Menguasai
teknologi persenjataan merupakan salah satu faktor yang membuat
Kekhalifahan Islam di masa kejayaan menjadi begitu tangguh. Selain
mumpuni dalam seni pembuatan pedang, dunia Islam pun mampu menggenggam
teknologi pembuatan bubuk mesiu - bahan peledak yang digunakan untuk
meriam. Sesuatu yang baru diketahui peradaban Barat pada abad ke-14 M.
''Rumus
dan resepnya dapat ditemukan dalam karya-karya Jabir Ibnu Hayyan (wafat
tahun 815 M), Abu Bakar Al-Razi (wafat tahun 932) dan ahli kimia Muslim
lainnya," papar Prof Al-Hassan. Dari abad ke abad, istilah potasium
nitrat di dunia Islam selalu tampil dengan beragam nama seperti natrun,
buraq, milh al-ha'it, shabb Yamani, serta nama lainnya.
Salah satu kelebihan peradaban Islam dibandingkan Cina dalam penguasaan
teknologi pembuatan mesium adalah proses pemurnian potasium nitrat.
Sebelum bisa digunakan secara efektif sebagai bahan utama pembuatan
mesiu, papar Al-Hassan, potasium nitrat harus dimurnikan terlebih
dahulu.
Ada dua
proses pemurnian potasium nitrat yang tercantum dalam naskah berbahasa
Arab. Proses pemurnian yang pertama dicetuskan Ibnu Bakhtawaih pada awal
abad ke-11 M. Dalam kitab yang ditulisnya berjudul Al-Muqaddimat yang
disusun pada tahun 402 H/1029 M, Ibnu Bakhtawaih menjelaskan tentang
pembekuan air dengan menggunakan potasium nitrat - yang disebut sebagai
shabb Yamani.
Proses
pemurnian potasium nitrat juga termaktub dalam buku berjudul
Al-Furusiyyah wa Al-Manasib Al-Harbiyyah karya Hasan Al-Rammah - ilmuwan
Muslim pada abad ke-13 M. Dalam karyanya itu, Al-Rammah menjelaskan
proses pemurnian potasium nitrat secara komplet. "Prosesnya purifikasi
yang disusun Al-Rammah menjadi standar baku yang dapat kita temuka dalam
beragaman risalah kemiliteran," imbuh Prof Al-Hassan.
Al-Rammah
menjelaskan secara rinci dan jelas tentang proses pemurnian potasium
nitrat. Metode pembuatan potasium nitrat ini kerap diklaim peradaban
Barat sebagai temuan Roger Bacon. Namun klaim itu dipatahkan sendiri
oleh ilmuwan barat bernama Partington. "Proses pembuatan saltpetre -
nama lain potasium nitrat - pertama kali diketahui dari Hasan Al-Rammah.
Prof
Al-Hassan menemukan fakta bahwa potasium nitrat begitu banyak digunakan
pada saat meletusnya Perang Salib. Pada tahun 1249 M, Raja Louis IX dari
Prancis mengobarkan Perang Salib VII. Pasukan tentara Perang salib dari
Prancis berniat menyerbu Mesir. Dalam Pertempuran Al-Mansurah yang
meletus tahun 1250 M, pasukan tentara Salib dibuat kocar-kacir oleh
pasukan Muslim.
Bahkan,
Raja Louis IX pun takluk dan ditahan karena tak mampu menghadapi
kehebatan mnocong meriam dan roket. Pada saat itu, pasukan Muslim sudah
menggunakan bubuk mesiu sebagai bahan peledak meriam. Jean de Joinville,
salah seorang perwira tentara Perang Salib, menjelaskan dengan betapa
hebatnya dampak proyektil yang ditembakkan meriam tentara Muslim
terhadap pasukan tentara Prancis.
Kalangan
sejarawan menafsirkan kesaksian Joinville itu. Menurut para sejarawan,
proyektil yang dijelaskan Joinville itu pastilah mengandung bubuk mesiu.
Kehebatannya mampu membuat kocar-kacir pasukan tentara Salib. Lembaga
Ruang Angkasa Amerika Serikat (NASA) dalam publikasinya mengenai sejarah
roket juga mengakui teknologi militer dunia Islam di abad ke-13 M.
"Pasukan
tentara Muslim melengkapi persenjataannya dengan roket yang
ditemukannya sendiri. Saat Perang Salib VII mereka menggunakannya untuk
melawan pasukan Prancis yang dipimpin Raja Louis IX." Dua dasawarsa
berikutnya Raja Louis mencoba kembali menyerang Tunisia.
Namun,
dendamnya itu justru berakhir dengan kematian baginya. Pasukan Muslim
dibawah kekuasaan Dinasti Mamluk dengan mesiu dan senjatanya kembali
membuat kocar-kacir tentara Salib. Sejarawan Inggris, Steven Runciman
dalam bukunya A History of the Crusades menuturkan bahwa mesiu digunakan
secara besar-besaran pada 1291 M di akhir Perang Salib.
Sejak
itu, persenjataan militer menggunakan mesiu secara besar-besaran Pada
tahun 1453 M, Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki juga mampu
menaklukkan kepongahan Konstantinopel dengan mesiu dan meriam raksasa.
Dalam empat risalah berbahasa Arab disebutkan pada perang Ayn Jalut di
Palestina pada tahun 1260 M antara tentara Islam sudah menggunakan
meriam kecil yang bisa dijinjing saat bertempur melawan Mongol.
Meriam
dan mesiu digunakan dalam peperang di abad pertengahan untuk menakuti
kuda-kuda dan pasukan kavaleri musuh. Selain menggunakan mesiu untuk
persenjataan, pada era itu juga digunakan untuk membuat mercon. Dinasti
Mamluk dalam perayaan-perayaan di abad ke-14 M, dilaporkan biasa
menampilkan atraksi petasan. Istilah petasan sudah disebutkan dalam
harraqat al-naft or harraqat al-barud.
Seorang
penjelajah asal Prancis bernama Bertrandon de la Brocquiere terperangah
melihat pertunjukan petasan ketika tiba di Beirut pada tahun 1432 M.
Saat itu, penduduk Beirut tengah bersuka cita merayakan hari Idul Fitri.
Brocquiere mengaku baru pertama kali melihat pertunjukan mercon. Pada
era itu bangsa Prancis belum mengenal dan melihat mercon.
Pada
waktu itula, Brocquiere kemudian mencoba mempelajari rumus dan resep
rahasia pembuatan mercon. Ia lalu membawa rumus-rumus yang diperolehnya
ke Prancis. Sementara itu, untuk pertama kalinya mercon dikenal di
Inggris pada tahun 1486 M ketika Henry VII menikah. Sejak era kekuasaan
Ratu Elizabeth I, mercon dan kembang api mulai populer.
Sejak
abad ke-13 M, peradaban Islam sudah mampu menyusun rumus dan komposisi
mesiu serta bahan lainnya yang digunakan untuk membuat berbagai jenis
bahan peledak. Peradaban Barat lalu meniru dan menggunakan teknologi
yang dimiliki dan dikuasai umat Islam di era keemasan itu.
Meski
berutang kepada peradaban Islam, pencapain sangat tinggi yang diraih
umat Islam dalam teknologi pembuatan mesiu dan meriam kerap kali
dihilangkan para sejarawan Barat. Sejarah Barat selalu menyebutkan
sejarah mesiu dari Cina langsung ke Barat, tanpa menyebut pencapaian di
dunia Islam.