23 Jun 2012

Problematika Kebijakan Kurikulum Pendidikan


Fenomena kebijakan pemerintah tentang kurikulum pendidikan menjadi problematika bagi guru, baik guru kelas maupun guru mata pelajaran, terutama bagi guru di sekolah dasar.
BUKAN hal yang mudah menentukan sikap ideal dalam menghadapi kebijakan pemerintah mengenai sering berubahnya kurikulum pendidikan. Tahun ajaran 2006/2007 ini muncul kurikulum baru yaitu KTSP (kurikulum tingkat satuan pelajaran). KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dibuat oleh sekolah yang mengacu pada standar isi yang diterbitkan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang dilaksanakan oleh setiap pendidikan berdasarkan potensi dan kebutuhan satuan pendidikan. 

Dalam kurikulum baru ini, pihak sekolah memiliki hak dan wewenang membuat dan mengembangkan kurikulum tersebut. Dalam hal ini tentu para guru yang harus aktif dan kreatif dalam menentukan langkah-langkah pembuatan dan pengembangan kurikulum tersebut. Karena dalam KTSP, guru yang berhak sepenuhnya menentukan penilaian kepada anak didik, bukan pihak-pihak yang tidak tahu tentang kualitas kemampuan anak didik (student’s skill quality).
Meskipun KTSP tidak jauh berbeda dengan kurikulum 2004, tapi hal ini berdampak pada metode pengajaran dan penyampaian materi yang sulit untuk mencapai tahap kesempurnaan. Hal ini disebabkan sering berubahnya kurikulum, sedangkan implementasi kurikulum lama belum sepenuhnya dimengerti dan dipahami, apalagi dilaksanakan dengan baik.
Kurikulum baru dirasakan juga oleh penulis sebagai guru mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar.
Penulis menilai ada 4 faktor pendukung agar KTSP bisa terimplemen-tasikan dengan baik dalam pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar. Di antaranya, (1) faktor guru. Proses pembelajaran akan terlaksana dengan baik jika guru memiliki kompetensi dan profesional di bidangnya. Tapi pada kenyataannya, saat ini masih banyak guru bahasa Inggris yang tidak kompeten dan profesional dalam mengajar bahasa Inggris atau hanya sekadar punya tekad, “saya suka dan mau belajar bahasa Inggris”. Akhirnya, hasil pembelajaran pun tidak sesuai dengan target dan aturan yang ada dalam kurikulum.
(2) Faktor kebijakan pemerintah. Pemerintah harus menyejajarkan mata pelajaran bahasa Inggris dengan mata pelajaran lainnya. Bahasa Inggris jangan hanya dijadikan sebagai muatan lokal dan mungkin boleh dikatakan mata pelajaran yang hukumnya “setengah wajib”. Sedangkan di era globalisasi dan instan sekarang ini, anak didik mulai dari usia SD bahkan TK sudah dituntut bersaing dalam mata pelajaran bahasa Inggris.
(3) Faktor lingkungan sekolah. Dukungan pihak sekolah sangat menunjang jika sarana dan prasarana bisa dipenuhi untuk mencapai target kesempurnaan pembelajaran. Tetapi penulis meihat hal itu sulit direalisasikan. Jangankan sarana dan prasarana, teknis di dalam kelas pun belum bisa kondusif dengan jumlah siswa yang terlalu banyak dan tidak ideal menurut BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan).
(4) Faktor anak didik dan motivasi orang tua. Perkembangan dan kemajuan inteligensi anak didik tidak terlepas dari motivasi orang tua. Ketika anak didik dibimbing dan didukung dengan baik oleh orang tuanya, secara tidak langsung hal itu menjadi dasar bagi anak didik untuk belajar lebih giat dan aktif. Karena meskipun seorang guru berusaha mengajar dengan mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk kemajuan anak didiknya, tetapi motivasi belajar anak kurang, hal itu menjadi kendala dalam mengembangkan skill si anak didik.
Itu semua menjadi sebuah fenomena dan problematika guru saat ini, terutama guru mata pelajaran bahasa Inggris. Oleh karena itu, pemerintah harus konsisten terhadap kebijakan yang diambil mengenai kurikulum pendidikan, agar tercapai tujuan pendidikan seutuhnya.


sumber:
 

Popular Posts

© Copyright 2010. yourblogname.com . All rights reserved | yourblogname.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com