beberapa
mendapat tekanan politik dari lawannya, mereka diintimidasi dan ditekan, bahkan
ditahan dan dihukum dan dipenjarakan, dapat disebutkan di sini seperti, Ust. H. Mahmud Fakaubun,
H. Sayid Ramli Zawawi, Sayid Hasan Zawawi, Sayid Ali Almohdar pada tahun 1946
(Zawawi Ramli, 1988).
Peristiwa-peristiwa silih berganti mereka alami dalam
memperjuangkan dan mempertahankan merah putih di bumi Kepuluan Kai-Maluku
Tenggara. Zawawi, menjelaskan bahwa tokoh-tokoh agama Islam pejuang
kemerdekaan di daerah ini yang antara lain adalah Sayid Abdurahman
Asyathry, Idris Renwarin, Sayid A. Alhamid, dan masih banyak lagi. Semangat
Merah Putih makin terpatri dengan kokohnya, terutama dalam dada generasi muda
tinggal menunggu saatnya untuk mengakhiri kezaliman Belanda
beserta antek-anteknya di daerah ini.
Menyadari bahwa kekuatan Umat Islam perlu disatukan dalam sebuah
wadah untuk menghindari perjuangan yang terpisah-pisah dan
tidak bertanggung jawab, maka oleh seorang pejuang Kei Haji Gani Renuat Cs, dibentuklah suatu
Organisasi lslam yang diberi nama Persatuan Islam Umum (PIU), muliputi
seluruh Kepulauan Kai.
Tercatat bahwa inilah organisasi pertama yang berdiri secara resmi
di daerah Maluku Tenggara dan peristiwa tersebut terjadi pada bulan Desember
1946. Selanjutnya Zawawi menjelaskan, pada tanggal 20
Januari 1947, dibentuklah sebuah organisasi perjuangan
di Desa Langgiar Fer yang diprakarsai oleh Ust. Achmad Difinubun, Kepala
Desa Sungai beserta beberapa orang warga desa sekitar, antara
lain Ust. Ahmad Fakaubun, Ust. Usman Matdoan, Ust.
Muhammad Bin Hatim, Ust. Munawir Matdoan, dan Ust. H. Sayid Ramli Zawawi.
Wilayah kerja organisasi ini terbatas pada daerah Yut Selatan (Kai
Besar) sesuai dengan namanya yaitu Persatuan Islam Yut Selatan
(PlYS). Dengan terbentuknya organisasi Islam
Yut Selatan (PIYS), yang merupakan cambuk bagi pemimpin organisasi PIU,
sehingga dalam waktu
yang tidak terlalu
lama, mereka
mendatangkan guru-guru dari Ambon, antara lain: Ust. Habib Abubakar Alaydrus,.
Ust. A.K. Liem, Ust. Akhmad Liem, Ust. A. Lestaluhu, H. Amin Elly, dan
Ust. Ismail Tangke, yang kesemuanya adalah guru Agama Madrasah.
Sementara itu, diawal tahun 1947, Organisasi PlYS sendiri
mendatangkan seorang guru yaitu KH. Jafar Awad Alkatiri dari Ambon. Guru-guru
madrasah yang di datangkan itu sebagian besar
adalah bekas anggota PIM atau Partai Indonesia Merdeka, maka pendidikan
yang mereka ajarkan berimbang antara pendidikan Agama dan
Politik.
Dengan demikian, sebagian besar rakyat di daerah ini mulai
mengetahui tentang seluk-beluk politik, terutama para pemudanya. Dan dengan
semangat juang nasional yang telah diletakkan dasarnya oleh Mr. Slamet Cs,
berikut didukung dengan pendidikan politik praktis yang mendalam tentang
cita-cita Nasional Bangsa Indonesia dimasa depan, maka kesemuanya itu merupakan
modal utama yang sangat berguna bagi masyarakat di Kepulauan Kai
terutama pemudanya.
Pada saat itu pengaruh organisasi Islam PIYS sampai ke
wilayah Irian Barat (sekarang Papua). Sesuai penjelasan H. Sayid Ramli Zawawi, dalam suatu
pertemuan di rumah Ust. Achmad Difinubun pada tanggal 20 Juli 1948, usai acara
Maulid Nabi Muhammad SAW, bahwa Al-Ust. Habib A. Alaydrus dan H. Amin Elly
(mantan anggota MPR RI), mendesak dan menganjurkan kepada beliau agar
berusaha memberikan pengertian kepada masyarakat Irian Barat terutama menjelang
KMB tentang status Irian Barat dewasa ini, sehingga disamping sebagai
Kepala Pemerintahan Negeri, beliau juga adalah Ketua PlYS.
Disarankan agar upaya dilakukan melalui jalur pendidikan, jika
tidak, maka dengan cara berdagang sebab yang penting, Irian Barat bisa
dijangkau, menjelang KMB tentang status Irian Barat, sehingga
mereka dapat menyuarakan aspirasinya.
Sebagai langkah awal PIYS mengirim dua tenaga guru ke Kaimana untuk
selanjutnya mendirikan Madrasah. Berikut upaya
Ust. Achmad Difinubun melalui usaha dagang kayu balok. Pada
awal September 1948, H. Sayid Ramli Zawawi memimpin 150 orang tenaga
kerja berangkat ke Fak-Fak (Irian Barat) dan pada bulan Oktober menyusul
gelombang kedua dengan tenaga kerja sebanyak 100 orang. Kemudian pada bulan
Desember dalam tahun yang sama sejumlah 150 tenaga kerja tiba di Fak-Fak
sebagai rombongan terkahir, sehingga pada waktu itu anggota PIYS yang berupa
tenaga kerja yang berada di Fak-Fak dan sekitarnya berjumlah 400 orang.
Menurut Zawawi, (1988). Sehari-harinya mereka berusaha membina
hubungan dengan masyarakat sekitarnya secara kekeluargaan sehingga ada saling
pengertian dan terjalin hubungan yang baik dengan Raja
Fatabar Achmad Uswanus dan Ibrahim Bauw Raja Rumbati di Kokas,
sehingga banyak manfaat yang di lakukan dengan warga di sana untuk pembebasan
Irian Barat.
Selain itu sehubungan dengan undangan dari
penyelenggara Kongres Muslimin Indonesia (KMI) yang pertama berlangsung di
Yogyakarta, dimana organisasi Islam seluruh Indonesia diikut sertakan termasuk
PIU dan PIYS dari Kai Maluku Tenggara. PIU diwakili oleh enam orang masing-masing:
Hasyim Rentua, M.K. Renwarin, Sam Hanubun, Patu Dipur, dan dua orang lain
lagi. Sedangkan dari PIYS hanya diwakili oleh KH. Jafar Awad Alkatiri
awal Desember 1949 ke Yogyakarta malalui Ambon. Kemudian diminta untuk
mengirimkan telegram agar PlYS dilebur atau fusi kedalam Masyumi.
Usul tersebut dapat diterima oleh Kongres, sehingga mengirim dua
telegram ucapan selamat dari Raja Fatagar dan Raja Rumbati kepada Kongres
tersebut, yang isinya berupa harapan, agar nasib Umat Islam di Irian Barat mendapat
perhatian Kongres. Ketika telegram itu dibaca, ternyata mendapat tanggapan
positif dari Kongres, bahkan dalam pidato pembukaan, hal itu disinggung oleh
Bung Karno Presiden Republik Indonesia pertama, dengan mengatakan babwa Belanda seharusnya buka mata, Sidang
Kongres Muslimin Indonesia ini dihadiri juga oleh utusan dari Irian
Barat, suatu bukti babwa rakyat Irian Barat adalah juga rakyat Indonesia yang
tak bisa dipisahkan.dengan sesamanya.