9 Apr 2016

Sejarah Islam Kai Revisi


  PENDAHULUAN

Menelusuri sejarah Islam kapan masuknya di Kepulauan Kai, siapa saja para Ulama yang mula-mula membawa syiar (menyebarkan) agama Islam,   dan di mana awal mula tempat para Ulama singgah serta  bagaimana pertama kali perkembangan Islam? Sampai pada saat ini masih merupakan pertanyaan semua orang pemerhati sejarah Islam dan sudah tentu ini membutuhkan jawaban pasti. Kita membutuhkan informasi dan sumber data  pendukung yang valid serta obyektif, akurat, memiliki bukti-bukti sejarah yang kuat serta ajeg,  tidak parsial, diperoleh melalui prosedur kerja ilmiah yang dituntut dalam suatu penelitian yang sifatnya akademis. Sehingga akan diperoleh hasil penelitian sejarah Islam yang baik dan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena hasil penelitian yang baik adalah petunjuk utama penyelesaian masalah  sejarah Islam di Kepulauan Kai (Iskandar:2008).

Sumber iformasi yang dibutuhkan berupa  hasil penelitian sejarah Islam di Kepulauan Kai  sebagai sumber rujukan  dan sumber belajar ummat Islam. Karena dengan mempelajari dan mengetahui sejarah dan perjuangan Islam masa lalu kita dapat menata kehidupan kini dan masa datang berlandaskan nilai-nilai historis (historical value) yang tertuang dalam  suatu tulisan sejarah Islam.
Munculnya suatu tulisan sejarah Islam di Kai merupakan secercah harapan untuk turut mengisi bingkai lukisan dunia Islam yang maha luas dan abadi, karena tulisan yang nanti  Insya Allah terwujud merupakan secuil pengetahuan berharga di antara buku-buku sirah, tarikh, ghazwah, hingga thabaqot yang hampir tak terhitung jumlahnya. Meskipun oleh sebagian kalangan atau orang lain dari tahun ke tahun sekian banyak tulisan-tulisan tentang sejarah Islam sudah banyak bertebaran di mana-mana. Sehingga kesempatan seperti ini, apapun dan bagaimanapun bentuk, macam, atau rona/warna tulisan yang akan dihasilkan, bahkan siapapun peneliti, penulis atau nara sumbernya dan dari mana asalnya serta bagaimanapun latar belakangnya, harus membuktikan bahwa para leluhur/tetua, ataupun Ulama-ulama Islam Kai terdahulu telah menabur permata-permata bernilai suci-cemerlang (dymond velue) yang tidak terhingga yang tak pernah lekang, tidak akan pupus, pribadi-pribadi beliau tak pernah kering dan aus,  menjadi buah bibir dan sorotan pena serta mata hati orang-orang bijak dari dahulu, kini hingga entah kapan, sampai hari kiamat, dan arwah mereka semoga mendapat kemuliaan dan ridho Allah SWT. Wallahu a’lam Bishowab.(Al-Mubarakfury, S.S.:2007).
Keberadaan Agama  Islam di Kepulauan Kai bersamaan dengan kedatangan para leluhur  orang Kai di wilayah ini. Sebagaimana lazimnya di setiap tempat atau daerah di Indonesia bahkan di dunia, di mana para pendatang baru/musafir penjelajah, pensyiar Islam yang tiba mereka selalu membawa perubahan atau transformasi atau pencerahan apakah berupa budaya atau agama dan ideologi. Dari bukti dan jejak langkah sejarah para ulama tetua Kai, membuktikan bahwa mereka adalah pensyiar agama Islam. 
Ada berbagai versi sumber sejarah yang diperbincangkan selama ini dan berkembang dalam masyarakat muslim Kai, wacana dan informasi yang ditemui dalam diskusi, dialog, atau perbincangan pada pertemuan-pertemuan tidak resmi dan terbatas, semua itu merupakan wahana kekayaan  lokal  sangat bernilai   sebagai modal dasar untuk  membantu peneliti, penulis dan  pemerhati sejarah Islam Kai dalam mewujudkan cita-cita luhur terciptanya suatu penulisan sejarah Islam yang bermutu tinggi.
Masuknya Agama Islam di Kepulauan   Kai sangat  erat kaitannya dengan datangnya  gelombang dan irama perpindahan penduduk  ke daerah  tersebut. Pada awalnya perpindahan penduduk dari Luang Mabes, Tidore, Ternate, Seram dan Banda Naira,  mereka  semua telah memeluk agama Islam, namun karena kurang adanya pembinaan keagamaan, serta terkuras oleh waktu dan kondisi sehingga beberapa tempat kehilangan syariat Islam  bahkan musnah, dan kembali menyatu dengan keadaan lingkungan yang ateis/anemis namun ada yang tetap mengembangkan syiar Islam.
Untuk menulis sejarah Islam di Kai seperti halnya penelitian sosial lain, maka mengikuti prosedur  penelitian kualitatif induktif, sehingga dalam kegiatan ini akan mencoba mengembangkan teori model induksi (Blank Theory and Data Focus), dengan desain kualitatif–verikatif, yaitu data sejarah sebelumnya cukup membantu peneliti untuk memahami data yang akan diteliti. Teori yang ada membantu peneliti membuka misteri data sebenarnya yang tidak diketahui peneliti, namun focus peneliti hanya tertuju pada data sejarah yang ada karena pemahaman terhadap data adalah kunci jawaban terhadap masalah penelitian. Lihat Gambar skema pada Lampiran (Burhan Bungin:2010:25).
Metode dan teknik yang digunakan dalam kegiatan penulisan sejarah Islam Kai ini adalah, Focus Group Discussion (FGD) yaitu teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang penulis/peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti. Disamping Metode FGD, digunakan pula langkah-langkah  analisis structural Levi-Strauss dalam membantu menganalisis data sejarah yang ada. Teknis penerapan lihat pada Lampiran (Burhan Bungin:2010:223).
B.    PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI KEPULAUN KAI
1.           BANDA ELI DAN BANDA ELAT
Masyarakat Banda Eli dan Banda Elat  adalah  penduduk Kai yang berasal dari Banda Naira, mereka meninggalkan Banda Naira karena pertikaian antara masyarakat Banda  Naira  dengan VOC di bawah pimpinan Yan Piterszoon Coen pada taun 1621. Saat inipun masyarakat tersebut masih tetap mempertahankan Agama Islam, Budaya ( Adat Istiadat ) dan Bahasa Banda Naira. Mereka ini yang memperkuat dan menjadi penerus adat dan budaya Banda Naira (Des Alwi: 2004:11).
2.           PULAU KUR
Pulau Kur dengan 11 Desanya mulai dari   masuknya penduduk yang beragama Islam sampai sekarang masih tetap mempertahan kan                              Agama Islam, adat istiadat dan bahasa. Raja  pertama Kur adalah seorang keturunan Arab  yang bernama   Muhammad dan nama   Kerajaannya adalah Makara.
3.           KEPULAUAN TAYANDO (DESA OHOITOM)
Masuknya Agama Islam di Tayando untuk  pertama kali dibawa oleh Marungun Banyal  pada tahun 1550 dari Langgiar Fer setelah itu di  susul oleh tiga orang      mubaligh yaitu     Tawakaluddin, Tafakadin dan Safakadin dari Banda Naira melalui Kur ke Desa Langgiar Fer baru kemudian kembali ke Tayando. (Mahmud, M. 2001).
4.           DESA DULLAH
Agama Islam untuk pertama kali di bawa oleh Sultan  Tahiruddin     dari    Kesultanan Jailolo Maluku Utara pada tahun 1591 ke Desa Dullah.   Namun putusnya hubungan da'wah   telah menimbulkan hilangnya syariat Islam  di sana dan akhirnya mereka kembali menyatu   dengan kepercayaan leluhurnya. Pada masa pemerintahan Raja Daung  Val beliau mengadakan hubungan dengan Kerajaan  Langgiar Fer lalu beliau menyatakan masuk Islam dan kemudian kembali ke Desa Dullah untuk dimandikan bersama  masyarakatnya secara Islam. (Mahmud, M. 2001).
5.   DESA LANGGIAR FER
a)     Permulaan Masuknya Islam
Menurut Matdoan M. (2001), sampai saat ini sejarah masuknya agama Islam  di Desa Langgiar Fer masih tetap merupakan penuturan lisan yang dituturkan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikut  tanpa didukung dengan data autentik. Untuk memastikan kebenaran sejarah, perlu   diadakan penelitian serta mempelajari literatur dan peninggalan sejarah untuk mendapatkan hasil sejarah Islam yang bermanfaat dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Sesuai sumber data berupa informasi lisan yang ada selama ini, maka jalur masuknya agama Islam di desa Langgiar  Fer melalui Aceh, Banda, Kur dan Tayando,  namun Kur dan Tayando hanya merupakan tempat persinggahan saja. Ulama pensyiar yang membawa agama Islam masuk ke Kei adalah Datuk Abdullah bin Abdul Muthholib bin Abu  Bakar bin Hasyim dari Magribi (Maroko).
Menurut Ahmad Fakaubun  (penutur sejarah Islam Kei), bahwa ayah Datuk Abdullah bernama Abdul  Mutholib lahir di Banda Naira dan neneknya tawanan Portugis  dalam peperangan dengan Sultan Johar pada tahun 1511 yang pada waktu itu di buang ke  Banda Naira.  Cucu Datuk Abdullah bernama Sarkol kawin dengan  anak perempuan dari Raja Sawe di Kilmas  Kur, dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang putera yang bernama Farne Vul, setelah  dewasa ia pindah ke Desa Dullah lalu kawin dan    memperoleh dua orang putera yaitu Arba Huren pindah ke Desa Larat kemudian kawin dengan  Sikremin dan Mel Ren pindah ke Desa Taar. Dapatlah dipastikan bahwa yang datang ke desa Langgiar  Fer adalah keturunan Datuk Abbdullah yang  bernama Arba Huren dan diperkirakan tiba di Tenan Savav pada tahun 1661.
Hubungan antara Kepulauan Kai dengan Pulau-pulau Banda Naira sudah berlangsung sebelum  datangnya VOC di Banda Naira. Terjadinya  pertikaian antara VOC dengan rakyat Banda Naira pada tahun 1602 menyebabkan sebahagian dari  pemuka-pemuka      Agama      berangkat  meninggalkan Banda Naira menuju Kepulauan  Kai, untuk pertama kalinya mereka tiba di Desa Ngilngof.
Beberapa  waktu    kemudian  keluarga Seknun, Rumkel dan Rumaf dibawah  pimpinan Datuk Abdullah Seknun pada tahun  1605 yang merupakan turunan Datuk Maulana  pindah menetap di Desa Fer bersama anaknya yang tertua bernama Muhammad Ali Fatha yang kemudian diangkat menjadi Imam pertama di  Desa Fer, Beliau meninggal pada tahun 1617  M/1026 H, makam di Fer-Langgiar.
Keluarga Rumaf menjadi Imam di Desa Mastur-Kei Kecil  dan keluarga Rumkel beserta sebagian keluarga  Rumaf berangkat ke Tayando, setelah mereka tiba di Tayando diangkat menjadi Imam. Keluarga Rumkel diangkat menjadi Imam di  Desa  Meo Langgiar, pengangkatan Imam  tersebut. ditandai dengan satu kati emas sehingga  marga  Rumkel berubah nama menjadi  Katmas.(Mahmud.M. 2003).
Tamaslu Seknun anak dari Datuk Abdullah diangkat menjadi   Imam di Ohuikurun (Desa Langgiar Fer sekarang) dan dari sinilah Agama Islam mulai berkembang dan melembaga di Desa Langgiar Fer yang kemudian berkembang menjadi pusat  pengembangan Agama Islam di kepulauan Kai  pada akhir abad ke 18 (1704 M/1124 H) dimasa pemerintahan Bal  Tub Vuar (Muhammmad Baluddin Matdoan). Beliau mengajarkan ilmu akidah dan ilmu tasawuf kepada masyarakat sehingga beliau terkenal sangat alim.
Riwayat lain mengisahkan bahwa, agama Islam di Desa Langgiar-Fer untuk pertama kali dibawa oleh Muhammad Muqis (Ubtim Matdoan) pada abad 11 atau 12 Masehi,  anak dari  Sultan Muhammad Isa dari Kota Basra yang dikenal di daerah kepulauan Luang Maubessy beliau diperkirakan tiba di sana pada tahun 1136 (wilayah ter Selatan Maluku, sekarang menjadi Kabupaten Maluku Barat Daya) dengan sebutan Raja Melayu karena beliau datang ke Pulau Luang  melalui Kerajaan Melayu, dan agama Islam berkembang pesat di Kepulauan Kai pada generasi ketujuh yaitu saat berkuasa Larat Matdoan (1536). Untuk ini dapat ditelusuri riwayat sejarah beberapa Kerajaan Islam di Kepulauan Kai, Aru, Irian dan Pulau Ambon (Leihitu—Seit, Negeri Lima dll.).
6. DESA MATWEAR
Menurut sejarah yang diakui masyarakat bahwa Raja Kerajaan Matwear yang pertama bernama  Hasan Maqbir Bidian berasal dari Kesultanan Adonara dan   pusat kerajaannya adalah   Desa Matwear sekarang.  Raja Hasan Maqbir tidak mempunyai anak laki- laki untuk menggantikan tahta kerajaan sehingga     tahta kerajaan dijabat kembali oleh Un El Renfan. Dilihat dari silsilah perkawinan Raja  Hasan Maqbir dengan Dit Nangan anak dari  Tebtut Ohoi Vuur diperkirakan beliau datang ke   desa Matwear pada akhir abad ke 17 Masehi.
 Kehidupan beragama masyarakat sepeninggal Raja Hasan Maqbir adalah bahwa sebagian  rakyat Matwear masih menganut Agama Islam, sebagian lagi beralih memeluk Agama Kristen Protestan (Mahmud, M. 2001)
C. SELAYANG PANDANG SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DAN PERKEMBANGAN QURRA WAL HUFFAZ AL-QUR'ANUL KARIM DI LANGGIAR-FER
Para orang tua, leluhur masayarakat Kai  khusus di Desa Langgiar Fer, Ngafan, Sungai-Hoat  mengharapkan   anak   cucu mereka kiranya menjadi generasi yang dapat mengenal  membaca dan memahami Al-Qur'an secara baik dan benar, sesuai dengan kehendak agama Islam. Harapan dan Keinginan ini tidak mudah untuk diraih begitu saja, karena di hadapan mereka ada hambatan dan tantangan yang cukup berat.
Secara geografis, sosial ekonomi serta budaya, tidak mendukung- karena wilayah kepulauan Kai terletak diujung timur  Kepulauan Indonesia. Pada saat itu (abad ke 16) masih terisolasi dengan segala kemajuan dan perkembangan, tertutup untuk semua informasi, masalah teknologi serta komunikasi. Masyarakat masih mengandalkan hidup secara tradisional, berkebun, bertani, ke laut menangkap ikan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Hidup di wilayah terpencil dan tertutup untuk semua informasi dan perkembangan dari luar, tidak membuat pupus semangat juang dan cinta mereka terhadap Allah, Rasul serta Islam. Dengan tantangan hidup yang berat, mereka berusaha dengan semangat yang tinggi untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan mengaji Al-Qur'an.
Perjalanan para ulama Kai ke Haramain melalui rute yang sangat panjang dan memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-bertahun. Dari Kai menggunakan perahu layar melalui Sulawesi, Jawa, terus ke Singapura dan Malaysia kemudian dengan kapal laut menuju tanah suci Mekkah. Dalam perjalanan suci ini, terdapat beberapa orang yang tidak kembali ke Kai, karena wafat di Mekkah--Madina--Saudi Arabia, bahkan dalam perjalanan.
Beberapa generasi sudah pulang-pergi ke Tanah Suci Mekah menjelang abad 17, disamping belajar ngaji dan tafsir Al-Qur'an ada yang mendalami disiplin ilmu tasauf, figih  dan ilmu kalam, serta disiplin ilmu agama lainnya. Mereka bermukim selama bertahun-tahun di Mekkah untuk belajar dan mengaji Qur'an dan mendalami Islam.
Mereka kembali ke Kai dengan meguasai Al-Qur’an dan ilmu agama dalam bidang masing-masing, kemudian mengajarkan ilmu kepada masyarakat muslim di sana. Semangat kehidupan yang mereka bina pada saat itu sangat bernuansa ke-Islaman khusus  di seluruh wilayah  Kepulauan Kai (Maluku Tenggara), bahkan hampir seluruh wilayah Maluku (Seram Bagian Timur) dan Irian Barat sekarang Papua (terutama daerah Fak-Fak, Kaimana, Raja ampat dan sekitarnya). Keimanan masyarakat Kai  terhadap Islam terjadi bersamaan  dengan penyebaran Islam di wilayah lain di Indonesia, Melayu (pada pertengahan abad 15 awal abad 16).(Republika, 25 Juli 2003).
Menjelang akhir abad 18 telah terjadi kebangkitan para ulama di Maluku. Bukan hanya ditandai dengan berkembangnya tradisi pengetahuan Islam tetapi juga penyebaran gerakan pembaruan Islam di wilayah Maluku dan Papua.    Menurut hikayat para ulama Kai memiliki hubungan leluhur dari, Johor, Malaysia,  dan Bugis Makassar. Mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan para ulama pensyiar Islam dari Timur Tengah.
Versi yang jelas serta data autentik mengenai asal-usul para ulama Kai belum ada referensi pendukung, hanya berdasarkan penuturan lisan turun temurun. Hal ini menuntut kajian historis serta penelusuran sejarah sehingga ada kepastian data yang digunakan sebagai referensi dalam membahas sejarah penyebaran Islam di wilayah Kai Maluku Tenggara.
Menurut data yang diperoleh dan sepanjang catatan terkumpul, dinyatakan bahwa Islam pertama kali di Kepulauan Kai yaitu di Desa Langgiar Fer pada tahun 1511 M, dibawa oleh seorang ulama keturunan Sayid dari daerah Hadhramut (setelah pecahnya daulah Fatimiyah). Nama beliau adalah Sayid Abdullah, datang melalui wilayah Gujarat, Johor dan masuk ke Langgiar pada saat Portugis merebut Malaka dalam menjalankan  politik penjajahan, kemudian menyusul datuk Maulana ke Tayando Kai Kecil (lihat Silsilah terlampir). Sebagimana penjelasan para penulis sejarah Islam berikut; Masuknya agama Islam melalui pedagang–pedagang dari Aceh, Malaka, dan Gresik pada Abad ke-14 dan ke-15 turut memperkenalkan bentuk pemerintahan yang lebih rapi dan teratur, seperti pada Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan serta Jailolo.”(Dikutip dari: http://www.malukuprov.go.id/index.php/2013-02-11-03-23-23/sejarah-maluku,tanggal 29 Juli 2013).  Selain bukti sejarah para leluhur yang berasal dari Luang Maubesy (Pulau-pulau Terselatan), jauh-jauh hari atau berabad-abad lamanya (diperkirakan masuk di Kepulauan Kai pada abad ke-10 atau ke-11),  mereka sudah mendiami Kepulauan Kai dan dugaan yang memperkuat pemahaman bahwa, dari generasi ke generasi tidak ada riwayat yang menuturkan, dimana, kapan, dan siapa yang pertama-tama meng-islam-kan para leluhur dari Luang Maubesy. (data konfirmasi lisan-tutur sejarah-tentang para raja yang mempunyai Leluhur Sultan Isa, di antaranya; Raja Kesfui-Seram Timur,  Raja Kur, Raja Tual, Raja Danar, Raja Ubtim-Matdoan, Raja Vatlar, dan Pati Ujir (Kep. Aru).
Hal ini memperkuat tesa bahwa Sultan Isa adalah salah satu dari pensyiar dari Timur Tengah yang masuk ke Wilyah Timur Indonesia (pulau-pulau ter-Selatan –saat ini wilayah MBD-setelah melewati Sumatera, Jawa, dan ke Wilayah Maluku), hal ini  diperkuat dengan uraian para sejarahwan Islam Masuk ke Indonesia bahwa; lambat  laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Aceh-lah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam.
Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghrabi,  yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu di antaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti, yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate.
Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra-Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda.
Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan adanya penduduk pribumi yang masuk Islam di kepulaun Kai dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah, hubungan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Ulama dari Timur Tengah dan Orang Arab yang bermigrasi ke Kepulauan Kai sebagaimana wilayah lain Nusantara juga semakin banyak,  di antaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman.(Kini masih ditemukan keturunan para pensyiar Arab menyebar di Kepulauan Kai berdarah Habaib, seperti marga Al-Attas, Al-Hamid, Al-Mohdar, Bin Tahir, As-Syatri, Az-Zawawi, dan yang bukan Habaib, seperti Alkatiri, Bin Hatim, dan lain-lain).
Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah di Maluku-Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis.
Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di Nusantara punya bias ke Kepulauan Kai yang pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dan akses lainnya dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam  di Kepulauan Kai dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain, terutama dari Timur Tengah yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Pada abad ke 16 di desa Langgiar Fer tercetus suatu peristiwa sakral bernilai religius atas prakarsa kepemimpinan dan kesepakatan adat (Mel Yam Fak) empat leluhur atau pemuka masyarakat Langgiar yakni, Fadir, Fako, Wadufin  dan Larat Matdoan menyepakati suatu ikrar atau deklarasi berupa stateman suci atas dasar syariat Islam, dengan upacara sakral di Langgiar Fer dengan sebutan (Wama Sirken), Wama = tempat; Sir = rahasia; Ken = Kebenaran, artinya tempat rahasia kebenaran. Ikrar atau deklarasi atau code of conduct (kesepakatan umum), yang menandai suatu momen awal (stater point) secara resmi Islam selaku agama Visioner  dan pembawa rahmat untuk semua makhluk (rahmatan lil alamin), hendaknya disebarkan ke seluruh wilayah kepulauan Kai dan sekitarnya.
 Pada waktu-waktu berikutnya, para pensyiar agama Islam terus berdatangan di Kepulauan Kai khususnya di Langgiar-Fer, ditandai dengan datangnya para ulama seperti; 1) Puang Abdurrahman dan Puang Abdul Wahab Bilawa dari Bone pada tahun 1786; 2) Sayid Ahmad bin Muhammad Al Idrus dari Hadramut (wali makrifat) datang dan singgah di Cirebon pada tahun 1809 kemudian datang di Langgiar Fer wafat dan dimakamkan di Desa Ngafan (Pulau Nasular),  3) Datuk Abdurrabbi dari Johor Malaysia--Minangkabau pada tahun 1611, nikah di Langgiar Fer dan beranak pinak, setelah itu kembali ke Malaysia, 4) Sayid Abdurrahman  Assyatri pada tahun 1813, mukim di Langgiar dan punya anak cucu sampai saat ini, makam di Langgiar  4) Sayid Muhammad Zawawi, pada abad 18, nikah dan punya anak cucu, wafat dan makam di Desa Ler Ohoilim 5)  H. Sirajuddin bin H. Djamaluddin Karaeng Magangka dari Gowa, Sulawesi Selatan pada paruh kedua abad 18,menikah punya anak cucu; wafat dan makam di Makassar.
Generasi pertama yang pergi ke tanah Haramain adalah Haji Muhammad Arif   Fakaubun pada tahun 1816, ini adalah misi pertama untuk mempelajari dan menghafal Al  Qur'an di Mekkah (lihat Tabel pada Lampiran 1).
Terjalin keakraban lahir batin dan silaturrahmi antara guru dan murid (di Mekkah dan Langgiar) sehingga saling kunjung mengunjung. Mereka tetap menjalin komunikasi dan silaturrahmi dengan Tuan-Tuan Guru (Syeikh) mereka di Mekkah. Hingga pada suatu saat datang berkunjung ke desa Langgiar     dua ulama besar dari Mekkah pada tahun 1865, yaitu Al Mukarrom Hadratus Syekh Al Haji Hamzah Sombul (penguasa Masjidil Haram Mekkah dan Al Mukarrom Hadratus Syeik Al Haji Habib Muhammad bin Abdul Mu'ti Al-Mirdadi (Hatib dan Imam Besar Masjidil Haram Mekkah).
Dengan rasa haru bertambah suka cita yang dalam menyambut kedua tamu yang mulia ada keinginan lagi untuk terus menyambung tali silaturrahmi dan komunikasi yang selama ini sudah terjalin baik, hingga suatu saat dalam satu pertemuan dengan para tamu guru besar mereka timbul pertanyan menarik. Bagaimana kami dapat mengaji Al-Qur'an seperti orang-orang Mekkah?
Sehingga pada usia sembilan tahun Abdul Karim Rahannyaan kecil dari desa Ngafan Kai Besar berangkat ke Mekkah untuk belajar mengaji Al-Qur'an pada tahun 1830 selama kurang lebih 35 tahun beliau bermukim dan belajar nagji Al-Qura'an sampai mencapai usia 44 tahun di Mekkah baru beliau kembali ke Kai.
Turan Ngur Leb Lor (julukan masyarakat muslim Kai kepada tuan guru Haji Abdul  Karim Rahannyaan). Beliau kembali ke kampung halaman (Langgiar Fer)  pada tahun 1874 dan mengajarkan serta menghafal Al-Qur'an atau yang lazim di sebut Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul Karim selama kurang lebih 10 tahun.
Beliau adalah generasi ketiga yang meletakkan sejarah bagi generasi-generasi berikutnya mengenai  Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul Karim di Kepulaun Kai.  Setelah termotifasi dengan semangat beliau yang berhasil mengaji dan menghafal Al Qur'an sebagaimana masyarakat Mekkah sehingga orang kampung ingin seperti beliau. Keinginan mereka agar dapat mengikuti jejak beliau untuk mengaji dan menghafal Al-Qur'an di tempat asal turunnya Al Qur'anul Karim yaitu Kota Mekkah tempat lahirnya Nabi Muhammad Saw, dan Alhamdulillah niat suci itu terwujud di tempat yang diberkahi Mekkah) di antaranya Tuan Guru Al-Mukarrom Haji Muhammad Said Rahannyamtel, Al-Haji Abbas Rahannyaan, Al-Haji Muhammad Yahya Matdoan, dengan bermodalkan niat suci walaupun penuh  derita, sebelum perang dunia pertama (pada tahun 1901) ke Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji--rukun Islam kelima.
Sebelum itu Al-Haji Muhammad Syekh Fakaubun beliau mendalami ilmu hukum Islam,  dan Al-Haji Baharuddin Matdoan tahun 1775,  mukim di Mekkah selama puluhan tahun (kurang lebih 16 tahun) mendalami ilmu tasauf, yang kemudian menyusul pula Al-Haji Muhammad Zein Matdoan pakar tasauf,  mengikuti jejak beliau sekitar akhir abad 17-18, mukim di Mekkah 5 tahun.
Selama kurang lebih 15 tahun menekuni Al-Qur'an maka pada tahun 1916 mereka kembali ke kampung halaman (Langgiar Fer) Insya Allah dengan menyandang haji mabrur artinya haji  dan amalan mereka mendapat ridho Allah. Setiba mereka di kampung halaman dengan  semangat pengamalan Al-Qur'an sehingga mereka mendapat gelar dari masyarakat Islam Kai saat itu dengan gelar Yaman Teen dan Leeb Lor karena menjadi imam besar di masjid-masjid serta Turan ngur atau guru ngaji, mereka ini termasuk kelompok generasi ke lima (pada tahun   1905--1920). Pada masa atau periode ini hubungan baik para leluhur dengan ulama di Mekkah-Madina terjalin erat dan sangat baik, karena masih ada kunjung-mengunjung antara guru dan murid. Bukti kedatangan Tuan Sayid Al-Habib Abdul Hamid bin Muhammad bin Abdul Muthi Al Mirdadi ke Langgiar Fer (Kai) tahun 1902, (lihat Foto dokumentasi pada Lampiran).
Pada era generasi ini pembinaan Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul Karim     semakin berkembang baik karena selain desa Langgiar Fer, Sungai--Ngafan bertambah lagi desa baru yaitu Larat. Para siswa bertambah banyak dan dapat dilokalisir berdasarkan wilayah pemukiman. Para ulama inilah yang mendorong didirikan lembaga-lembaga  pendidikan tradisonal seperti yang dikenal di wilayah lain di Indonesia/Melayu sebagai   pondok pesantren. Dengan sarana tempat belajar seadanya para guru/turan  ngur  leb dengan kesederhanaan mereka, tabah dan tekun mengajar ngaji mulai dari mengenal huruf hingga  lancar membaca Al-Qur'an, kemudian mengajarkan tentang makhraj dan tajwid sampai  khatam dan hafal, semuanya dilakukan dengan rasa ikhlas karena Allah Ta'ala.
Termotivasi dengan sikap mereka maka masyarakat Kai pencinta Al-Qur'an tertarik untuk belajar pada Turan ngur/Leb lor di Kai dan tidak harus datang ke Mekkah untuk belajar ngaji dan menghafal Al-Qur'an di sana. Bila kemampuan membaca dan menghafal Al-Qur'an sudah baik, kemudian berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji rukun Islam yang kelima,
Pada awal kemerdekaan datang pula para ulama/ustaz dari Ambon ke Langgiar Fer, Sungai--Nagafan, di antaranya adalah Al Mukarrom H. Sayid Abubakar  Alidrus, ahli bahasa Arab, nahu syaraf, dan tasauf (terakhir sebagai Kakanwil Departemen  Agama Propinsi Maluku di Ambon tahun 1970an), dan Almukarrom KH. Djafar Awad Alkatiri (ahli bahasa Arab, tafsir, terakhir sebagai Penasehat DPW NU Wilayah Maluku dan DPP, anggota DPRD Propinsi  Maluku tahun 1980an) mereka mukim di Kai sejak tahun lima puluhan sampai dengan akhir tahun enam puluhan. Setelah itu mereka pulang--pergi Ambon dan Kai. Para ulama ini sudah mengembangkan pembelajaran   secara klasikal, dan pendidikan madrasah yang diberikan diberi nama musthonmallimin (mencetak kader-kader ulama yang sudah moderat).
Perkembangan pencerahan Islam semakin semarak hampir di seluruh Maluku. Kader-kader yang dihasilkan pada masa ualama-ulama ini antara lain ; 1) Al-ustaz H. Muhammad Muzni Matdoan, beliau imam masjid Kiom Tual, guru ngaji, sampai akhir hayat sebagai penasehat senior DPD PPP Kabupaten Maluku Tenggara. 2)  Al-ustaz H. Usman Rahannyaan, guru ngaji, imam masjid dan guru madrasah, 3) Ustaz H. Muhammad Asnawi Seknun, guru ngaji, imam masjid Kehutanan Tual dan Fer. 4). H. Munawir Matdoan, guru ngaji, guru tasauf,  5) Ustaz H. Abdul Wahid Rahawarin S.H. guru tasauf, terakhir sebagai Ketua DPRD Kota Madya Ambon periode 1989--1997), 6) Al-ustaz Ahmad Difinubun, guru tasauf, Kepala Desa Hoat/Sungai. 7).H. Abubakar Matdoan, guru ngaji, guru tasauf, 8) Abidin Difinubun, guru ngaji dll. 9). Sayid Abubakar Al-Atthas wafat tahun 1998 di Hitu.
Bersamaan dengan itu muncul pula para pejuang Islam lebih moderat seperti; 1) H. Sayid Ramli Zawawi, pensiunan pegawai Departemen Penerangan RI, tokoh Masyumi   tahun 1950an, terakhir anggota DPRD Propinsi Maluku dari fraksi PPP, wafat, tahun 2001 di Ambon, 2) H. Abdul Mu'thi Fakaubun, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten  Maluku Tenggara, tokoh Masyumi tahun 1950an dan wafat tahun 2009 di Tual 3). H. Ahmad Fakaubun, pensiunan pegawai Departeman      Agama Propinsi Maluku, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten  Maluku Tenggara, 4) Usman Matdoan, pensiunan pegawai Departemen Penerangan Propinsi Maluku, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten      Maluku Tenggara, salah satu tokoh kunci dalam pembebasan wilayah Maluku Tenggara dari cengkerman kolonial Belanda dan para musuh NKRI pada awal kemerdekaan RI.
Perjuangan syiar mereka sudah disalurkan melalui birokrasi dan pemerintahan, bentuk dakwah mereka adalah bil- hal.
Sampai saat ini kader-kader ulama Kai belum dapat di data semua secara lengkap, karena anak cucu leluhur Kai banyak bertebaran di seluruh wilayah Indonesia. Dapat disebutkan sebagai contoh beberapa cendekiawan muda muslim, anak cucu dan penerus cita-cita luhur para Ulama leluhur Langgiar Fer, Kai Maluku Tenggara, seperti; 1) Ir. H. Sayid Sayuti Asyatri, pakar tasauf, pemikir dan perencana pembangunan, mantan wakil sekertaris Presiden periode Presiden Abdurrahman Wahid, mantan penasehat senior DPP PAN dan Anggota DPR RI, Wakil Ketua Fraksi bidang Otonomi Daerah periode 2004—2008. Sekarang Presiden/Ketua Umum Partai Demokrasi Kebangsaan.
Ustaz Sayuti Rahawarin mantan anggota DPR RI, aktifis da'wah, mantan Sekjen Partai Islam Indonesia Masyumi, 3) Ustaz Ahmad Barji Matdoan. guru ngaji, aktifis da wah, mantan/pendiri Pemuda Pelaksana Da’wah Islamiah Maluku Tahun 1970an- sampai sekarang, 4) Drs. H. Hanafi Renhoran, M.M., pensiunan pegawai Departemen Agama Pusat, aktivis da'wah 5) Drs. H. Abbas Rahannyamtel, rnantan Kakandep Agama Kabupaten Maluku Tenggara, Kabid Urusan Haji Depag Propinsi Maluku. 6) Drs. H. Muhammaddin Rahannyamtel, Pensiunan Kepala Sekolah MAN di Jakarta,  aktifis da'wah, 7) Drs. H. Hasan Rahakbau, aktifis da'wah, pensiunan guru MAN di Jakarta, 8) Ustaz H. Muhammad Qosim Matdoan, hafiz, guru ngaji dan guru agama di Jakarta, aktifis da'wah, 9) Ustaz Dr. Muhammad Rahanyamtel, S.Ag, M.Pdi. hafiz, dosen IAIN Ambon, guru ngaji, da’i, 10) Ust. H. Drs. Djamaluddin Bugis, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Maluku Tenggara, 11) Ust. H. Drs. Muhammad Zein Matdoan, Kepala kantor Koperasi dan UKM Kota Tual, 12) Ust. H. Drs. Arifin Difinubun Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Tual 13) Ust H. Abdul Manan Fakaubun, B.A. dai dan guru ngaji di Kota Sorong Papua Barat dan masih banyak yang perlu diadakan pendataan dan penelitian agar dapat diungkapkan dalam bentuk tulisan dan referensi untuk kepentingan da'wah dan pemerhati sejarah pergerakan Islam di Nusantara.
Selengkapnya perkembangan syiar Islam dan Qurra wal Huffaz Al-Qur anul Karim di Kepulauan Kai dari generasi ke genarasi dapat dilihat pada Tabel  (Lampiran 1).
Generasi kesepuluh mengalami pasang surut sangat drastis dan kemunduran yang pesat,  ini disebabkan  karena kendala yang dihadapi dari generasi ke generasi, seperti kurangnya perhatian pemerintah, keterbatasan fasilitas pembelajaran, rendahnya kesejahteran tuan-tuan guru, juga karena terjadi konflik sara (tahun 1999), sehingga membawa korban jiwa, harta benda, dan kerugian moral dan material sangat banyak..
Saat ini kondisi Qurra-Walhuffaz  masih berjalan secara konvensional, belum ditata dengan manajemen yang baik, sehingga diharapkan perhatian semua kalangan ummat Islam untuk membangun dan membangkitkan kembali semangat ummat dalam mempelajari dan menghayati serta mengamalkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dunia wal-akhirah.
D. SEKILAS PERAN ULAMA KEI DAN PERGERAKAN ISLAM AWAL KEMERDEKAAN  DI KEPULAUAN KAI    MALUKU TENGGARA
Pada saat terjadi kekosongan  kekuasaan pemerintahan   di Indonesia pada akhir perang dunia II, oleh Bangsa Indonesia dianggap sebagai suatu rakhmat yang harus disyukuri dan dimanfaatkan. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang didengungkan oleh proklamator Soekarno--Hatta ternyata  telah mampu berkumandang serta membahana sampai ke seluruh penjuru dunia, terutama negara-negara Sekutu.
Dengan demikian Sekutu segera mendaratkan pasukannya di seluruh wilayah Tanah Air. Setiap pendaratan sekutu, berboncengan pula dengan Tentara NICA, dan mengakibatkan pertempuran terjadi dihampir seluruh Nusantara. Keadaan seperti     itu pula yang terjadi pada wilayah Timur  Indonesia, tepatnya di daerah  Kepulauan Kai Maluku Tenggara.
Pertengahan September 1945 pendaratan dilakukan oleh tentara Australia (Sekutu) berboncengan dengan KNIL, penangkapan  dilakukan terhadap sisa-sisa anggota "Merah Putih" di Dobo, yang     kemudian dibawa ke Ambon. Menyusul pula penangkapan-penangkapan berikutnya, sesuai tuduhan yang diperoleh dari kaki tangan mereka. (Zawawi Ramli: 1988).
Para  ulama Islam leluhur Kai pejuang merah putih beberapa mendapat tekanan politik dari lawannya, mereka diintimidasi dan ditekan, bahkan ditahan dan dihukum dan dipenjarakan,  dapat disebutkan di sini seperti, Ust. H. Mahmud Fakaubun, H. Sayid Ramli Zawawi, Sayid Hasan Zawawi, Sayid Ali Almohdar pada tahun 1946 (Zawawi Ramli, 1988).
Peristiwa-peristiwa silih berganti mereka alami dalam memperjuangkan dan mempertahankan merah putih di bumi Kepuluan Kai-Maluku Tenggara.  Zawawi,  menjelaskan bahwa tokoh-tokoh agama Islam pejuang kemerdekaan di daerah ini yang antara lain adalah  Sayid  Abdurahman Asyathry, Idris Renwarin, Sayid A. Alhamid, dan masih banyak lagi. Semangat Merah Putih makin terpatri dengan kokohnya, terutama dalam dada generasi muda tinggal menunggu saatnya untuk mengakhiri kezaliman    Belanda beserta antek-anteknya di daerah ini.
Menyadari bahwa kekuatan Umat Islam perlu disatukan dalam sebuah wadah untuk menghindari perjuangan  yang   terpisah-pisah dan tidak bertanggung jawab, maka oleh  seorang pejuang Kei Haji Gani Renuat Cs, dibentuklah suatu Organisasi lslam yang diberi nama Persatuan Islam Umum (PIU), muliputi seluruh  Kepulauan Kai.
Tercatat bahwa inilah organisasi pertama yang berdiri secara resmi di daerah Maluku Tenggara dan peristiwa tersebut terjadi pada bulan Desember 1946.   Selanjutnya  Zawawi menjelaskan,  pada tanggal 20 Januari 1947, dibentuklah    sebuah organisasi perjuangan  di Desa Langgiar Fer  yang diprakarsai oleh Ust. Achmad Difinubun, Kepala Desa Sungai beserta beberapa orang warga desa sekitar, antara lain    Ust. Ahmad Fakaubun,  Ust. Usman Matdoan, Ust. Muhammad Bin Hatim, Ust. Munawir Matdoan, dan Ust. H. Sayid Ramli Zawawi.
Wilayah kerja organisasi ini terbatas pada daerah Yut Selatan (Kai Besar) sesuai dengan namanya yaitu Persatuan Islam Yut Selatan (PlYS).   Dengan terbentuknya organisasi  Islam   Yut    Selatan (PIYS), yang merupakan cambuk bagi pemimpin organisasi PIU, sehingga  dalam     waktu    yang     tidak    terlalu lama,       mereka      mendatangkan guru-guru dari Ambon, antara lain: Ust. Habib Abubakar Alaydrus,. Ust. A.K. Liem, Ust. Akhmad Liem, Ust. A. Lestaluhu,  H. Amin Elly, dan Ust. Ismail Tangke, yang kesemuanya adalah  guru Agama Madrasah.
Sementara itu, diawal tahun 1947, Organisasi PlYS sendiri mendatangkan seorang guru yaitu KH. Jafar Awad Alkatiri dari Ambon. Guru-guru madrasah yang      di datangkan itu sebagian besar adalah bekas anggota PIM atau  Partai Indonesia Merdeka, maka pendidikan yang mereka ajarkan berimbang   antara pendidikan Agama dan  Politik.
Dengan demikian, sebagian besar rakyat di daerah ini mulai mengetahui tentang seluk-beluk politik, terutama para pemudanya. Dan dengan semangat juang nasional yang telah diletakkan dasarnya oleh Mr. Slamet Cs, berikut didukung dengan pendidikan politik praktis yang mendalam tentang cita-cita Nasional Bangsa Indonesia dimasa depan, maka kesemuanya itu merupakan modal utama yang sangat berguna bagi masyarakat di Kepulauan Kai terutama   pemudanya.
Pada saat itu pengaruh organisasi Islam  PIYS sampai ke wilayah Irian Barat (sekarang Papua). Sesuai penjelasan H. Sayid Ramli Zawawi, dalam suatu pertemuan di rumah Ust. Achmad Difinubun pada tanggal 20 Juli 1948, usai acara Maulid Nabi Muhammad SAW, bahwa Al-Ust. Habib A. Alaydrus dan H. Amin Elly (mantan anggota MPR RI), mendesak dan  menganjurkan kepada beliau agar berusaha memberikan pengertian kepada masyarakat Irian Barat terutama menjelang KMB tentang status Irian Barat dewasa ini, sehingga  disamping sebagai Kepala Pemerintahan Negeri, beliau juga adalah  Ketua PlYS.
Disarankan agar upaya dilakukan melalui jalur pendidikan, jika tidak, maka dengan cara berdagang sebab yang penting, Irian Barat bisa dijangkau,  menjelang KMB tentang status Irian Barat, sehingga   mereka dapat menyuarakan aspirasinya.
Sebagai langkah awal PIYS mengirim dua tenaga guru ke Kaimana untuk selanjutnya   mendirikan Madrasah. Berikut    upaya Ust. Achmad    Difinubun melalui usaha dagang kayu balok. Pada awal September 1948,  H. Sayid Ramli Zawawi memimpin 150 orang tenaga kerja berangkat ke Fak-Fak (Irian Barat) dan pada bulan Oktober menyusul gelombang kedua dengan tenaga kerja sebanyak 100 orang. Kemudian pada bulan Desember dalam  tahun yang sama sejumlah 150 tenaga kerja tiba di Fak-Fak  sebagai rombongan terkahir, sehingga pada waktu itu anggota PIYS yang berupa tenaga kerja yang berada di Fak-Fak dan sekitarnya berjumlah 400 orang.
Menurut Zawawi, (1988). Sehari-harinya mereka berusaha membina hubungan dengan masyarakat sekitarnya secara kekeluargaan sehingga ada saling pengertian  dan terjalin hubungan yang baik dengan  Raja Fatabar  Achmad Uswanus dan  Ibrahim Bauw Raja Rumbati di Kokas, sehingga banyak manfaat yang di lakukan dengan warga di sana untuk pembebasan Irian Barat.
Selain itu sehubungan dengan  undangan dari  penyelenggara Kongres Muslimin Indonesia (KMI) yang pertama berlangsung di Yogyakarta, dimana organisasi Islam seluruh Indonesia diikut sertakan termasuk PIU dan PIYS dari Kai  Maluku Tenggara. PIU diwakili oleh enam orang masing-masing: Hasyim Rentua, M.K. Renwarin,  Sam Hanubun, Patu Dipur, dan dua orang lain lagi. Sedangkan dari PIYS hanya diwakili oleh KH. Jafar Awad Alkatiri  awal Desember 1949 ke Yogyakarta malalui Ambon. Kemudian diminta untuk mengirimkan telegram agar PlYS dilebur atau fusi kedalam Masyumi.
Usul tersebut dapat diterima oleh Kongres, sehingga mengirim dua telegram ucapan selamat dari Raja Fatagar dan Raja Rumbati kepada Kongres tersebut, yang isinya berupa harapan, agar nasib Umat Islam di Irian Barat mendapat perhatian Kongres. Ketika telegram itu dibaca, ternyata mendapat tanggapan positif dari Kongres, bahkan dalam pidato pembukaan, hal itu disinggung oleh Bung Karno Presiden Republik Indonesia pertama, dengan mengatakan babwa Belanda seharusnya buka mata, Sidang Kongres Muslimin Indonesia ini  dihadiri juga  oleh utusan dari Irian Barat, suatu bukti babwa rakyat Irian Barat adalah juga rakyat Indonesia yang tak bisa dipisahkan.dengan sesamanya.



 

Popular Posts

© Copyright 2010. yourblogname.com . All rights reserved | yourblogname.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com