22 Jun 2012

Ledakan Dahsyat (Big Bang)


Menurut model ledakan dahsyat, alam semesta mengembang dari keadaan awal yang sangat padat dan panas dan terus mengembang sampai sekarang. Secara umum, pengembangan ruang semesta yang mengandung galaksi-galaksi dianalogikan seperti roti kismis yang mengembang. Gambar di atas merupakan gambaran konsep artis yang mengilustrasikan pengembangan salah satu bagian dari alam semesta rata.
Ledakan Dahsyat atau Dentuman Besar (bahasa Inggris: Big Bang) merupakan sebuah peristiwa yang menyebabkan pembentukan alam semesta berdasarkan kajian kosmologi mengenai bentuk awal dan perkembangan alam semesta (dikenal juga dengan Teori Ledakan Dahsyat atau Model Ledakan Dahysat). 



Berdasarkan pemodelan ledakan ini, alam semesta, awalnya dalam keadaan sangat panas dan padat, mengembang secara terus menerus hingga hari ini. Berdasarkan pengukuran terbaik tahun 2009, keadaan awal alam semesta bermula sekitar 13,7 miliar tahun lalu, yang kemudian selalu menjadi rujukan sebagai waktu terjadinya Big Bang tersebut. Teori ini telah memberikan penjelasan paling komprehensif dan akurat yang didukung oleh metode ilmiah beserta pengamatan.
 Adalah Georges Lemaître, seorang biarawan Katolik Roma Belgia, yang mengajukan teori ledakan dahsyat mengenai asal usul alam semesta, walaupun ia menyebutnya sebagai "hipotesis atom purba". Kerangka model teori ini bergantung pada relativitas umum Albert Einstein dan beberapa asumsi-asumsi sederhana, seperti homogenitas dan isotropi ruang. Persamaan yang mendeksripsikan teori ledakan dahsyat dirumuskan oleh Alexander Friedmann. Setelah Edwin Hubble pada tahun 1929 menemukan bahwa jarak bumi dengan galaksi yang sangat jauh umumnya berbanding lurus dengan geseran merahnya, sebagaimana yang disugesti oleh Lemaître pada tahun 1927, pengamatan ini dianggap mengindikasikan bahwa semua galaksi dan gugus bintang yang sangat jauh memiliki kecepatan tampak yang secara langsung menjauhi titik pandang kita: semakin jauh, semakin cepat kecepatan tampaknya.
Jika jarak antar gugus-gugus galaksi terus meningkat seperti yang terpantau sekarang, semuanya haruslah pernah berdekatan pada masa lalu. Gagasan ini secara rinci mengarahkan pada suatu keadaan massa jenis dan suhu yang sebelumnya sangat ekstrem. Berbagai pemercepat partikel raksasa telah dibangun untuk mencoba dan menguji kondisi tersebut, yang menjadikan teori tersebut dapat konfirmasi dengan signifikan, walaupun pemercepat-pemercepat ini memiliki kemampuan yang terbatas untuk menyelidiki fisika partikel. Tanpa adanya bukti apapun yang berhubungan dengan pengembangan awal yang cepat, teori ledakan dahsyat tidak dan tidak dapat memberikan beberapa penjelasan mengenai kondisi awal alam semesta, melainkan mendeskripsikan dan menjelaskan perubahan umum alam semesta sejak pengembangan awal tersebut. Kelimpahan unsur-unsur ringan yang terpantau di seluruh kosmos sesuai dengan prediksi kalkulasi pembentukan unsur-unsur ringan melalui proses nuklir di dalam kondisi alam semesta yang mengembang dan mendingin pada awal beberapa menit kemunculan alam semesta sebagaimana yang diuraikan secara terperinci dan logis oleh nukleosintesis ledakan dahsyat.
Fred Hoyle mencetuskan istilah Big Bang pada sebuah siaran radio tahun 1949. Dilaporkan secara luas bahwa, Hoyle yang mendukung model kosmologis alternatif "keadaan tetap" bermaksud menggunakan istilah ini secara peyoratif, namun Hoyle secara eksplisit membantah hal ini dan mengatakan bahwa istilah ini hanyalah digunakan untuk menekankan perbedaan antara dua model kosmologis ini. Hoyle kemudian memberikan sumbangsih yang besar dalam usaha para fisikawan untuk memahami nukleosintesis bintang yang merupakan lintasan pembentukan unsur-unsur berat dari unsur-unsur ringan secara reaksi nuklir. Setelah penemuan radiasi latar mikrogelombang kosmis pada tahun 1964, kebanyakan ilmuwan mulai menerima bahwa beberapa skenario teori ledakan dahsyat haruslah pernah terjadi.

Sejarah dan perkembangan teori
Teori ledakan dahsyat dikembangkan berdasarkan pengamatan pada stuktur alam semesta beserta pertimbangan teoritisnya. Pada tahun 1912, Vesto Slipher adalah orang yang pertama mengukur efek Doppler pada "nebula spiral" (nebula spiral merupakan istilah lama untuk galaksi spiral), dan kemudian diketahui bahwa hampir semua nebula-nebula itu menjauhi bumi. Ia tidak berpikir lebih jauh lagi mengenai implikasi fakta ini, dan sebenarnya pada saat itu, terdapat kontroversi apakah nebula-nebula ini adalah "pulau semesta" yang berada di luar galaksi Bima Sakti.[14][15] Sepuluh tahun kemudian, Alexander Friedmann, seorang kosmologis dan matematikawan Rusia, menurunkan persamaan Friedmann dari persamaan relativitas umum Albert Einstein. Persamaan ini menunjukkan bahwa alam semesta mungkin mengembang dan berlawanan dengan model alam semesta yang statis seperti yang diadvokasikan oleh Einstein pada saat itu.[  Pada tahun 1924, pengukuran Edwin Hubble akan jarak nebula spiral terdekat menunjukkan bahwa ia sebenarnya merupakan galaksi lain. Georges Lemaître kemudian secara independen menurunkan persamaan Friedmann pada tahun 1927 dan mengajukan bahwa resesi nebula yang disiratkan oleh persamaan tersebut diakibatkan oleh alam semesta yang mengembang.
Pada tahun 1931 Lemaître lebih jauh lagi mengajukan bahwa pengembangan alam semesta seiring dengan berjalannya waktu memerlukan syarat bahwa alam semesta mengerut seiring berbaliknya waktu sampai pada suatu titik di mana seluruh massa alam semesta berpusat pada satu titik, yaitu "atom purba" di mana waktu dan ruang bermula.
Mulai dari tahun 1924, Hubble mengembangkan sederet indikator jarak yang merupakan cikal bakal tangga jarak kosmis menggunakan teleskop Hooker 100-inci (2,500 mm) di Observatorium Mount Wilson. Hal ini memungkinkannya memperkirakan jarak antara galaksi-galaksi yang pergeseran merahnya telah diukur, kebanyakan oleh Slipher. Pada tahun 1929, Hubble menemukan korealsi antara jarak dan kecepatan resesi, yang sekarang dikenal sebagai hukum Hubble. Lemaître telah menunjukan bahwa ini yang diharapkan, mengingat prinsip kosmologi.


Gambaran artis mengenai satelit WMAP yang mengumpulkan berbagai data untuk membantu para ilmuwan memahami ledakan dahsyat
Semasa tahun 1930-an, gagasan-gagasan lain diajukan sebagai kosmologi non-standar untuk menjelaskan pengamatan Hubble, termasuk pula model Milne,[21] alam semesta berayun (awalnya diajukan oleh Friedmann, namun diadvokasikan oleh Albert Einstein dan Richard Tolman)[22] dan hipotesis cahaya lelah (tired light) Fritz Zwicky.[23]
Setelah Perang Dunia II, terdapat dua model kosmologis yang memungkinkan. Satunya adalah model keadaan tetap Fred Hoyle, yang mengajukan bahwa materi-materi baru tercipta ketika alam semesta tampak mengembang. Dalam model ini, alam semesta hampirlah sama di titik waktu manapun.[24] Model lainnya adalah teori ledakan dahsyat Lemaître, yang diadvokasikan dan dikembangkan oleh George Gamow, yang kemudian memperkenalkan nukleosintesis ledakan dahsyat (Big Bang Nucleosynthesis, BBN)[25] dan yang kaitkan oleh, Ralph Alpher dan Robert Herman, sebagai radiasi latar panjang gelombang kosmis (cosmic microwave background radiation, CMB).[26] Ironisnya, justru adalah Hoyle yang mencetuskan istilah big bang untuk merujuk pada teori Lemaître dalam suatu siaran radio BBC pada bulan Maret 1949.[27][cat 1] Untuk sementara, dukungan para ilmuwan terbagi kepada dua teori ini. Pada akhirnya, bukti-bukti pengamatan memfavoritkan teori ledakan dahsyat. Penemuan dan konfirmasi radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis pada tahun 1964[28] mengukuhkan ledakan dahsyat sebagai teori yang terbaik dalam menjelaskan asal usul dan evolusi kosmos. Kebanyakan karya kosmologi zaman sekarang berkutat pada pemahaman bagaimana galaksi terbentuk dalam konteks ledakan dahsyat, pemahaman mengenai keadaan alam semesta pada waktu-waktu terawalnya, dan merekonsiliasi pengamatan kosmis dengan teori dasar.
Berbagai kemajuan besar dalam kosmologi ledakan dahsyat telah dibuat sejak akhir tahun 1990-an, utamanya disebabkan oleh kemajuan besar dalam teknologi teleskop dan analisis data yang berasal dari satelit-satelit seperti COBE,[29] Teleskop luar angkasa Hubble dan WMAP.[30]

Tinjauan

Garis waktu ledakan dahsyat
Ekstrapolasi pengembangan alam semesta seiring mundurnya waktu menggunakan relativitas umum menghasilkan kondisi masa jenis dan suhu alam semesta yang tak terhingga pada suatu waktu pada masa lalu.Singularitas ini mensinyalkan runtuhnya keberlakuan relativitas umum pada kondisi tersebut. Sedekat mana kita dapat berekstrapolasi menuju singularitas diperdebatkan, namun tidaklah lebih awal daripada masa Planck. Fase awal yang panas dan padat itu sendiri dirujuk sebagai "the Big Bang",dan dianggap sebagai "kelahiran" alam semesta kita. Didasarkan pada pengukuran pengembangan menggunakan Supernova Tipe Ia, pengukuran fluktuasi temperatur pada latar gelombang mikro kosmis, dan pengukuran fungsi korelasi galaksi, alam semesta memiliki usia 13,73 ± 0.12 miliar tahun.Kecocokan hasil ketiga pengukuran independen ini dengan kuat mendukung model ΛCDM yang mendeskripsikan secara mendetail kandungan alam semesta.
Fase terawal ledakan dahsyat penuh dengan spekulasi. Model yang paling umumnya digunakan mengatakan bahwa alam semesta terisi secara homogen dan isotropis dengan rapatan energi yang sangat tinggi, tekanan dan temperatur yang sangat besar, dan dengan cepat mengembang dan mendingin. Kira-kira 10−37 detik setelah pengembangan, transisi fase menyebabkan inflasi kosmis, yang sewaktu itu alam semesta mengembang secara eksponensial. Setelah inflasi berhenti, alam semesta terdiri dari plasma kuark-gluon beserta partikel-partikel elementer lainnya. Temperatur pada saat itu sangat tinggi sehingganya kecepatan gerak partikel mencapai kecepatan relativitas, dan produksi pasangan segala jenis partikel terus menerus diciptakan dan dihancurkan. Sampai dengan suatu waktu, reaksi yang tak diketahui yang disebut bariogenesis melanggar kekekalan jumlah barion dan menyebabkan jumlah kuark dan lepton lebih banyak daripada antikuark dan antilepton sebesar satu per 30 juta. Ini menyebabkan dominasi materi melebihi antimateri pada alam semesta.
Ukuran alam semesta terus membesar dan temperatur alam semesta terus menurun, sehingga energi tiap-tiap partikel terus menurun. Transisi fase perusakan simetri membuat gaya-gaya dasar fisika dan parameter-parameter partikel elementer berada dalam kondisi yang sama seperti sekarang. Setelah kira-kira 10−11 detik, gambaran ledakan dahsyat menjadi lebih jelas oleh karena energi partikel telah menurun mencapai energi yang bisa dicapai oleh eksperimen fisika partikel. Pada sekitar 10−6 detik, kuark dan gluon bergabung membentuk barion seperti proton dan neutron. Kuark yang sedikit lebih banyak daripada antikuark membuat barion sedikit lebih banyak daripada antibarion. Temperatur pada saat ini tidak lagi cukup tinggi untuk menghasilkan pasangan proton-antiproton, sehingga yang selanjutnya terjadi adalah pemusnahan massal, menyisakan hanya satu dari 1010 proton dan neutron terdahulu. Setelah pemusnahan ini, proton, neutron, dan elektron yang tersisa tidak lagi bergerak secara relativistik dan rapatan energi alam semesta didominasi oleh foton (dengan sebagian kecil berasal dari neutrino).
Beberapa menit semasa pengembangan, ketika temperatur sekitar satu miliar kelvin dan rapatan alam semesta sama dengan rapatan udara, neutron bergabung dengan proton dan membentuk inti atom deuterium dan helium dalam suatu proses yang dikenal sebagai nukleosintesis ledakan dahsyat. Kebanyakan proton masih tidak terikat sebagai inti hidrogen. Seiring dengan mendinginnya alam semesta, rapatan energi massa rihat materi secara gravitasional mendominasi. Setelah 379.000 tahun, elektron dan inti atom bergabung menjadi atom (kebanyakan berupa hidrogen) dan radiasi materi mulai berhenti. Sisa-sisa radiasi ini yang terus bergerak melewati ruang semesta dikenal sebagai radiasi latar gelombang mikro kosmis.


Medan Ultra Dalam Hubble memperlihatkan galaksi-galaksi dari zaman dahulu ketika alam semesta masih muda, lebih padat, dan lebih hangat menurut teori ledakan dahsyat.
Selama periode yang sangat panjang, daerah-daerah alam semesta yang sedikit lebih rapat mulai menarik materi-materi sekitarnya secara gravitasional, membentuk awan gas, bintang, galaksi, dan objek-objek astronomi lainnya yang terpantau sekarang. Detail proses ini bergantung pada banyaknya dan jenis materi alam semesta. Terdapat tiga jenis materi yang memungkinkan, yakni materi gelap dingin, materi gelap panas, dan materi barionik. Pengukuran terbaik yang didapatkan dari WMAP menunjukkan bahwa bentuk materi yang dominan dalam alam semesta ini adalah materi gelap dingin. Dua jenis materi lainnya hanya menduduki kurang dari 18% materi alam semesta.[32]
Bukti-bukti independen yang berasal dari supernova tipe Ia dan radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis menyiratkan bahwa alam semesta sekarang didominasi oleh sejenis bentuk energi misterius yang disebut sebagai energi gelap, yang tampaknya menembus semua ruang. Pengamatan ini mensugestikan bahwa 72% total rapatan energi alam semesta sekarang berbentuk energi gelap. Ketika alam semesta masih sangat muda, kemungkinan besar ia telah disusupi oleh energi gelap, namun dalam ruang yang sempit dan saling berdekatan. Pada saat itu, gravitasi mendominasi dan secara perlahan memperlambat pengembangan alam semesta. Namun, pada akhirnya, setelah beberapa miliar tahun pengembangan, energi gelap yang semakin berlimpah menyebabkan pengembangan alam semesta mulai secara perlahan semakin cepat.
Segala evolusi kosmis yang terjadi setelah periode inflasioner ini dapat secara ketat dideskripsikan dan dimodelkan oleh model ΛCDM, yang menggunakan kerangka mekanika kuantum dan relativitas umum Einstein yang independen. Sebagaimana yang telah disebutkan, tiada model yang dapat menjelaskan kejadian sebelum 10−15 detik setelah kejadian ledakan dahsyat. Teori kuantum gravitasi diperlukan 
untuk mengatasi batasan ini.

Asumsi-asumsi dasar

Teori ledakan dahsyat bergantung kepada dua asumsi utama: universalitas hukum fisika dan prinsip kosmologi. Prinsip kosmologi menyatakan bahwa dalam skala yang besar alam semesta bersifat homogen dan isotropis.
Kedua asumsi dasar ini awalnya dianggap sebagai postulat, namun beberapa usaha telah dilakukan untuk menguji keduanya. Sebagai contohnya, asumsi bahwa hukum fisika berlaku secara universal diuji melalui pengamatan ilmiah yang menunjukkan bahwa penyimpangan terbesar yang mungkin terjadi pada tetapan struktur halus sepanjang usia alam semesta berada dalam batasan 10−5.[39]
Apabila alam semesta tampak isotropis sebagaimana yang terpantau dari bumi, prinsip komologis dapat diturunkan dari prinsip Kopernikus yang lebih sederhana. Prinsip ini menyatakan bahwa bumi, maupun titik pengamatan manapun, bukanlah posisi pusat yang khusus ataupun penting. Sampai dengan sekarang, prinsip kosmologis telah berhasil dikonfirmasikan melalui pengamatan pada radiasi latar mikrogelombang kosmis.

Metrik FLRW

Relativitas umum mendeskripsikan ruang-waktu menggunakan metrik yang menjelaskan jarak kedua titik yang terpisah satu sama lainnya. Titik ini, yang dapat berupa galaksi, bintang, ataupun objek lainnya, ditunjukkan menggunakan peta koordinat yang berada di keseluruhan ruang waktu. Prinsip kosmologis menyiratkan bahwa metrik ini haruslah homogen dan isotropis dalam skala yang besar. Satu-satunya metrik yang memenuhi persyaratan ini adalah metrik Riedmann–Lemaître–Robertson–Walker (metrik FLRW). Metrik ini mengandung faktor skala yang menentukan seberapa besar alam semesta berubah seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini memungkinkan kita untuk membuat sistem koordinat yang dapat dipilih dengan praktis, yaitu koordinat segerak (comoving coordinate). Dalam sistem koordinat ini, kisi koordinat berekspansi bersamaan dengan alam semesta yang mengembang, sehingga objek yang bergerak karena pengembangan alam semesta akan berada pada titik yang sama dalam sistem koordinat ini. Walaupun jarak koordinat (jarak segerak) kedua titik tetap konstan, jarak fisik antara dua titik akan meningkat sesuai dengan faktor skala alam semesta.[40]
Ledakan Dahsyat bukanlah kejadian penghamburan materi ke seluruh ruang semesta yang kosong. Melainkan ruang tersebut berekspansi seiring dengan waktu dan meningkatkan jarak fisik antara dua titik yang bersegerak. Karena metrik FLRW mengasumsikan distribusi massa dan energi yang merata, metrik ini hanya berlaku pada skala yang besar.

Horizon

Salah satu ciri penting pada ruang waktu Ledakan Dahsyat adalah keberadaan horizon. Oleh karena alam semesta memiliki usia yang terbatas, dan cahaya bergerak dengan kecepatan yang terbatas pula, maka akan terdapat berbagai kejadian pada masa lalu yang cahayanya belum mencapai kita. Hal ini akan membatasi kita dalam mengamati objek terjauh alam semesta (horizon masa lalu). Sebaliknya, karena ruang itu sendiri berekspansi dan objek yang semakin jauh akan menjauh semakin cepat, cahaya yang dipancarkan oleh kita tidak akan pernah mencapai objek jauh tersebut. Batasan ini disebut sebagai horizon masa depan, yang membatasi kejadian-kejadian pada masa depan yang kita dapat pengaruhi. Keberadaan dua horizon ini bergantung pada penjelasan detail model FLRW mengenai alam semesta kita. Pemahaman kita mengenai alam semesta pada waktu-waktu terawalnya menyiratkan terdapatnya horizon masa lalu, walaupun pandangan kita juga akan dibatasi oleh buramnya alam semesta pada waktu-waktu terawalnya. Oleh karena itu, kita tidak dapat memandang masa lalu lebih jauh daripada yang kita dapat pandang sekarang, walaupun horizon masa lalu akan menyusut dalam ruang. Jika pengembangan akan semesta terus berakselerasi, maka akan terdapat pula horizon masa depan..[41]

Bukti pengamatan

Terdapat beberapa bukti pengamatan langsung yang mendukung model Ledakan Dahsyat, yaitu pengembangan Hubble terpantau pada geseran merah galaksi, pengukuran mendetail pada latar belakang mikrogelombang kosmis, kelimpahan unsur-unsur ringan, dan distribusi skala besar beserta evolusi galaksi yang diprediksikan terjadi karena pertumbuhan gravitasional struktur dalam teori standar. Keempat bukti ini kadang-kadang disebut "empat pilar teori Ledakan Dahsyat".
Hukum Hubble dan pengembangan ruang
Pengamatan pada galaksi dan kuasar yang jauh menunjukkan bahwa objek-objek ini mengalami pergeseran merah, yakni bahwa pancaran cahaya objek ini telah bergeser menuju panjang gelombang yang lebih panjang. Pergeseran ini dapat dilihat dengan mengambil spektrum frekuensi suatu objek dan mencocokkannya dengan pola spektroskopi garis emisi ataupun garis absorpsi atom suatu unsur kimia yang berinteraksi dengan cahaya. Pergeseran ini secara merata isotropis, dan terdistribusikan merata di kesemuaan objek terpantau di seluruh arah pantauan. Jika geseran merah ini diinterpretasikan sebagai geseran Doppler, kecepatan mundur suatu objek dapat dikalkulasi. Untuk beberapa galaksi, dimungkinkan pula perkiraan jarak menggunakan tangga jarak kosmis. Ketika kecepatan mundur dipetakan terhadap jaraknya, hubungan linear yang dikenal sebagai hukum Hubble akan terpantau:[7]
v = H0D,
dengan
Hukum Hubble memiliki dua penjelasan, yaitu kita berada pada pusat pengembangan galaksi (yang tidak mungkin sesuai dengan prinsip Kopernikus), atapun alam semesta mengembang secara merata ke mana-mana. Pengembangan alam semesta ini diprediksikan dari relativitas umum oleh Alexander Friedmann pada tahun 1922[16] dan Georges Lemaître pada tahun 1927, sebelum Hubble melakukan analisi beserta pengamatannya pada tahun 1929.
Teori ini mempersyaratkan bahwa hubungan v = HD berlaku sepanjang masa, dengan D adalah jarak segerak, v adalah kecepatan mundur, dan v, H, D bervariasi seiring dengan mengembangnya alam semesta (oleh karenanya kita menulis H0 untuk menandakannya sebagai "konstanta" Hubble sekarang). Untuk jarak yang lebih kecil daripada alam semesta terpantau, geseran merah Hubble dapat dianggap sebagai geseran Doppler yang sesuai dengan kecepatan mundur v. Namun, geseran merah ini bukan geseran Doppler sejatinya, namun merupakan akibat dari pengembangan alam semesta antara waktu cahaya tersebut dipancarkan dengan waktu cahaya tersebut dideteksi.
Bahwa alam semesta mengalami pengembangan metrik ditunjukkan oleh bukti pengamatan langsung prisip kosmologis dan prinsip Kopernikus. Pergeseran merah yang terpantau pada objek-objek yang jauh sangat isotropis dan homogen. Hal ini mendukung prinsip kosmologis bahwa alam semesta tampaklah sama di keseluruhan arah pantauan. Apabila pergeseran merah yang terpantau merupakan akibat dari suatu ledakan di titik pusat yang jauh dari kita, maka pergeseran merahnya tidak akan sama di setiap arah pantauan.
Pengukuran pada efek-efek radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis terhadap dinamika sistem astrofisika yang jauh pada tahun 2000 membuktikan kebenaran prinsip Kopernikus, yakni bahwa Bumi bukanlah posisi pusat alam semesta.Radiasi yang berasal dari Ledakan Dahsyat ditunjukkan cukup hangat pada masa-masa awalnya di seluruh alam semesta. Pendinginan yang merata pada latar belakang mikrogelombang kosmis selama milyaran tahun hanya dapat dijelaskan apabila alam semesta mengalami pengembangan metrik dan kita tidak berada dekat dengan pusat suatu ledakan.

Radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis

Citra WMAP yang menunjukkan radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis
Semasa beberapa hari pertama alam semesta, alam semesta berada dalam keadaan kesetimbangan termal, dengan foton secara berkesinambungan dipancarkan dan kemudian diserap. Hal ini kemudian menghasilkan radiasi spektrum benda hitam. Seiring dengan mengembangnya alam semesta, temperatur alam semesta menurun sehingganya foton tidak lagi dapat diciptakan maupun dihancurkan. Temperatur ini masih cukup tinggi bagi elektron dan inti untuk terus berpisah tanpa terikat satu sama lainnya. Walau demikian, foton terus "dipantulkan" dari elektron-elektron bebas ini melalui suatu proses yang disebut hamburan Thompson. Oleh karena hamburan yang terjadi berulang-ulang, alam semesta pada masa-masa awalnya akan tampak buram oleh cahaya.
Ketika temperatur jatuh mencapai beberapa ribu Kelvin, elektron dan inti atom mulai bergabung membentuk atom. Proses ini disebut sebagai rekombinasi. Karena foton jarang dihamburkan dari atom netral, radiasi akan berhenti dipancarkan dari materi ketika hampir semua elektron telah berekombinasi. Proses ini terjadi 379.000 tahun setelah Ledakan Dahysat, dikenal sebagai zaman penghamburan terakhir. Foton-foton terakhir inilah yang kita pantau pada radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis pada masa sekarang. Pola-pola fluktuasi radiasi latar ini merupakan gambaran langsung alam semesta pada masa-masa awalnya. Energi foton yang berasal pada zaman penghamburan terakhir akan mengalami pergeseran merah seiring dengan mengembangnya alam semesta. Spektrum yang dipancarkan oleh foton ini akan sama dengan spektrum radiasi benda hitam, namun dengan temperatur yang menurun. Hal ini mengakibatkan radiasi foton ini bergeser ke daerah mikrogelombang. Radiasi ini diperkirakan terpantau di setiap titik pantauan di alam semesta dan datang dari semua arah dengan intensitas radiasi yang (hampir) sama.
Pada tahun 1964, Arno Penzias dan Robert Wilson secara tidak sengaja menemukan radiasi latar belakang kosmis ketika mereka sedang melakukan pemantau diagnostik menggunakan penerima mikrogelombang yang dimiliki oleh Laboratorium Bell. Penemuan mereka memberikan konfirmasi yang substansial mengenai prediksi radiasi latar bahwa radiasi ini bersifat isotropis dan konsisten dengan spektrum benda hitam pada 3 K. Penzias dan Wilson kemudian dianugerahi penghargaan Nobel atas penemuan mereka.

 
Spektrum latar belakang mikrogelombang kosmis yang diukur oleh intrumen FIRAS pada satelit COBE merupakan spektrum benda hitam berpresisi paling tinggi yang pernah diukur di alam.[46] Titik-titik data beserta ambang batas kesalahan pengukuran pada grafik di atas tertutup oleh kurva teoritis, menunjukkan kepresisian pengukuran yang sangat tinggi.
Pada tahun 1989, NASA meluncurkan satelit COBE (Cosmic Background Explorer - Penjelajah latar belakang kosmis). Hasil penemuan awal satelit ini yang dirilis pada tahun 1990 konsisten dengan prediksi Ledakan Dahsyat. COBE menemukan pula temperatur sisa alam semesta sebesar 2,726 K dan pada tahun 1992 untuk pertama kalinya mendeteksi fluktuasi (anisotropi) pada radiasi latar belakang mikrogelombang dengan tingkatan sebesar satu per 105.[29] John C. Mather dan George Smoot dianugerahi Nobel atas kepemimpinan mereka dalam proyek ini. Anisotropi latar belakang mikrogelombang kosmis diinvestigasi lebih lanjut oleh sejumlah besar eksperimen yang dilakukan di darat maupun menggunakan balon. Pada tahun 2000-2001, beberapa eksperimen, utamanya BOOMERanG, menemukan bahwa alam semesta hampir secara spasial rata dengan mengukur ukuran sudut anisotropi. (Lihat bentuk alam semesta.)
Pada awal tahun 2003, hasil penemuan pertama WMAP (Wilkinson Microwave Anisotropy Probe) dirilis, menghasilkan nilai terakurat beberapa parameter-parameter kosmologis. Wahana antariksa ini juga membantah beberapa model inflasi kosmis, namun masih konsisten dengan teori inflasi secara umumnya. WMAP juga mengonfirmasi bahwa selautan neutrino kosmis merembes di keseluruhan alam semesta. Ini merupakan bukti yang jelas bahwa bintang-bintang pertama memerlukan lebih dari setengah milyar tahun untuk menciptakan kabut kosmis.
Kelimpahan unsur-unsur primordial
Menggunakan model Ledakan Dahsyat, kita dapat memperkirakan konsentrasi helium-4, helium-3, deuterium dan litium-7 yang ada di seluruh alam semesta berbanding dengan jumlah hidrogen biasa. Kelimpahan kesemuaan unsur ini bergantung pada satu parameter, yakni rasio foton terhadap barion, yang nilainya dapat dihitung secara independen dari detail struktur fluktuasi latar belakang mikrogelombang kosmis. Rasio yang diprediksikan (rasio massa) adalah sekitar 0,25 untuk 4He/H, sekitar 10−3 untuk 2H/H, sekitar 10−4 untuk 3He/H dan sekitar 10−9 untuk 7Li/H.
Hasil prediksi ini sesuai dengan hasil pengukuran, paling tidak untuk kelimpahan yang diprediksikan dari nilai tunggal rasio barion terhadap foton. Kesesuaian ini cukup baik untuk deuterium, namun terdapat diskrepansi yang kecil untuk 4He dan 7Li. Dalam kasus helium dan litium, terdapat ketidakpastian sistematis yang cukup besar. Walau demikian, konsistensi prediksi ini secara umumnya memberikan bukti yang kuat akan terjadinya Ledakan Dahsyat.

Evolusi dan distribusi galaksi


 


Panorama langit yang menunjukkan distribusi galaksi di luar Bimasakti.
Pengamatan mendetail terhadap morfologi dan distribusi galaksi beserta kuasar memberikan bukti yang kuat akan terjadinya Ledakan Dahsyat. Perpaduan antara pengamatan dengan teori menunjukkan bahwa galaksi-galaksi beserta kuasar-kuasar pertama terbentuk sekitar satu milyar tahun setelah Ledakan Dahysyat. Sejak itu pula, berbagai struktur astronomi lainnya yang lebih besar seperti gugusan galaksi mulai terbentuk. Populasi bintang-bintang terus berevolusi dan menua, sehingga galaksi jauh (yang pemantaunnya menunjukkan keadaan galaksi tersebut pada masa awal alam semesta) tampak sangat berbeda dari galaksi dekat. Selain itu, galaksi-galaksi yang baru saja terbentuk tampak sangat berbeda dengan galaksi-galaksi yang terbentuk sesaat setelah Ledakan Dahsyat. Pengamatan ini membantah model keadaan tetap. Pengamatan pada pembentukan bintang, distribusi kuasar dan gaklasi, sesuai dengan simulasi pembentukan alam semesta yang diakibatkan oleh Ledakan Dahysat.[48][49]
Bukti-bukti lainnya
Setelah melalui beberapa perdebatan, umur alam semesta yang diperkirakan dari pengembangan Hubble dan radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis telah menunjukkan kecocokan yang sama (sedikit lebih tua) dengan usia bintang-bintang tertua alam semesta.
Prediksi bahwa temperatur radiasi latar belakang mikrogelombang kosmis lebih tinggi pada masa lalunya telah didukung secara eksperimental dengan mengamati garis-garis emisi kabut gas yang sensitif terhadap temperatur pada pergeseran merah yang tinggi. Prediksi ini juga menyiratkan bahwa amplitudo dari efek Sunyaev–Zel'dovich dalam gugusan galaksi tidak tergantung secara langsung pada geseran merah.
Ciri, persoalan, dan masalah
Walaupun sekarang ini teori Ledakan Dahsyat mendapatkan dukungan yang luas dari para ilmuwan, dalam sejarahnya, berbagai persaoalan dan masalah pada teori ini pernah memicu kontroversi ilmiah mengenai model mana yang paling baik dalam menjelaskan pengamatan kosmologis yang ada. Banyak dari persoalan dan masalah teori Ledakan Dahsyat telah mendapatkan solusinya, baik melalui modifikasi pada teori itu sendiri maupun melalui pengamatan lebih lanjut yang lebih baik.
Gagasan-gagasan inti Ledakan Dahsyat yang terdiri dari pengembangan alam semesta, keadaan awal alam semesta yang panas, pembentukan helium, dan pembentukan galaksi, diturunkan dari banyak pengamatan yang tak tergantung pada model kosmologis mana pun. Walau bagaimanapun, model cermat Ledakan Dahsyat memprediksikan berbagai feomena fisika yang tak pernah terpantau di Bumi maupun terdapat pada Model Standar fisika partikel. Utamanya, materi gelap merupakan topik investigasi ilmiah yang mendapatkan perhatian yang luas.[50] Persoalan lainnya seperti masalah halo taring dan masalah galaksi katai dari materi gelap dingin tidak sefatal penjelasan materi gelap karena penyelesaian atas masalah tersebut telah ada dan hanya memerlukan perbaikan lebih lanjut pada teori Ledakan Dahsyat. Energi gelap juga merupakan topik investigasi yang menarik perhatian ilmuwan, namun tidaklah jelas apakah pendeteksian langsung energi gelap dimungkinkan atau tidak.[51]
Di sisi lain, inflasi kosmos dan bariogenesis masih sangat spekulatif. Keduanya sangat penting dalam menjelaskan keadaan awal alam semesta, namun tidak dapat digantikan dengan penjelasan alternatif lainnya tanpa mengubah teori Ledakan Dahsyat secara keseluruhan.[cat 3] Pencarian akan penjelasan yang tepat atas fenomena-fenomena tersebut menjapada masalah yang belum terpecahkan dalam fisika.
Masalah horizon
Masalah horizon mencuat diakibatkan oleh premis bahwa informasi tidak dapat bergerak melebihi kecepatan cahaya. Dengan usia alam semesta yang terbatas, akan terdapat horizon partikel yang memisahkan dua daerah dalam ruang alam semesta yang tidak memiliki hubungan kontak sebab akibat.[52] Isotropi radiasi latar yang terpantau menimbulkan masalah, karena apabila alam semesta telah didominasi oleh radiasi ataupun materi sepanjang waktunya di mulai dari masa penghamburan terakhir, horizon partikel pada masa itu haruslah berkoresponden sekitar 2 derajat di langit, dan tidak akan terdapat mekanisme apapun yang menyebabkan daerah lainnya yang dibatasi partikel horizon untuk memiliki temperatur yang sama.
Penyelesaian atas inkonsistensi ini dijelaskan oleh teori inflasi, yakni medan energi skalar yang isotropis dan homogen mendominasi alam semesta pada periode waktu terawalnya (sebelum bariogenesis). Semasa inflasi, alam semesta mengalami pengembangan eksponensial dan horizon partikel berkembang lebih cepat daripada yang kita asumsikan sebelumnya, sehingga daerah yang sekarang ini berada berseberangan dengan alam semesta terpantau akan melangkaui partikel horizon satu sama lainnya . Isotropi radiasi latar yang terpantau kemudian akan menunjukkan bahwa daerah yang lebih luas ini pernah berada dalam hubungan kontak sebab akibat sebelum terjadinya inflasi.
Prinsip ketidakpastian Heisenberg memprediksikan bahwa semasa fase inflasi, akan terdapat fluktuasi termal kuantum. Fluktuasi ini berperan sebagai cikal bakal keseluruhan struktur alam semesta. Teori inflasi memprediksikan bahwa fluktuasi ini bersifat invariansi skala dan berdistribusi normal, sebagaimana yang dikonfirmasikan oleh pengukuran radiasi latar.

Masalah kerataan alam semesta

Geometri keseluruhan alam semesta ditentukan oleh parameter kosmologis omega, apakah omega lebih kecil, sama dengan, ataupun lebih besar daripada satu.
Masalah kerataan alam semesta adalah masalah pengamatan yang diasosiasikan dengan metrik Friedmann–Lemaître–Robertson–Walker.[52] Alam semesta bisa saja memiliki kelengkungan spasial yang positif, negatif, maupun nol tergantung pada rapatan energinya. Kelengkungan alam semesta negatif apabila rapatan energinya lebih kecil daripada rapatan kritisnya, positif apabila lebih besar darinya, dan nol (rata) apabila sama besar dengannya. Permasalahnnya adalah bahwa rapatan energi alam semesta terus meningkat dan menjauhi nilai rapatan kritis walaupun alam semesta tetap hampir rata.[cat 4] Fakta bahwa alam semesta belum mencapai Kematian Kalor maupun Remukan Besar setelah milyaran tahun memerlukan penjelasan yang memadai, karena beberapa menit setelah Ledakan Dahsyat, massa jenis alam semesta haruslah di bawah satu per 1014 dari nilai kritisnya untuk tetap ada sampai sekarang.[53]
Penyelesaian masalah ini diselesaikan oleh teori inflasi. Semasa inflasi, ruang waktu mengembang sedemikiannya kelengkungannya dimuluskan. Sehingganya, diteorikan bahwa inflasi ini mendorong alam semesta untuk tetap hampir rata dengan rapatan alam semesta yang hampir sama dengan nilai rapatan kritisnya.
Monopol magnetik

Persoalan monopol magnetik dicetuskan pada akhir tahun 1970-an. Teori manunggal akbar memprediksikan kecacatan topologi ruang yang akan bermanifestasi menjadi magnetik monopol. Benda ini akan dihasilkan secara efisien pada awal alam semesta yang panas, menghasilkan kerapatan yang lebih tinggi daripada yang konsisten dengan pemantauan . Masalah ini diselesaikan pula oleh inflasi kosmos, yang menghilangkan semua titik-titik cacat dari alam semesta terpantau sebagaimana ia mendorong geometri alam semesta menjadi rata.[52]
Resolusi alternatif terhadap masalah horizon, kerataan, dan monopol magnetik diberikan pula oleh hipotesis kelengkungan Weyl.[54][55]
Asimetri barion
Sampai sekarang masih belum dimengerti mengapa alam semesti memiliki jumlah materi yang lebih banyak daripada antimateri.[35] Umumnya diasumsikan bahwa ketika alam semesta masih berusia muda dan sangat panas, ia berada dalam kondisi kesetimbangan dan mengandung sejumlah barion dan antibarion yang sama besarnya. Namun, hasil pengamatan menyiratkan bahwa alam semesta, termasuk pula yang berada di tempat terjauh, hampir semuanya terdiri dari materi. Proses misterius yang dikenal sebagai "bariogenesis" menciptakan asimetri ini. Agar bariogenesis dapat terjadi, syarat-syarat kondisi Sakharov harus dipenuhi. Kondisi ini mempersyaratkan bahwa jumlah barion tidak kekal, simetri-C dan simetri-CP dilanggar, serta alam semesta menyimpang dari kesetimbangan termodinamika. Semua kondisi ini terjadi dalam Model Standar, namun efeknya tidaklah cukup kuat untuk menjelaskan asimetri barion.

Usia gugusan globular

Pada pertengahan tahun 1990-an, pengamatan pada gugusan-gugusan globular menunjukkan hasil yang tampaknya tidak konsisten dengan Ledakan Dahsyat. Simulasi komputer yang cocok dengan pemantauan pada populasi gugusan globular bintang menunjukkan bahwa usia gugusan-gugusan ini sekitar 15 milyar tahun. Hal ini berkontradiksi dengan usia alam semesta yang berusia 13,7 miltar tahun. Persoalan ini umumnya diselesaikan pada akhir tahun 1990-an dengan simulasi komputer yang baru yang melibatkan efek pelepasan massa yang diakibatkan oleh angin bintang. Simulasi baru ini menunjukkan usia gugusan globular yang lebih muda. Walau demikian, masih terdapat pertanyaan yang meragukan seberapa akurat usia gugusan ini diukur. Tetapi yang jelas ada bahwa objek luar angkasa ini merupakan salah satu yang tertua di alam semesta.

Materi gelap

Diagram yang menunjukkan komposisi berbagai komponen alam semesta menurut model ΛCDM  – kira-kira 95% komposisi alam semesta berbentuk materi gelap dan energi gelap
Semasa tahun 1970-an dan 1980-an, berbagai pengamatan menunjukkan bahwa adanya ketidakcukupan materi terpantau dalam alam semesta yang dapat digunakan untuk menjelaskan kekuatan gaya gravitasi antar dan intra galaksi. Hal ini kemudian memunculkan gagasan bahwa 90% materi alam semesta berupa materi gelap yang tidak memancarkan cahaya maupun berinteraksi dengan materi barion. Selain itu, asumsi bahwa alam semesta terdiri dari materi normal akan menghasilkan prediksi yang inkonsisten dengan hasil pengmatan. Khususnya, alam semesta sekarang ini tampak lebih berbongkah-bongkah dan mengandung lebih sedikit deuterium. Hal ini tidak dapat dijelaskan tanpa keberadaa materi gelap. Manakala pada awalnya materi gelap ini cukup kontroversial, keberadaannya telah terindikasikan dalam berbagai pengamatan, meliputi anisotropi pada radiasi latar belakang mikrogelombang, dispersi kecepatan gugusan galaksi, kajian pada pelensaan gravitasi, dan pengukuran sinar-X pada gugusan galaksi.[58]
Bukti keberadaan materi gelap kebanyakan berasal dari pengaruh gravitasi materi ini terhadap materi lain. Sampai saat ini, belum ada partikel materi gelap yang telah terpantau di laboratorium.

Energi gelap

Pengukuran pada hubungan geseran merah dengan magnitudo semu dari supernova tipe Ia mengindikasikan bahwa pengembangan alam semesta telah berakselerasi sejak alam semesta berusia setengah kali lebih muda dari sekarang. Untuk menjelaskan akselerasi ini, relativitas umum mempersyaratkan bahwa kebanyakan energi dalam alam semesta terdiri dari sebuah komponen yang bertekanan negatif, atau diistilahkan "energi gelap". Energi gelap diindikasikan oleh sederetan bukti. Pengukuran pada latar belakang mikrogelombang kosmis mengindikasikan bahwa alam semesta hampir secara spasial rata, sehingganya menurut relativitas umum, alam semesta haruslah memiliki energi/massa yang hampir sama dengan rapatan kritisnya. Namun, rapatan alam semesta yang dihitung dari penggugusan gravitasional menunjukkan bahwa ia hanya sekitar 30% dari rapatan kritisnya.[20] Oleh karena energi gelap tidak menggugus seperti energi lainnya, energi gelap dapat menjelaskan rapatan energi yang "hilang" itu.
Tekanan negatif merupakan salah satu ciri/sifat dari energi vakum. Namun sifat persis energi gelap masih misterius. Hasil ekperimen dari WMAP pada tahun 2008 yang menggabungkan data dari radiasi latar belakang dan sumber data lainnya menunjukkan bahwa rapatan massa/energi alam semesta utamanya terdiri dari 73% energi gelap, 23% materi gelap, 4,6% materi biasa, dan kurang dari 1%-nya neutrino.[32] Rapatan energi dalam materi menurun seiring dengan mengembangnya alam semesta, tetapi rapatan energi gelap tetap (hampir) konstan. Oleh karenanya, materi mendominasi keseluruhan energi total alam semesta pada masa lalunya. Persentase ini akan menurun pada masa depan seiring dengan semakin dominannya energi gelap.

Masa depan menurut teori Ledakan Dahsyat

Sebelum diindikasikannya energi gelap, para kosmologis umumnya mengajukan dua skenario masa depan alam semesta. Jika rapatan massa alam semesta lebih besar daripada rapatan kritisnya, maka alam semesta akan mencapai ukuran maksimum dan kemudian mulai runtuh. Alam semesta kemudian menjadi lebih padat dan lebih panas kembali, dan pada akhirnya akan mencapai Remukan Besar.[41] Sebaliknya, apabila rapatan alam semesta sama atau lebih kecil daripada rapatan kritisnya, pengembangan alam semesta akan melambat namun tidak akan pernah berhenti. Pembentukan bintang-bintang kemudian akan berhenti karena semua gas antar bintang di setiap galaksi telah habis dikonsumsi; bintang-bintang yang ada kemudian akan terus menjalani pembakaran nuklir menjadi katai putih, bintang neutron, dan lubang hitam. Dengan sangat perlahan, tumbukan antara katai putih, bintang neutron, dan lubang hitam akan mengakibatkan pembentukan lubang hitam yang lebih besar. Temperatur rata-rata alam semesta akan secara asimtotis mencapai nol mutlak (Pembekuan Besar). Selain itu, apabila proton tidak stabil, maka materi-materi barion akan menghilang dan menyisakan hanya radiasi beserta lubang hitam. Pada akhirnya pula, lubang-lubang hitam yang terbentuk akan menguap dengan memancarkan radiasi Hawking. Entropi alam semesta akan meningkat sampai dengan taraf tiada lagi bentuk energi lain bisa didapatkan dari entropi tersebut. Keadaan ini disebut sebagai kematian kalor alam semesta.
Pengamatan modern menunjukkan bahwa pengembangan alam semesta terus berakselerasi, ini berarti bahwa semakin banyak bagian alam semesta teramati sekarang akan terus melewati horizon peristiwa kita dan tidak akan pernah berkontak dengan kita lagi. Akibat akhir dari pengembangan yang terus meningkat ini tidak diketahui. Model ΛCDM alam semesta mengandung energi gelap dalam bentuk konstanta kosmologi. Teori ini mensugestikan bahwa hanya sistem yang terikat secara gravitasional saja, misalnya galaksi, yang akan terus terikat bersama. Namun, galaksi-galaksi inipun akan mencapai kematian kalor seiring dengan mengembang dan mendinginnya alam semesta. Penjelasan alternatif lainnya yang disebut teori energi fantom mensugestikan bahwa pada akhirnya gugusan-gugusan galaksi, bintang, planet, atom, inti atom, dan materi akan terkoyak oleh pengembangan yang terus meningkat, dan keadaan ini disebut sebagai Koyakan Besar.

Fisika spekulatif melangkaui teori Ledakan Dahsyat
http://bits.wikimedia.org/static-1.20wmf5/skins/common/images/magnify-clip.png
Konsep pengembangan alam semesta, di mana ruang (termasuk bagian tak teramati alam semesta) di wakili oleh potongan-potongan lingkaran seiring dengan berjalannya waktu.
Manakala model Ledakan Dahsyat telah cukup mapan dalam bidang kosmologi, sangat besar kemungkinannya model ini akan terus diperbaiki pada masa depan. Sampai sekarang, sangat sedikit sekali yang kita ketahui mengenai masa-masa awal sejarah alam semesta. Teorema singularitas Penrose-Hawking mempersyaratkan keberadaan singulartias pada awal kemunculan waktu. Namun, teori ini mengasumsikan bahwa teori relativitas umum berlaku, walaupun teori relativitas umum haruslah tidak berlaku sebelum alam semesta mencapai temperatur Planck. Penerapan teori gravitasi kuantum yang tepat mungkin dapat menghindari keberadaan singularitas ini.[60]
Terdapat beberapa gagasan beserta hipotesis tak teruji yang diajukan:
  • Model keadaan Hartle-Hawking, yang mana keseluruhan ruang waktu terbatas; Ledakan Dahsyat mewakili batasan waktu, namun tidak memerlukan keberadaan singularitas.[61]
  • Model kekisi Ledakang Dahsyat[62] menyatakan bahwa alam semesta pada saat Ledakan Dahsyat terdiri atas sejumlah kekisi fermion yang terbatas yang merambah domain fundamental, sehingganya ia memiliki simetri rotasional, translasional, dan tolok. Simetri ini merupakan simetri terbesar yang dimungkinkan, sehingganya memiliki entropi terendah dari keadaan manapun.
  • Model kosmologi membran[63] yang mengajukan bahwa inflasi terjadi diakibatkan oleh pergerakan membran-membran dalam teori dawai; model pra-Ledakan Dahsyat; model ekpirotik, yang mana Ledakan Dahsyat merupakan akibat tumbukan membran-membran; dan model siklik yang sama dengan model ekpirotik tetapi tumbukan terjadi secara berkala. Dalam model siklik, Ledakan Dahsyat didahului oleh Remukan Besar dan alam semesta terus menerus melalui siklus ini dari satu proses ke proses lainnya.[64][65][66]
Beberapa gagasan memandang Ledakan Dahsyat sebagai suatu kejadian yang terjadi di alam semesta yang lebih besar dan lebih tua dan bukanlah kebermulaan alam semesta.
Penafsiran keagamaan
Teori Ledakan Dahsyat adalah teori ilmiah, sehingganya ia tergantung pada kecocokan teori ini dengan pengamatan yang ada. Namun, sebagai suatu teori, ia mengalamatkan asal usul realitas dan alam semesta, yang pada akhirnya memiliki implikasi teologis dan filosofis akan konsep penciptaan ex nihilo.[67][68][69][70][71] Pada tahun 1920-an dan 1930-an, hampir semua kosmologis cenderung mendukung model keadaan tetap alam semesta dan beberapa kosmologis mengeluh bahwa adanya permulaan waktu dalam Ledakan Dahsyat memasukkan konsep-konsep keagamaan ke dalam ilmu fisika; keberatan ini terus disuarakan oleh para pendukung teori keadaan tetap.[72] Kecurigaan ini lebih menjadi-jadi oleh karena pengusul teori Ledakan Dahsyat, Monsignor Georges Lemaître, adalah seorang biarawan Katolik Roma.[73] Paus Pius XII pada pertemuan Pontificia Academia Scientiarum tanggal 22 November 1951 mendeklarasikan bahwa teori Ledakan Dahsyat sesuai dengan konsep penciptaan Katolik.[74]
Sejak diterimanya teori Ledakan Dahsyat sebagai paradigma kosmologi fisika yang dominan, terdapat berbagai tanggapan yang berbeda dari kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda akan implikasi teori ini terhadap doktrin penciptaan keagamaan mereka. Beberapa menerima bukti-bukti ilmiah teori Ledakan Dahsyat, yang lainnya berusaha merekonsiliasi teori ini dengan ajaran agama mereka, dan ada pula yang menolak maupun mengabaikan bukti teori ini.[75]
Kesalahan umum
Orang sering kali salah mengartikan dentuman besar sebagai suatu ledakan yang menghamburkan materi ke ruang hampa. Padahal dentuman besar bukanlah suatu ledakan, bukan penghamburan materi ke ruang kosong, melainkan suatu proses pengembangan alam semesta itu sendiri. Dentuman besar adalah proses pengembangan ruang-waktu. Bahkan istilah 'ledakan besar' sendiri merupakan istilah salah kaprah.
Catatan
  1. ^ Dilaporkan secara meluas bahwa Hoyle bermaksud menggunakan istilah ini secara peyoratif. Namun, Hoyle kemudian membantah hal ini, mengatakan bahwa ini hanyalah untuk menekankan perbedaan antara dua teori ini bagi para pendengar radio. Lihat Bab 9 The Alchemy of the Heavens oleh Ken Croswell, Anchor Books, 1995.
  2. ^ Tiada konsensus seberapa lama fase the Big Bang ada. Biasanya paling tidak beberapa menit awal kejadian ledakan (sewaktu helium disintesis) dikatakan terjadi "sewaktu ledakan dahsyat.
  3. ^ Jika inflasi benar terjadi, bariogenesis juga pasti pernah terjadi, tetapi tidak sebaliknya.
  4. ^ Energi gelap digunakan untuk menjelaskan kerataan alam semesta; walau demikian, alam semesta tetap rata selama beberapa milyar tahun bahkan sebelum rapatan energi gelap cukup signifikan untuk mempertahankan kerataan alam semesta.
Referensi
1.      ^ Komatsu, E. (2009). "Five-Year Wilkinson Microwave Anisotropy Probe Observations: Cosmological Interpretation". Astrophysical Journal Supplement 180: 330. doi:10.1088/0067-0049/180/2/330. Bibcode2009ApJS..180..330K.
2.      ^ Menegoni, Eloisa et al. (2009), "New constraints on variations of the fine structure constant from CMB anisotropies", Physical Review D 80 (8), doi:10.1103/PhysRevD.80.087302
3.      ^ The Exploratorium (2000). "Origins: CERN: Ideas: The Big Bang". Diakses pada 3 September 2010.
4.      ^ Jonathan Keohane (November 08, 1997). "Big Bang theory". NASA's Imagine the Universe: Ask an astrophysicist.. Diakses pada 3 September 2010.
5.      ^ Feuerbacher, B.; Scranton, R. (25 January 2006). "Evidence for the Big Bang". TalkOrigins. Diakses pada 16 Oktober 2009.
6.      ^ Wright, E.L. (9 May 2009). "What is the evidence for the Big Bang?". Frequently Asked Questions in Cosmology. UCLA, Division of Astronomy and Astrophysics. Diakses pada 16 Oktober 2009.
8.      ^ Gibson, C.H. (21 January 2001). "The First Turbulent Mixing and Combustion". IUTAM Turbulent Mixing and Combustion.
9.      ^ Gibson, C.H. (2001). "Turbulence And Mixing In The Early Universe". arΧiv:astro-ph/0110012 [astro-ph].
10.  ^ Gibson, C.H. (2005). "The First Turbulent Combustion". arΧiv:astro-ph/0501416 [astro-ph].
11.  ^ "'Big bang' astronomer dies". BBC News. 22 Agustus 2001. Diakses pada 7 Desember 2008.
12.  ^ Croswell, K. (1995). "Chapter 9". The Alchemy of the Heavens. Anchor Books.
13.  ^ Mitton, S. (2005). Fred Hoyle: A Life in Science. Aurum Press. hlm. 127.
14.  ^ Slipher, V.M. "The Radial Velocity of the Andromeda Nebula". Lowell Observatory Bulletin 1: 56–57.
16.  ^ a b Friedman, A.A. (1922). "Über die Krümmung des Raumes". Zeitschrift für Physik 10: 377–386. doi:10.1007/BF01332580. (Jerman)
(Terjemahan Inggris di: Friedman, A. (1999). "On the Curvature of Space". General Relativity and Gravitation 31: 1991–2000. doi:10.1023/A:1026751225741.)
17.  ^ a b Lemaître, G. (1927). "Un univers homogène de masse constante et de rayon croissant rendant compte de la vitesse radiale des nébuleuses extragalactiques". Annals of the Scientific Society of Brussels 47A: 41. (Perancis)
18.  ^ Lemaître, G. (1931). "The Evolution of the Universe: Discussion". Nature 128: 699–701. doi:10.1038/128704a0.
19.  ^ Christianson, E. (1995). Edwin Hubble: Mariner of the Nebulae. New York (NY): Farrar, Straus and Giroux. ISBN 0374146608.
20.  ^ a b Peebles, P.J.E.; Ratra, Bharat (2003). "The Cosmological Constant and Dark Energy". Reviews of Modern Physics 75: 559–606. doi:10.1103/RevModPhys.75.559. arXiv:astro-ph/0207347.
21.  ^ Milne, E.A. (1935). Relativity, Gravitation and World Structure. Oxford (UK): Oxford University Press. LCCN 35-19093.
22.  ^ Tolman, R.C. (1934). Relativity, Thermodynamics, and Cosmology. Oxford (UK): Clarendon Press. LCCN 34-32023.
Reissued (1987). New York (NY): Dover Publications ISBN 0-486-65383-8.
26.  ^ Alpher, R.A. (1948). "Evolution of the Universe". Nature 162: 774. doi:10.1045/march2004-featured.collection.
27.  ^ Singh, S. "Big Bang". Diakses pada 28 Mei 2007.
29.  ^ a b Boggess, N.W., et al.; Mather, J. C.; Weiss, R.; Bennett, C. L.; Cheng, E. S.; Dwek, E.; Gulkis, S.; Hauser, M. G. et al. (1992). "The COBE Mission: Its Design and Performance Two Years after the launch". Astrophysical Journal 397: 420. doi:10.1086/171797.
30.  ^ a b Spergel, D.N., et al. (2006). Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) Three Year Results: Implications for Cosmology. Diakses pada 27 Mei 2007.
31.  ^ Hawking, S.W. (1973). The Large-Scale Structure of Space-Time. Cambridge (UK): Cambridge University Press. ISBN 0-521-20016-4.
33.  ^ Guth, A.H. (1998). The Inflationary Universe: Quest for a New Theory of Cosmic Origins. Vintage Books. ISBN 978-0099959502.
34.  ^ Schewe, P. (2005). "An Ocean of Quarks". Physics News Update (American Institute of Physics) 728 (1). Diakses pada 27 Mei 2007.
35.  ^ a b Kolb and Turner (1988), chapter 6
36.  ^ Kolb and Turner (1988), chapter 7
37.  ^ a b c Kolb and Turner (1988), chapter 4
38.  ^ Peacock (1999), chapter 9
39.  ^ Ivanchik, A.V. (1999). "The Fine-Structure Constant: A New Observational Limit on Its Cosmological Variation and Some Theoretical Consequences". Astronomy and Astrophysics 343: 459. Bibcode1999A&A...343..439I.
40.  ^ d'Inverno, R. (1992). "Chapter 23". Introducing Einstein's Relativity. Oxford University Press. ISBN 0-19-859686-3.
41.  ^ a b Kolb and Turner (1988), chapter 3
42.  ^ Gladders, M.D. (2007). "Cosmological Constraints from the Red-Sequence Cluster Survey". The Astrophysical Journal 655 (1): 128–134. doi:10.1086/509909. Bibcode2007ApJ...655..128G.
44.  ^ Peacock (1999), chapter 3
45.  ^ Srianand, R.; Petitjean, P.; Ledoux, C.. "The microwave background temperature at the redshift of 2.33771". Nature 408 (6815): 931–935. Bibcode2000Natur.408..931S. Lay summary – European Southern Observatory (1 Desember 2000).
46.  ^ White, M. (1999). "Anisotropies in the CMB". Proceedings of the Los Angeles Meeting, DPF 99, UCLA
47.  ^ Steigman, G. (2005). "Primordial Nucleosynthesis: Successes And Challenges". arΧiv:astro-ph/0511534 [astro-ph].
48.  ^ Bertschinger, E. (2001). "Cosmological Perturbation Theory and Structure Formation". arΧiv:astro-ph/0101009 [astro-ph].
49.  ^ Bertschinger, E. (1998). "Simulations of Structure Formation in the Universe". Annual Review of Astronomy and Astrophysics 36 (1): 599–654. doi:10.1146/annurev.astro.36.1.599. Bibcode1998ARA&A..36..599B.
52.  ^ a b c Kolb and Turner (1988), chapter 8
53.  ^ Dicke, R.H.. "The big bang cosmology—enigmas and nostrums". Hawking, S.W. (ed); Israel, W. (ed) General Relativity: an Einstein centenary survey: 504–517, Cambridge University Press
54.  ^ Penrose, R. (1979). "Singularities and Time-Asymmetry". Hawking, S.W. (ed); Israel, W. (ed) General Relativity: An Einstein Centenary Survey: 581–638, Cambridge University Press
55.  ^ Penrose, R. (1989). "Difficulties with Inflationary Cosmology". Fergus, E.J. (ed) Proceedings of the 14th Texas Symposium on Relativistic Astrophysics: 249–264, New York Academy of Sciences. DOI:10.1111/j.1749-6632.1989.tb50513.x
56.  ^ Sakharov, A.D. (1967). "Violation of CP Invariance, C Asymmetry and Baryon Asymmetry of the Universe". Zhurnal Eksperimentalnoi i Teoreticheskoi Fiziki, Pisma 5: 32. (Rusia)
57.  ^ Navabi, A.A.; Riazi, N. (2003). "Is the Age Problem Resolved?". Journal of Astrophysics and Astronomy 24 (1–2): 3. doi:10.1007/BF03012187. Bibcode2003JApA...24....3N.
58.  ^ Keel, B.. "Dark Matter". Diakses pada 28 Mei 2007.
59.  ^ Caldwell, R.R; Kamionkowski, M.; Weinberg, N. N. (2003). "Phantom Energy and Cosmic Doomsday". Physical Review Letters 91 (7): 071301. doi:10.1103/PhysRevLett.91.071301. PMID 12935004. Bibcode2003PhRvL..91g1301C.
60.  ^ Hawking, S.W.; Ellis, G.F.R. (1973). The Large Scale Structure of Space-Time. Cambridge (UK): Cambridge University Press. ISBN 0-521-09906-4.
61.  ^ Hartle, J.H.; Hawking, S. (1983). "Wave Function of the Universe". Physical Review D 28 (12): 2960. doi:10.1103/PhysRevD.28.2960. Bibcode1983PhRvD..28.2960H.
62.  ^ Bird, Paul (2011). "Determining the Big Bang State Vector".
63.  ^ Langlois, D. (2002). "Brane Cosmology: An Introduction". arΧiv:hep-th/0209261 [hep-th].
64.  ^ Linde, A. (2002). "Inflationary Theory versus Ekpyrotic/Cyclic Scenario". arΧiv:hep-th/0205259 [hep-th].
65.  ^ Than, K., "Recycled Universe: Theory Could Solve Cosmic Mystery ", (Space.com). Diakses pada 3 Juli 2007.
66.  ^ Kennedy, B.K. (2007). "What Happened Before the Big Bang?". Diarsipkan dari yang asli pada 4 Juli 2007. Diakses pada 3 Juli 2007.
67.  ^ Russel, R.J. (2008). Cosmology: From Alpha to Omega. Fortress Press. ISBN 9780800662738. "Amazingly, some secularists attribute to t=0 a direct implication. The June 1978 issue of the New York Times contained an article by NASA's Robert Jastrow, an avowed agnostic, entitled "Found God?" Here Jastrow depicts the theologians to be "delighted" that astronomical evidence "leads to a biblical view of Genesis." Though claiming to be agnostic, he argued without reservation for the religious significance of t=0: It is beyond science and leads to some sort of creator."
68.  ^ Corey, M. (1993). God and the New Cosmology. Rowman & Littlefield. ISBN 9780847678020. "Indeed, creation ex nihilo is a fundamental tenet of orthodox Christian theology. Incredibly enough, modern theoretical physicists have also speculated that the universe may have been produced through a sudden quantum appearance "out of nothing." Physicist Paul Davies has claimed that the particular physicis involved in the Big Bang necessitates creation ex nihilo."
69.  ^ Lerner, E.J. (1992). The Big Bang Never Happened: A Startling Refutation of the Dominant Theory of the Origin of the Universe. Vintage Books. ISBN 9780679740490. "From theologians to physicists to novelists, it is widely believed that the Big Bang theory supports Christian concepts of a creator. In February of 1989, for example, the front-page article of the New York Times Book Review argued that scientists and novelists were returning to God, in large part through the influence of the Big Bang."
70.  ^ Manson, N.A. (1993). God and Design: The Teleological Argument and Modern Science. Routledge. ISBN 9780415263443. "The Big Bang theory strikes many people as having theological implications, as shown by those who do not welcome those implications."
71.  ^ Davis, J.J. (2002). The Frontiers of Science & Faith. InterVarsity Press. ISBN 9780830826643. "Genesis' concept of a singular, ex nihilo beginning of the universe essentially stands alone among the cosmolgies of the ancient world and exhibts, at this point, convergence with recent big bang cosmological models."
72.  ^ Kragh, H. (1996). Cosmology and Controversy. Princeton (NJ): Princeton University Press. ISBN 0-691-02623-8.
75.  ^ Wright, E.L (24 May 2009). "Cosmology and Religion". Ned Wright's Cosmology Tutorial. Diakses pada 15 Oktober 2009.
Buku
Bacaan lanjut
Pranala luar
http://id.wikipedia.org/wiki/Dentuman_dahsyat

 

Popular Posts

© Copyright 2010. yourblogname.com . All rights reserved | yourblogname.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com